Mohon tunggu...
Wahyu NH Aly
Wahyu NH Aly Mohon Tunggu... lainnya -

Wahyu

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Potret Kisah Prita: Pasal 27 ayat 3 UUITE dalam Perpekstif Islam

24 Juli 2011   19:50 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:24 628
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hadits Rasulullah Saw yang lainnya, sebagaimana diriwayatkan Tirmidzi dan al-Baihaqi, "Sesungguhnya lebih baik bagi penguasa bertindak salah karena membebaskannya daripada salah karena menjatuhkan hukuman."

Berdasarkan pertimbangan di atas, di sini akan sedikit mengulas seputar UU ITE. Akan tetapi, meskipun dirasa cukup banyak ditemui unsur ketergesa-gesaan di banyak pasal pada UU ITE ini, agar pembahasan ini tidak terlampau melebar maka dibatasi hanya pada pasal 27 ayat 3. Tujuan lainnya, karena melihat pasal ini telah menimbulkan jatuh korban, ibu Prita Mulyasari.

Pasal 27 ayat 3 dalam Perpekstif sederhana Islam

"Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/ataumentransmisikandan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronikdan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/ataupencemaran nama baik," demikian bunyi UU no. 11 tahun 2008 tentang ITE, Bab VII mengenai Perbuatan yang Dilarang, Pasal 27 ayat 3. Perihal pencemaran nama baik yang tersebut di Pasal 27 ayat 3 UU ITE ini, sebenarnya tertuang juga di KUHP seperti di Pasal 310, Pasal 311 ayat 1, Pasal 315, Pasal 317 ayat 1, serta terdapat di Kitab Undang-undang Perdata pada Pasal 1372.

Ironisnya, dengan banyaknya pasal yang terkait dengan pencemaran nama baik ini tidak diikuti dengan definisi hukumnya yang jelas. Baik di Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Kitab Undang-undang Perdata, ataupun di Undang-undang tentang Informatika dan Tekhnologi Elektronik ini. Penjelasan seputar pencemaran nama baik masih buram, masih belum ada keterangan seperti apa definisinya, apa saja kategorinya, ataupun sanksinya. Kesemuanya hanya menjadi hak hakim. Adapun mengenai pemahaman yang hampir memiliki kedekatan dengan kasus pencemaran nama baik seperti fitnah ataupun bohong sudah ada ayat serta pasal yang mengaturnya sendiri. Sehingga dengan luasnya ruang interpretasi terhadap kasus ini, tentunya membuka peluang besar hakim untuk membuat keputusan yang asal. Ketidakadanya penjelasan yang terukur tentang aturan  pencemaran nama baik ini, seolah memang sengaja diciptakan sebagai alat arogansi pemerintah. Disebutkan hadits dari Buraidhoh apabila Rasulullah Saw. pernah berkata, "Hakim itu ada tiga, dua orang di neraka dan seorang lagi di surga. Seorang yang tahu kebenaran dan ia memutuskan dengannya, maka ia di surga; seorang yang tahu kebenaran, namun ia tidak memutuskan dengannya, maka ia di neraka; dan seorang yang tidak tahu kebenaran dan ia memutuskan untuk masyarakat dengan ketidaktahuan, maka ia di neraka."

Pembedaan antara pencemaran nama baik dengan fitnah ataupun dusta, ditinjau dari sudut pandang Islam, sebenarnya terdapat keserupaan. Pencemaran nama baik di Islam disebut ghibah atau sesuatu yang nyata terjadi dilakukan oleh seseorang akan tetapi tidak etis untuk disebarluaskan. Sedangkan fitnah di dalam Islam adalah menyebarkan kabar buruk orang lain yang pada dasarnya sebuah kebohongan. Islam sendiri melihat dua kasus ini, antara ghibah dan fitnah, terdapat perbedaan di dalam hukumnya. Fitnah bisa masuk kategori kasus muamalah (perdata) dan bisa juga jinayah (pidana), dengan melihat bentuk fitnahnya. Sedangkan ghibah atau mencemarkan nama baik, di Islam masuk wilayah muamalah (perdata). Ghibah walaupun dilarang (dengan kategori hukum ringan), namun adakalanya juga diperbolehkan, dan bahkan bisa saja wajib.

Ghibah diperbolehkan jika yang melakukannya sebagai pihak yang terdzolimi oleh orang yang dighibahnya, dengan isi ghibah menyangkut kedzoliman orang tersebut. Ini sebagaimana tersebut dalam firman Allah Swt, Qs. Annisa: 148. Ghibah menjadi wajib, jika terdapat unsur dalam Qs. Annisa: 148, dengan keadaan yang memaksanya untuk melakukan itu. Keadaan memaksa di sini adalah adanya pemenuhan maqoshid asy-syariah yaitu melindungi agama, jiwa, harta, nasab, dan akal. Adapun ghibah dilarang apabila hanya ditujukan untuk menjatuhkan orang lain (mencemarkan nama baik orang lain) ataupun untuk bersendagurau.

Sampai di sini, dengan membandingkan sedikit pemahaman pencemaran nama baik di Islam, mustinya aturan tentang pencemaran nama baik tidak masuk di wilayah pidana, cukuplah dimasukan dalam hukum perdata sebagai kategori kesalahan ringan. Pun demikian, tentang pencemaran nama baik juga harus berdasar mekanisme yang jelas; definisinya, ukuran atau kategorinya, serta hukumannya. Sebagai penutup, semoga kita dijauhkan dari sikap yang melampui batas....

________________________________________

Salam gembel jalanan, Wahyu NH. Aly

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun