MANUSIA atau sapiens yang tersebar di seluruh permukaan bumi tak lepas dari identitas yang menunjukkan suatu aneka warna fisik yang tampak nyata. Ciri fisik seperti warna kulit, warna dan bentuk rambut, raut muka yang nampak dalam pandangan mata menyebabkan timbulnya arti ras.
Samuel Morton (1834) mengartikulasikan ras sebagai suatu golongan manusia yang menunjukkan berbagai keragaman dan perbedaan ciri bilogis tertentu dalam frekuensi yang besar. Keragaman dan perbedaan warna kulit itu harusnya dipahami sebagai kemajemukan ras, bukan superioritas.
Kendati pada sisi lain, keragaman dan kemajemukan juga menyebabkan terjadinya kecenderungan untuk melakukan penilaian stereotip dalam memperlakukan orang lain berdasarkan pertimbangan tersebut. Stereotip inilah kemudian masing-masing individu mengklaim ras mereka, sebagai ras yang paling unggul. Konsep tentang keunggulan ras ini kemudian melahirkan “Rasisme.”
Secara historis, istilah rasisme telah digunakan paling tidak sejak 1940-an yang identifikasi kepada kelompok atau orang yang berbeda. Istilah rasisme pertama kali digunakan sekitar tahun 1930-an. Istilah tersebut diperlukan untuk membenarkan perlakuan orang-orang Nazi dalam melakukan pembantaian terhadap kaum Yahudi pada masa fasisme Hitler.
Jauh sebelum isu rasisme merebak di Amerika Serikat (yang dilatar belakangi) atas kematian George Floyd, rasisme telah lama terjadi di negara tersebut ditandai dengan adanya Hukum Jim Crow (1876 - 1965) yang mengatur tentang pemisahan ras yang wajib dilaksanakan di beberapa tempat, diantaranya rumah sakit, penjara, tempat pemakaman, bahkan merambah ke hotel, gedung pertunjukkan, lift dan gereja.
Secara sosial, terlihat kriminalitas menjadi persoalan yang membelit masalah rasial ini. Demikian pula dengan skema sosial, ekonomi bahkan kesehatan di Amerika yang menyebabkan prasangka rasial menemukan jalan. Di sinilah persoalan rasial dan persoalan sosial lainnya saling memengaruhi dan sangat kompleks.
Rasisme selalu mempunyai pengertian klasik yang selalu menekankan pada perbedaan yang tajam antara warna kulit hitam dan putih tapi kini tidak hanya mendefinisikan warna kulit semata tetapi juga membandingkan apa yang ada pada seluruh dimensi tubuh.
Pada titik epistemologi, eksistensialisme yang merupakan titik tolak kebebasan radikal pun sepertinya tidak akan membenarkan paham rasisme yang ada pada manusia.
Rasisme Paling Dekat
Persoalan bangsa kita tak lepas dari masalah sosial, ekonomi, budaya, pemerintahan, bahkan penegakan supremasi hukum yang tidak memperlihatkan adanya keadilan terhadap hak-hak dasar bangsa oleh para penegak hukum. Lebih parah terciptanya doktrin rasisme yang—mungkin sengaja?—ditanam oleh negara terhadap suku-suku, bangsa yang berbeda ras dengan bangsa Indonesia lainnya.
Papua sebagai bangsa yang berbeda secara fisik (warna kulit, bentuk rambut dan raut wajah) dengan bangsa-bangsa lainnya di wilayah Indonesia, memiliki kekhususan dalam berbagai tatanan, mulai dari ciri khas dan perjalanan politik masa lalu. Sangat disayangkan suku-suku di Papua dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia dipandang sebelah mata.