Beberapa waktu belakangan, sering sekali kalimat "untukmu agamamu dan untukku agamaku" yang merupakan terjemahan dari ayat Al-Qur'an digunakan rekan-rekan kompasianer dalam beberapa hal, kadang di kolom komentar ataupun artikel.
Seringkali ayat ini digunakan untuk membenarkan pendapat beberapa kelompok, misalnya pembenaran untuk membiarkan kemunkaran yang terjadi, asal kita tidak melakukannya.
Pertanyaannya, apakah penggunaan ini sudah tepat? Seperti apakah penggunaannya yang tepat? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang membuat penulis penasaran dan mulailah pencarian mengenai tafsir ayat tersebut.
Mempelajari tafsir ternyata tidak seperti mempelajari kalimat biasa. Kita tidak boleh menelan mentah-mentah ayat tersebut saja, tapi kita harus tau hubungan dengan surat di mana ayat itu berada, sebab turunnya surat, kaidah bahasanya, dll.
Ternyata tidak semudah itu mempelajari tafsir. Inilah yang menyebabkan generasi sahabat dan alim ulama tidak sembarangan menukil ayat dalam pembicaraan mereka. Berikut merupakan rangkuman catatan para ahli tafsir yang penulis baca, yaitu Ibnu Katsir dan buya Hamka.
"Untukmu agamamu dan untukku agamaku" atau "Bagimu agamamu dan bagiku agamaku" adalah terjemahan ayat terakhir dari surat Al-Kaafiruun, "Lakum diinukum waliyadiin".
Surat ini merupakan surat yang diturunkan di Makkah dan ditujukan untuk kaum quraisy yang kafir, yang tidak mau menerima seruan dan petunjuk kebenaran yang dibawa oleh Rasulullah SAW kepada mereka.
Karena Rasulullah begitu kuatnya tekad dalam menyebarkan Islam, padahal sudah begitu kerasnya siksaan kafir quraisy terhadap beliau, kaum quraisy pun memikirkan cara lain untuk menghentikan dakwah Rasul. Bermusyawarahlah para petinggi Quraisy untuk mencari metode menghentikan beliau.
Cara damailah yang mereka pilih. Mereka mendatangi Rasulullah SAW dan dan menawarkan suatu usul.
"Ya Muhammad! Mari kita berdamai. Kami bersedia menyembah apa yang engkau sembah tetapi engkau pun hendaknya bersedia pula menyembah yang kami sembah, dan di dalam segala urusan di negeri kita ini, engkau turut serta bersama kami.Kalau seruan yang engkau bawa ini memang ada baiknya daripada apa yang ada pada kami, supaya turutlah kami merasakannya dengan engkau. Dan jika kami yang lebih benar daripada apa yang engkau serukan itu maka engkau pun telah bersama merasakannya dengan kami, sama mengambil bahagian padanya."
Inilah sebab turunnya surat Al-Kaafiruun. Sesudah kejadian itu, Allah menurunkan surat ini sebagai jawaban atas tawaran kafir quraisy.
“Katakanlah: "Hai orang-orang kafir” (ayat 1) .Ayat ini sebenarnya ditujukan pada orang-orang kafir di muka bumi ini. Akan tetapi, konteks ayat ini membicarakan tentang kafir Quraisy.
“Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah" (ayat 2), yaitu berhala dan tandingan-tandingan selain Allah.
“Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah” (ayat3), yaitu yang aku sembah adalah Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Persembahan kita ini sekali-kali tidak dapat diperdamaikan atau digabungkan. Karena yang aku sembah hanya Allah dan kalian menyembah kepada benda.
“Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah” (ayat 4), maksudnya adalah aku tidak akan beribadah dengan mengikuti ibadah yang kalian lakukan, aku hanya ingin beribadah kepada Allah dengan cara yang Allah cintai dan ridhoi. Cara kita menyembah juga berbeda.
“Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah” (ayat 5), maksudnya adalah kalian tidak akan mengikuti perintah dan syari’at Allah dalam melakukan ibadah, bahkan yang kalian lakukan adalah membuat-buat ibadah sendiri yang sesuai selera hati kalian.
Ayat-ayat ini secara jelas menunjukkan berlepas diri dari orang-orang musyrik dari seluruh bentuk sesembahan yang mereka lakukan.
“Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.” Maksud ayat ini sebagaimana firman Allah,
“Jika mereka mendustakan kamu, maka katakanlah: "Bagiku pekerjaanku dan bagimu pekerjaanmu. Kamu berlepas diri terhadap apa yang aku kerjakan dan akupun berlepas diri terhadap apa yang kamu kerjakan.” (QS. Yunus: 41)
“Bagi kami amal-amal kami dan bagi kamu amal-amal kamu.” (QS. Asy Syura: 15)
Soal akidah, di antara Tauhid Mengesakan Allah, sekali-kali tidaklah dapat dikompromikan atau dicampur-adukkan dengan syirik. Tauhid kalau telah didamaikan dengan syirik, artinya ialah kemenangan syirik.
Syaikh Muhammad Abduh menjelaskan perbedaan ini di dalam tafsirnya:
“Dua jumlah suku kata yang pertama (ayat 2 dan 3) adalah menjelaskan perbedaan yang disembah. Dan isi dua ayat berikutnya (ayat 4 dan 5) ialah menjelaskan perbedaan cara beribadat.
Tegasnya yang disembah lain dan cara menyembah pun lain. Tidak satu dan tidak sama. Yang aku sembah ialah Tuhan Yang Maha Esa, yang bersih daripada segala macam persekutuan dan perkongsian dan mustahil menyatakan diri-Nya pada diri seseorang atau sesuatu benda.
Allah, yang meratakan kurnia-Nya kepada siapa jua pun yang tulus ikhlas beribadat kepada-Nya. Dan Maha Kuasa menarik ubun-ubun orang yang menolak kebenaran-Nya dan menghukum orang yang menyembah kepada yang lain. Sedang yang kamu sembah bukan itu, bukan Allah, melainkan benda.
Aku menyembah Allah sahaja, kamu menyembah sesuatu selain Allah dan kamu persekutukan yang lain itu dengan Allah. Sebab itu maka menurut aku, ibadatmu itu bukan ibadat dan tuhanmu itu pun bukan Tuhan.
Untuk kamulah agama kamu, pakailah agama itu sendiri, jangan pula aku diajak menyembah yang bukan Tuhan itu. Dan untuk akulah agamaku, jangan sampai hendak kamu campur-adukkan dengan apa yang kamu sebut agama itu.”
Al-Qurthubi meringkaskan tafsir seluruh ayat ini begini:
“Katakanlah olehmu wahai Utusan-Ku, kepada orang-orang kafir itu, bahwasanya aku tidaklah mau diajak menyembah berhala-berhala yang kamu sembah dan puja itu, kamu pun rupanya tidaklah mau menyembah kepada Allah saja sebagaimana yang aku lakukan dan serukan. Malahan kamu persekutukan berhala kamu itu dengan Allah.
Maka kalau kamu katakan bahwa kamu pun menyembah Allah jua, perkataanmu itu bohong, karena kamu adalah musyrik. Sedang Allah itu tidak dapat dipersyarikatkan dengan yang lain. Dan ibadat kita pun berlain.
Aku tidak menyembah kepada Tuhanku sebagaimana kamu menyembah berhala. Oleh sebab itu agama kita tidaklah dapat diperdamaikan atau dipersatukan: “Bagi kamu agama kamu, bagiku adalah agamaku pula.” Tinggilah dinding yang membatas, dalamlah jurang di antara kita.”
Surat ini memberi pedoman yang tegas bagi kita pengikut Nabi Muhammad bahwasanya akidah tidaklah dapat diperdamaikan. Tauhid dan syirik tak dapat dipertemukan. Kalau yang hak hendak dipersatukan dengan yang batil, maka yang batil jualah yang menang.
Demikian tafsir Q.S. Al-Kaafiruun yang saya baca. Kesimpulan dari saya yang kurang ilmu ini adalah "untukmu agamamu dan untukku agamaku" adalah kalimat penyerahan. Serah diri kepada Allah SWT setelah berusaha menyampaikan kebenaran. Berusahanya pun, kalau baca shiroh, luar biasa.
Rasulullah SAW sampai dicacimaki, dilemparin batu, pas shalat kepalanya dilumuri kotoran, sampai mau dibunuh. Rasanya tak pantas saya mengatakan , "untukmu agamamu dan untukku agamaku", mengingat minimnya usaha saya mengajak orang lain kepada kebenaran, kepada tauhid. Wallahu a'lam bishshowab.
Sumber : tafsir ibnu katsir dan tafsir al azhar (buya hamka)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H