Mohon tunggu...
Asmara Dewo
Asmara Dewo Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis

Pendiri www.asmarainjogja.id

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Aktivis Berujung Tragis

2 Oktober 2015   23:19 Diperbarui: 2 Oktober 2015   23:19 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Foto Ilustrasi"][/caption]

“Manusia menolak kebenaran, manusia menolak keberanian, dan manusia menolak keadilan. Mereka yang bersuara menolak kejahatan di bumi Indonesia terpaksa dibungkam selamanya. Aktivis berujung tragis. Yang dilakukan oleh oknum paling pengecut di dunia.”

Ada banyak aktivis di tanah air yang gagah berani membela kebenaran atas rakyatnya, masyarakatnya, dan atas orang-orang kecil yang ditindas oleh penguasa dan pengusaha. Tak peduli bentuk ancaman dan teror setiap waktunya dari orang-orang yang tak suka atas suara lantangnya. Karena mereka paham dan yakin kebenaran, keadillan, harus tegak di bumi Nusantara.

Ada banyak aktivis di Indonesia yang berujung tragis akibat keberaniannya, di antaranya:

*Marsinah, lahir pada tanggal 10 April 1969, seorang aktivis dan buruh pabrik PT. Catur Putra Surya, sidoarjo, Jawa Timur. Wanita asal Nglundo itu diculik, dan ditemukan terbunuh secara keji pada tanggal 8 Mei 1993. Mayatnya ditemukan di hutan dusun Jegong, desa Wilangan.

Di balik kisah pembunuhan Marsinah, dia dan teman-teman yang aktif menuntut kenaikan upah para buruh di pabriknya, setelah keluarnya surat edaran dari Gubernur KDH TK I No. 50/Th. 1992 yang berisi himbauan kepada pengusaha agar menaikkan kesejahteraan karyawannya sebesar 20% gaji pokok. Namun, perusahaan secara tak langsung menolak keputusan tersebut dengan cara negosiasi kepada perwakilan buruh waktu itu, salah satunya adalah Marsinah.

Hingga akhirnya pada tanggal 3 Mei 1993, para buruh PT. Catur Putra Surya mogok total. Mereka mengajukan 12 tuntutan kepada perusahaan. Dua hari kemudian, tepatnya tanggal 5 Mei 2015, tanpa Marsinah, 13 buruh yang dianggap meghasut unjuk rasa digiring ke Komando Distrik Militer (Kodim) Sidoarjo. Di Kodim tersebut mereka dipaksa mengundurkan diri dari CPS, karena dituduh menggelar rapat gelap, dan mencegah karyawan masuk kerja.

Kemudian Marsinah mendatangi Kodim Sidoarjo untuk menanyakan rekan-rekannya. Yang sebelumnya juga dipanggil oleh pihak Kodim. Sejak itulah Marsinah hilang tak tahu keberadaannya. Dan pada akhirnya pada tanggal 8 Mei 1993, mayatnya di temukan dengan tanda-tanda bekas penyiksaan penganiayaan berat.

*Widji Tukul yang bernama asli Widji Widodo, seorang seniman dan aktivis, kelahiran Surakarta, 26 Agustus 1963. Ada banyak karya puisi yang disuarakan dengan suara lantangnya. Dan berikut adalah salah satu puisinya yang menggetarkan penguasa dan memantik api semangat juang aktivis lainnya. Dan sampai detik ini kata “lawan” mendarah dagi bagi aktivis di seluruh Indonesia:

Peringatan

Oleh: Widji Tukul

Jika rakyat pergi

Ketika penguasa pidato

Kita harus hati-hati

 

Barangkali mereka putus asa

Dan berbisik-bisik

Ketika membicarakan masalahnya sendiri

Penguasa harus waspada dan belajar mendengar

 

Bila rakyat tidak berani mengeluh

Itu artinya sudah gawat

Dan bila omongan penguasa

Tidak boleh dibantah

Kebenaran pasti terancam

 

Apabila usul ditolak tanpa ditimbang

Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan

Dituduh subversif dan mengganggu keamanan

Maka ada satu kata: lawan!

Solo, 1986

Penyuara kata “lawan” tersebut sampai sekarang tak diketahui keberadaannya, hilang seperti ditelan bumi, namun suaranya masih menggema di hati aktivis Indonesia. Diduga hilangnya seniman itu diculik oleh militer.

Latar belakang hilangnya Widji Tukul adalah kerusuhan pada Mei 1998. Aparat Kopassus Mawar menjadikan daftar pencarian Widji Tukul dan aktivis lainnya. Sejak itu pula suami Siti Dyah Sujiah (sipon) tersebut hilang selamanya, meninggalkan dua anak bernama: Fitri Nganthi Wani, dan Fazar merah.

*Munir Said Thalib, lahir di Malang, pada tanggal 8 Desember 1964. Seorang aktivis yang menjabat sebagai Direktur Eksekutif Lembaga Pemantau Hak Asasi Indonesia Imparsial. Saat menjabat di Dewan Kontras namanya melambung tinggi sebagai pejuang bagi orang-orang hilang dalam kasus penculikan tahun 1998.

Latar belakang terbunuhnya Munir Said Thalib saat aktivis itu akan terbang ke Belanda untuk melanjutkan studi S-2 di Universitas Utrech. Pollycarpus Budihari Priyanto seorang pilot Garuda yang sedang cuti dalam satu pesawat dengan Munir memasukkan racun arsenik ke dalam makanannya. 7 September 2004, menjadi hari terakhir bernapas pejuang kemanusiaan itu untuk membela keluarga orang-orang hilang dan berbagai kasus penculikan dan kekerasan yang ditanganinya.

Pada tanggal 20 Desember 2005, Pollycarpus dijatuhi hukuman vonis 14 tahun penjara atas tuduhan pembunuhan terhadap Munir oleh keputusan PK Mahkamah Agung. Dan pada tangal 28 November 2014, Pollycarpus dibebaskan secara bersyarat. Dengan pembebasan pembunuh Munir tersebut, para penggiat HAM memprotes kebijakan pengadilan. Mereka menilai pembebasan bersyarat atas Pollycarpus tidak bisa diterima, karena kasus itu adalah kasus kejahatan serius.

Dan sampai sekarang, otak pelaku di belakang pembunuhan Munir masih menyimpan misteri di tanah air Indonesia. Tak tersentuh hukum. Bebas mengisap udara segar. Sementara si penggiat HAM Munir korban dari kebiadaban para elit politik dan jenderal, terhenti napasnya untuk selama-lamanya. Ia berbaring dalam kedamaian, atas perjuangannya.

*Salim alias Kancil (52 tahun), menjadi perhatian serius bagi penggiat HAM akhir-akhir ini. Salim bersama rekannya Tosan menjadi korban atas kerakusan dan kejahatan oleh oknum yang tak senang karena perlawanan mereka.

Awal mula marahnya Salim Kancil adalah saat dia mengetahui lahan pertanian yang dimilikinya selama puluhan tahun tidak bisa ditanami padi kembali. Karena sering kali diterjang air laut akibat tambang pasir ilegal yang diduga dikelola oleh Hariyono Kepala Desa Selok Awar-awar.

Sejak itu Salim mulai aktif, dan rajin surat menyurat dengan pihak keaman, pemerintah kabupaten, provinsi, sampai ke Jakarta. Perlawan Salim semakin nyata membuat penambang ilegal alias Kepala Desa mulai gusar. Ancaman dan intimidasi pun mulai berdatangan.

Hingga akhirya pada tanggal 26 September 2015, Salim dikeroyok, disiksa secara keji hingga meninggal dan rekannya menjadi korban peganiayaan, saat akan melakukan aksi penolakan tambang pasir. Dan kini Hariyono selaku Kepala Desa Selok Awar-awar, lumajang telah ditetapkan sebagai tersangka atas tragedi naas aktivis lingkungan tersebut.

Proses hukum terus berlanjut, mencari oknum-oknum yang terlibat di proyek tambang pasir. Karena diyakini tak hanya Kepala Desa yang bermain di belakang kasus ini.

Marsinah, Widji Tukul, Munir, dan Salim Kancil adalah tokoh-tokoh yang berani menegakkan kebenaran. Mereka berjuang menuntut keadilan pada penguasa, sekalipun akhirnya berujung tragis. Dan masih banyak lagi pejuang-pejuang yang tidak atau belum terliput di media. Dan itu adalah tugas kita bersama untuk mengenang mereka, mengabadikan nama mereka dalam sejarah kemanusiaan untuk generasi pembela kemanusiaan berikutnya.

Sebagai penutup, dan salam selalu untuk pembela kemanusiaan, sebuah puisi:

Di Dunia Kejahatan

Oleh: Asmara Dewo

Aku bukan pria gagah pemegang senjata laras panjang karena bukan Polri atau TNI
Sebab aku seorang penulis
Aku bukanlah pria tampan berseragam jatahan dari negeri
Sebab aku seorang pebisnis

Aku melawan dengan tulisan
Aku mengais rezeki dari karya
Aku berdiri di kaki sendiri, bukan pelayan pemerintahan
Aku pemuda bebas, tanpa ada raja

Pikirlah jika memilihku sebagai pendamping hidupmu
Bicaralah pada heningnya malam, dalam sujud doamu
Mintalah petunjuk, jika pemuda ini yang menyandingmu
Dan biarkan semua rasa tenggelam menuju Satu

Kau harus tahu, siapa aku sebenarnya
Aku bukan seperti pemuda lainnya
Diam-diam aku mempunyai misi dan visi
Diam-diam aku aku atur strategi jitu untuk sebuah mimpi

Tapi, kau tenang saja
Aku bukan pengkhianat agama
Bukan pula pengkhianat negara
Karena aku pemuda pembela

Mungkin suatu hari nanti aku dikepung musuh
Mungkin suatu hari nanti akan banyak teror dan ancaman
Masihkah kau berani sebagai ratuku kala hidup kita semakin rusuh?
Karena duniaku, bukan dunia damai, walaupun aku pecinta damai. Namun, kita berhadapan dengan kejahatan.

Jogjakarta, 1 September 2015

 Sumber:  Wikipedia, Rappler, Temo.

Foto Ilustrasi beyonthechoir.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun