Bangsa Indonesia hanya menyandang nama besar sebagai negara maritim, tapi gagal memanfaatkan potensi maritim untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Negeri ini adalah negara kepulauan yang terbesar didunia, terdiri dari 5 pulau besar yang terdiri dari Pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Papua Barat. Dipulau-pulau besar tersebut terdapat pula ribuan pulau-pulau kecil, yang disebut oleh kelompok musik legendaris Koesplus sebagai ratna mutu manikam. memiliki wilayah laut seluas 5,4 juta KM, dengan garis pantai yang panjangnya 95 ribu kilometer lebih.
Banyaknya jumlah pulau, luasnya wilayah laut dan panjangnya garis pantai yang dimiliki oleh Indonesia itu, membuat kita ingin menjadikan laut sebagai bagian terpenting dalam pembangunan negeri ini. Dan kesadaran itu telah dimulai sejak pemerintahan PM Djuanda pada tahun 1957 , yang melahirkan sebuah deklarasi dengan penegasan bahwa “Laut bukanlah pemisah tetapi pemersatu pulau-pulau Indonesia”.
Selaras dengan keinginan Juanda tersebut, Soekarno menegaskan bahwa “Negara akan menjadi “KUAT” bila kita mampu menguasai lautan, dan untuk menguasai lautan kita harus menguasai “ARMADA” yang seimbang.” Hal itu diucapkannya ketika menyampaikan pokok-pokok pikirannya dalam National Maritime Convention pada tahun 1963.
Soekarno, pemimpin yang bijak itu menekankan arti pentingnya menguasai ARMADA, tanpa memnguasai armada, usaha angkutan laut kita tidak berarti apa-apa. Justeru itulah para pelaku usaha dalam bidang angkutan laut dipacu agar memiliki kapal sebagai armada yang akan mereka gunakan untuk merangkai Nusantara ini, menjadi penghubung antara pulau yang satu dengan yang lainnya, mengangkut komoditas dari pulau ke pulau, sehingga roda perekonomian berputar dengan lancar.
Kenyataannya kemudian adalah, armada yang dimiliki pengusaha pribumi, kapal-kapal berbendera Indonesia tidak memadai untuk mengangkut barang didalam negeri. Baik itu komoditas hasil pertanian, maupun hasil produksi industri dalam negeri. Kondisi ini membuka peluang bagi kapal-kapal asing untuk masuk keperairan Indonesia, mengangkut barang dan komoditas dalam negeri, baik itu berlayar interinsuler (antar pulau) maupun angkutan dari dan kepelebuhan luar negeri.
Keterbatasan armada yang dimiliki membuat sebagian pengusaha angkutan laut kita hanya menjadi penonton, industri pelayaran dalam negeri didominasi dan dikendalikan oleh asing, pengusaha kita hanya sekedar menjadi agen-agen dari kapal asing yang berlalu lalang dari pulau ke pulau di Nusantaera, serta mengangkut barang dari Indonesia keluar negeri. Kondisi ini tentu tidak sehat, dan kita gagal menguasai lautan yang kita miliki.
Keinginan untuk memberdayakan industri pelayaran nasional sekaligus menegakkan kedaulatan negara di sektor maritime, akhirnya pemerintahan mengeluarkan Inpres Nomor 5 tahun 2005. Sebuah kebijakan yang dikenal dengan sebutan Asas CABOTAGE, yang menegaskan bahwa angkutan barang antar pulau, harus dilakukan oleh perusahaan angkutan laut nasional dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia dan dioperasikan awak kapal yang berkewarganegaraan Indonesia.
Penerapan asas ini bertujuan melindungi kedaulatan negara (sovereignity) dan mendukung perwujudan wawasan nusantara serta memberikan kesempatan berusaha seluas-luasnya bagi perusahaan angkutan laut nasional. Ketentuan ini kemudian dipertegas lagi dalam UU nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran.
Setelah 11 tahun pemberlakuan asas cabotage, kini ketenangan pelaku usaha angkutan laut dalam negeri mulai terganggu dengan adanya kebijakan perdagangan bebas Asean atau yang disebut dengan MEA. Dengan diberlakukannya MEA maka tidak ada lagi batasan bagi kapal asing dan tidak ada pula perlindungan terhadap pengusaha angkutan laut nasional.
Kondisi ini makin diperparah lagi dengan terbitnya Peraturan Menteri Perhubungan No. 11 tahun 2016, yang memberi peluang bagi pelaku usaha Agency untuk melakukan kegiatan keagenan kapal yang hak dan kedudukannya sama dengan pemegang SIUPAL (Ijin Usaha Angkutan Laut).