Baru saja kita telah melewati perhelatan bersejarah bagi masa depan demokrasi dan bangsa Indonesia. Yaitu gelaran Pemilu Serentak 2024 yang dinilai sebagai pesta demokrasi terbesar dan terumit yang dilaksanakan dalam satu hari untuk memilih 5 surat suara mulai presiden, DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
Sebentar lagi, masyarakat Indonesia akan kembali menggelar pesta demokrasi yaitu Pemilihan Serantak atau Pilkada Serentak 2024. Setidaknya terdapat 37 provinsi yang akan melaksanakan pemilihan gubernur secara serentak, sedangkan Daerah Istimewa Yogyakarta tidak ikut melaksanakan pemilihan gubernur. Pilkada juga akan dilaksanakan di 508 Kabupaten/Kota untuk memilih bupati/walikota.
Dalam menghadapi Pilkada seperti ini, tentunya ada banyak hal yang perlu dan harus kita bersama-sama renungkan dan diskusikan. Seperti sebuah pertanyaan kemana arah peta koalisi di Pilkada ini? Apakah koalisi dibangun atas dasar ideologi dan kesamaan visi misi pembangunan. Hal seperti inilah yang sejatinya menurut penulis perlu kita dalami dan diskusikan dalam ruang-ruang akademik. Tetapi sepertinya hal ini sudah jarang ditemui dan ditinggalkan.
Dalam pandangan Filsuf Italia Niccolo Machiavelli setidaknya mengatakan bahwa politik adalah ruang pragmatisme, individualisme, dan realisme. Sehingga bisa kita saksikan bersama bahwa koalisi yang saat ini dibangun bukan atas dasar ideologi. Sulit rasanya kita bisa menemukan koalisi yang dibangun atas dasar ideologi tetapi koalisi ini dibangun atas kepentingan kepartaian. Bukan atas dasar mimpi besar kemajuan bangsa dan kesejahteraan masyarakat.
Saat ini, jika kita melihat dari koalisi yang dibangun dan tokoh yang diusung oleh koalisi tersebut merupakan realisme daripada praktik nepotisme yang digaungkan untuk dilawan pada saat reformasi 1998. Sedari awal, sebelum partai politik menentukan siapa tokoh yang akan diusung bukan berdasarkan rekam jejak, maupun ide dan gagasan besar tokoh tersebut. Melainkan dalam menentukannya selalu dipilih tokoh yang memiliki popularitas dan elektabilitas tinggi.
Sehingga tidak jarang partai politik mengusung calon bukan dari internal partai dan bukan juga kader organik partai. Jika menggunakan istilah penulis sendiri, tokoh yang diusung oleh partai saat ini kebanyakan adalah politikus cabutan yang sebelumnya memiliki popularitas dan isi kepalanya belum teruji moncer. Salah satu prestasinya adalah dia merupakan sosok atau tokoh yang memiliki popularitas, seperti artis, istri/suami pejabat, keluarga pejabat, dan juga kerabat dekat para pejabat yang sedang atau sudah pernah berkuasa.
Sehingga membuat kader maupun anggota organik partai yang meniti karir dari titik terendah di partai tersebut harus rela tersingkir meskipun memiliki rekam jejak yang baik. Tak lain dan tak bukan mereka tersingkir karena partai tidak berani mencalonkan kadernya sendiri dan memilih mendukung politikus cabutan. Akibatnya ketika tak ada satupun partai yang mengusung calonnya maka hanya akan ada calon tunggal dan akan terbentuk koalisi besar tanpa visi pembangunan.
Politikus-politikus cabutan inilah yang jika tidak memiliki ide dan gagasan akan cenderung melahirkan pemerintahan yang minim solusi dan terobosan baru. Ia akan terlena oleh kursi empuk kekuasaan dan melahirkan pemerintahan yang koruptif.
Kondisi seperti ini seolah-olah menegaskan dan membuktikan bahwa berbagai koalisi yang diinisiasi dan dibangun tersebut semata-mata demi jabatan dan bagi-bagi kue kekuasaan. Juga tidak dibangun atas dasar kesamaan ide dan gagasan membangun Indonesia ke depan, namun lebih karena kesamaan kepentingan. Karena itu, sejak awal diskursus yang muncul ke permukaan juga bukan ide dan gagasan, namun soal popularitas dan elektabilitas.
Saat ini yang bisa kita lakukan sebagai kaum  terpelajar dan masih memiliki akal sehat adalah terus menggelorakan semangat pembangunan Indonesia kedepan. Mencari pemimpin yang betul-betul mengedepankan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadi dan kelompoknya.
Selain karena popularitas dan elektabilitas, biasanya tokoh yang dipilih untuk maju di Pilkada juga karena melihat isi tas (uang). Sehingga akan lebih cenderung menggunakan uang untuk memobilisasi massa dan mempengaruhi pemilih saat pencoblosan nanti. Hal inilah yang harus kita waspadai dan lawan bersama agar proses Pilkada ini berjalan sesuai asas demokrasi.
Persoalan money politics dari pemilihan ke pemilihan terus meningkat. Hal ini terjadi akibat kegagalan para politikus dalam memahami ideologi yang dianggap hal sepele. Sehingga mereka masuk dalam ruang pragmatisme dan menganggap bisa membeli suara masyarakat dengan uang yang mereka miliki untuk memenangkan kontestasi. Bagi kebanyakan masyarakat di Indonesia, money politics dianggap sebagai rezeki nomplok ataupun bagi mahasiswa akan dianggap sebagai rezeki anak sholeh. Padahal uang yang diberikan oleh penguasa tersebut menentukan nasibnya kedepan.
Politikus yang menggunakan uang untuk memenangkan kontestasi ketika telah terpilih akan cenderung memikirkan bagaimana cara agar uangnya kembali. Sehingga kebijakan-kebijakannya tidak akan berpihak pada masyarakat. Cukup rumit memang, tetapi dari pemilihan ke pemilihan selalu terjadi seputar jual beli suara dan sumbangan untuk masyarakat. Persoalan ekonomi yang variatif di setiap provinsi di Indonesia akan menentukan bentuk dan karakteristik transaksi yang terjadi. Sehingga permasalahan ini harus diselesaikan mulai dari pendidikan politik yang dilakukan oleh semua pihak. Serta menyelesaikan permasalahan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Siapapun yang terpilih pada perhelatan Pilkada 27 November 2024 nanti, semoga dia adalah orang yang layak dan memiliki visi misi besar untuk kemajuan masyarakat. Dalam kepemimpinannya perlu kita kawal bersama dan kritisi bersama ketika ia keluar dari jalurnya.
Salam Revolusi!!!
Merdeka!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H