Kemajuan teknologi yang berkembang begitu pesat telah melebur di kehidupan manusia, sampai-sampai seolah sudah cukup sulit untuk dilepaskannya. Sebagaimana teknologi internet yang kini telah menjadi suatu yang niscaya sebagai sarana informasi sekaligus transaksi. Internet yang sebelumnya dinilai sebagai dunia "kedua" atau dunia maya, sekarang ini bisa dibilang sudah menjadi bagian dari dunia nyata. Internet bukan saja mampu memberikan informasi-informasi global secara cepat, namun juga bisa mencairkan uang, meningkatkan prestise seseorang, sampai alat menggulingkan pemerintahan sebagaimana yang baru-baru ini terjadi di Mesir. Karena alasan ini pula kemudian pemerintah merasa perlu mengeluarkan kebijakan untuk membuat Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UUITE).
UUITE ini dalam penyusunannya tentunya tidaklah terlepas dari dua naskah akademis oleh Tim Unpad yang ditunjuk oleh Depkominfo, yang kemudian bekerjasama bersama para pakar ITB yang menghasilkan RUU Pemanfaatan Teknologi Informasi (RUU PTI) dan Tim UI yang ditunjuk Deperindag yang menghasilkan naskah akademis RUU Transaksi Elektronik. Kedua RUU ini lalu diolah atau disesuaikan kembali oleh Tim dari pemerintah yang dipimpin Prof. Ahmad M Ramli SH yang hasilnya selanjutnya disahkan DPR, yaitu Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UUITE).
Melihat maksud baik sebelumnya tentang RUU UUITE untuk mengakomodir perlindungan hukum pengguna internet-dari ancaman sampai kepastian hukum penggunanya- serta proses penyusunannya yang tidak sederhana, namun apakah kemudian memang sudah benar untuk lekas disahkan? Pertanyaan ini tidaklah boleh dijawab sederhana, karena realitas implementasinya sangat paradoks, serta melihat sudah menimbulkan 'korban' yang tidak sedikit dan tragisnya sebelum RUU ITE disahkan pun sudah ada yang dijerat kasus tentang hal ini. Korban demi korban UU ITE berjatuhan, sebut saja misalnya Herman Saksono, Narliswani (Iwan) Piliang, Erick Jazier Adriansjah, Nur Arafah, Bambang Kisminarso, Yudi Latif, dan Prita Mulyasari. Mereka disebut 'korban', karena ukuran hukum yang dikenakannya masih rancu, yang masih terdapat pintu interpretasi yang sangat luas.
Namun dari kasus-kasus yang ada, khusus kasus Prita mungkin yang paling ramai diberitakan. Sampai banyak kalangan memberikan perhatian. Mayoritas dari mereka mengatakan apa yang dihadapi Prita Mulyasari ini tidaklah adil. Email curhatan pribadinya yang tersebar ke rekan-rekannya-mengenai kondisinya saat di RS. Omni yang menurutnya tidak menunaikan janjinya sebagaimana diiklan dan sekaligus dinilai tak sesuai dengan visi-misinya-membuatnya dijerat pasal 27 ayat 3 UU ITE. RS Omni yang mustinya memberikan hak Prita dengan penjelasan secara fair, secara jujur, secara terbuka, secara proporsional, justru ngotot berupaya mempidanakan Prita.
Fenomena media massa yang meliput secara masif tentang kasus Prita hingga membuat gempar negeri ini, telah memberikan kesadaran pemahaman yang meluas di kalangan masyarakat tentang UU ITE. Dampak kesadaran ini memuncratkan air mata rakyat Indonesia dalam melihat keadaan Prita Mulyasari, yang selanjutnya melahirkan demonstrasi besar-besaran dari pelbagai elemen, baik di ranah nyata masyarakat ataupun di dunia maya. Pengumpulan koin untuk Prita, merupakan wujud nyata air mata rakyat tak lagi bisa dibendung dan mulai membeku dalam melihat kisah Prita Mulyasari yang menurutnya cukup memilukan, mengerikan. Meskipun demikian, ternyata belum mampu membuat Prita bisa istirahat. Kasasi, dikabulkan oleh MA.
Melalui kasus Prita ini, sehingga banyak sekali pihak-pihak yang menilai jika UU ITE ini, khususnya pasal 27 ayat 3, merupakan alat tirani yang akan digunakan pemerintah SBY untuk memasung suara pihak-pihak yang berusaha mengangkat kejahatan-kejahatan yang dilakukan olehnya ataupun oknum-oknum yang dekat dengan kekuasaan. Suatu ironi, Prita menjadi pesakitan kebebasan berpendapat di Negara yang mengusung demokrasi. Melalui kasus-kasus tersebut di atas, menunjukkan apabila pemerintah telah melanggar Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa, "Setiaporang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikirandan sikap, sesuai dengan hati nuraninya."
Sampai di sini, dengan melihat realitas bahwasanya mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, semoga tidak ada salahnya apabila penulis mencoba melirik fenomena yang demikian melalui kerlingan Islam.
Meraba UU ITE dengan Sentuhan Ringan Islam
Membaca maksud dari dibuatnya UU ITE ini pada dasarnya baik. Hanya saja apabila sesuatu yang baik tidak diikuti dengan mekanisme yang baik, tidak terukur secara matang, bisa saja membuahkan hasil yang tidak baik. Ini tujuannya agar tidak menghasilkan sesuatu yang mubadzir (sia-sia). Hal ini juga diterangkan dalam Islam, apabila mengambil suatu mekanisme haruslah terukur, terstruktur, jelas. Sebagaimana tersebut dalam hadits Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh Imam Thabrani, "Sesungguhnya Allah sangat mencintai orang yang jika melakukan sesuatu pekerjaan, dilakukan secara itqan (tepat, terarah, jelas, dan tuntas).''
Kemubadziran saja tidak diperbolehkan, terlebih perihal UU ITE ini terkait dengan hak orang lain, yang apabila salah mengambil keputusan akan menimbulkan korban. Melihat bahayanya, mustinya dalam menerapkan aturan tidaklah boleh asal-asalan. Membuat suatu aturan hukum, tidak diperbolehkan apabila masih memuat interpretasi luas yang dapat menimbulkan polemik panjang, karena mudhorotnya lebih besar daripada manfaatnya. Maka, membuat sebuah hukum harus jelas, baik dalam ranah logika sekaligus kadar-ukurannya, sehingga mudah pula dalam menjalankan aturannya secara tegas. Hadits riwayat Ibnul Mubarok, disebutkan bahwasanya Rasullullah SAW bersabda, "Jika engkau ingin mengerjakan pekerjaan maka pikirkanlah akibatnya, maka jika perbuatan tersebut baik, ambilah dan jika perbuatan itu jelek, maka tinggalkanlah."
Terkait dengan Undang-Undang yang sarat interpretative ini, selain berbahaya karena kemungkinan jatuhnya korban sangat besar, juga membahayakan seorang hakim tergelincir dalam sebuah keputusan yang salah. Padahal, dengan Undang-Undang yang terukur dan jelas saja, hakim masih bisa terperosok pada sebuah kesalahan terlebih dengan kondisi Undang-Undang yang sarat debatable. Islam cukup hati-hati dalam hal ini, sebagaimana dikatakan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, bahwasanya sayidah Aisyah mengatakan apabila Rasulullah Saw pernah berkata,"Sesungguhnya seorang hakim salah dalam memberi pengampunan lebih baik, dari pada salah dalam menentukan hukuman."
Hadits Rasulullah Saw yang lainnya, sebagaimana diriwayatkan Tirmidzi dan al-Baihaqi, "Sesungguhnya lebih baik bagi penguasa bertindak salah karena membebaskannya daripada salah karena menjatuhkan hukuman."
Berdasarkan pertimbangan di atas, di sini akan sedikit mengulas seputar UU ITE. Akan tetapi, meskipun dirasa cukup banyak ditemui unsur ketergesa-gesaan di banyak pasal pada UU ITE ini, agar pembahasan ini tidak terlampau melebar maka dibatasi hanya pada pasal 27 ayat 3. Tujuan lainnya, karena melihat pasal ini telah menimbulkan jatuh korban, ibu Prita Mulyasari.
Pasal 27 ayat 3 dalam Perpekstif sederhana Islam
"Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/ataumentransmisikandan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronikdan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/ataupencemaran nama baik," demikian bunyi UU no. 11 tahun 2008 tentang ITE, Bab VII mengenai Perbuatan yang Dilarang, Pasal 27 ayat 3. Perihal pencemaran nama baik yang tersebut di Pasal 27 ayat 3 UU ITE ini, sebenarnya tertuang juga di KUHP seperti di Pasal 310, Pasal 311 ayat 1, Pasal 315, Pasal 317 ayat 1, serta terdapat di Kitab Undang-undang Perdata pada Pasal 1372.
Ironisnya, dengan banyaknya pasal yang terkait dengan pencemaran nama baik ini tidak diikuti dengan definisi hukumnya yang jelas. Baik di Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Kitab Undang-undang Perdata, ataupun di Undang-undang tentang Informatika dan Tekhnologi Elektronik ini. Penjelasan seputar pencemaran nama baik masih buram, masih belum ada keterangan seperti apa definisinya, apa saja kategorinya, ataupun sanksinya. Kesemuanya hanya menjadi hak hakim. Adapun mengenai pemahaman yang hampir memiliki kedekatan dengan kasus pencemaran nama baik seperti fitnah ataupun bohong sudah ada ayat serta pasal yang mengaturnya sendiri. Sehingga dengan luasnya ruang interpretasi terhadap kasus ini, tentunya membuka peluang besar hakim untuk membuat keputusan yang asal. Ketidakadanya penjelasan yang terukur tentang aturan pencemaran nama baik ini, seolah memang sengaja diciptakan sebagai alat arogansi pemerintah. Disebutkan hadits dari Buraidhoh apabila Rasulullah Saw. pernah berkata, "Hakim itu ada tiga, dua orang di neraka dan seorang lagi di surga. Seorang yang tahu kebenaran dan ia memutuskan dengannya, maka ia di surga; seorang yang tahu kebenaran, namun ia tidak memutuskan dengannya, maka ia di neraka; dan seorang yang tidak tahu kebenaran dan ia memutuskan untuk masyarakat dengan ketidaktahuan, maka ia di neraka."
Pembedaan antara pencemaran nama baik dengan fitnah ataupun dusta, ditinjau dari sudut pandang Islam, sebenarnya terdapat keserupaan. Pencemaran nama baik di Islam disebut ghibah atau sesuatu yang nyata terjadi dilakukan oleh seseorang akan tetapi tidak etis untuk disebarluaskan. Sedangkan fitnah di dalam Islam adalah menyebarkan kabar buruk orang lain yang pada dasarnya sebuah kebohongan. Islam sendiri melihat dua kasus ini, antara ghibah dan fitnah, terdapat perbedaan di dalam hukumnya. Fitnah bisa masuk kategori kasus muamalah (perdata) dan bisa juga jinayah (pidana), dengan melihat bentuk fitnahnya. Sedangkan ghibah atau mencemarkan nama baik, di Islam masuk wilayah muamalah (perdata). Ghibah walaupun dilarang (dengan kategori hukum ringan), namun adakalanya juga diperbolehkan, dan bahkan bisa saja wajib.
Ghibah diperbolehkan jika yang melakukannya sebagai pihak yang terdzolimi oleh orang yang dighibahnya, dengan isi ghibah menyangkut kedzoliman orang tersebut. Ini sebagaimana tersebut dalam firman Allah Swt, Qs. Annisa: 148. Ghibah menjadi wajib, jika terdapat unsur dalam Qs. Annisa: 148, dengan keadaan yang memaksanya untuk melakukan itu. Keadaan memaksa di sini adalah adanya pemenuhan maqoshid asy-syariah yaitu melindungi agama, jiwa, harta, nasab, dan akal. Adapun ghibah dilarang apabila hanya ditujukan untuk menjatuhkan orang lain (mencemarkan nama baik orang lain) ataupun untuk bersendagurau.
Sampai di sini, dengan membandingkan sedikit pemahaman pencemaran nama baik di Islam, mustinya aturan tentang pencemaran nama baik tidak masuk di wilayah pidana, cukuplah dimasukan dalam hukum perdata sebagai kategori kesalahan ringan. Pun demikian, tentang pencemaran nama baik juga harus berdasar mekanisme yang jelas; definisinya, ukuran atau kategorinya, serta hukumannya. Sebagai penutup, semoga kita dijauhkan dari sikap yang melampui batas....
________________________________________
Salam gembel jalanan, Wahyu NH. Aly
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H