Mohon tunggu...
Aslang Jaya
Aslang Jaya Mohon Tunggu... Lainnya - Malu ah

Tiap kata akan menemui pembacanya

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Rasisme di Seberang Benua Nampak, Rasisme di Negara Sendiri Tak Nampak, Dasar Sapiens!

7 Juni 2020   15:55 Diperbarui: 14 Juni 2020   19:02 321
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bocah kulit hitam memegang tulisan Am I Next? (Saya berikutnya?) - (Kompas.com)

MANUSIA atau sapiens yang tersebar di seluruh permukaan bumi tak lepas dari identitas yang menunjukkan suatu aneka warna fisik yang tampak nyata. Ciri fisik seperti warna kulit, warna dan bentuk rambut, raut muka yang nampak dalam pandangan mata menyebabkan timbulnya arti ras.

Samuel Morton (1834) mengartikulasikan ras sebagai suatu golongan manusia yang menunjukkan berbagai keragaman dan perbedaan ciri bilogis tertentu dalam frekuensi yang besar. Keragaman dan perbedaan warna kulit itu harusnya dipahami sebagai kemajemukan ras, bukan superioritas.

Kendati pada sisi lain, keragaman dan kemajemukan juga menyebabkan terjadinya kecenderungan untuk melakukan penilaian stereotip dalam memperlakukan orang lain berdasarkan pertimbangan tersebut. Stereotip inilah kemudian masing-masing individu mengklaim ras mereka, sebagai ras yang paling unggul. Konsep tentang keunggulan ras ini kemudian melahirkan “Rasisme.”

Secara historis, istilah rasisme telah digunakan paling tidak sejak 1940-an yang identifikasi kepada kelompok atau orang yang berbeda. Istilah rasisme pertama kali digunakan sekitar tahun 1930-an. Istilah tersebut diperlukan untuk membenarkan perlakuan orang-orang Nazi dalam melakukan pembantaian terhadap kaum Yahudi pada masa fasisme Hitler.

Jauh sebelum isu rasisme merebak di Amerika Serikat (yang dilatar belakangi) atas kematian George Floyd, rasisme telah lama terjadi di negara tersebut ditandai dengan adanya Hukum Jim Crow (1876 - 1965) yang mengatur tentang pemisahan ras yang wajib dilaksanakan di beberapa tempat, diantaranya rumah sakit, penjara, tempat pemakaman, bahkan merambah ke hotel, gedung pertunjukkan, lift dan gereja.

Secara sosial, terlihat kriminalitas menjadi persoalan yang membelit masalah rasial ini. Demikian pula dengan skema sosial, ekonomi bahkan kesehatan di Amerika yang menyebabkan prasangka rasial menemukan jalan. Di sinilah persoalan rasial dan persoalan sosial lainnya saling memengaruhi dan sangat kompleks.

Rasisme selalu mempunyai pengertian klasik yang selalu menekankan pada perbedaan yang tajam antara warna kulit hitam dan putih tapi kini tidak hanya mendefinisikan warna kulit semata tetapi juga membandingkan apa yang ada pada seluruh dimensi tubuh.

Pada titik epistemologi, eksistensialisme yang merupakan titik tolak kebebasan radikal pun sepertinya tidak akan membenarkan paham rasisme yang ada pada manusia.

Rasisme Paling Dekat

Persoalan bangsa kita tak lepas dari masalah sosial, ekonomi, budaya, pemerintahan, bahkan penegakan supremasi hukum yang tidak memperlihatkan adanya keadilan terhadap hak-hak dasar bangsa oleh para penegak hukum. Lebih parah terciptanya doktrin rasisme yang—mungkin sengaja?—ditanam oleh negara terhadap suku-suku, bangsa yang berbeda ras dengan bangsa Indonesia lainnya.

Papua sebagai bangsa yang berbeda secara fisik (warna kulit, bentuk rambut dan raut wajah) dengan bangsa-bangsa lainnya di wilayah Indonesia, memiliki kekhususan dalam berbagai tatanan, mulai dari ciri khas dan perjalanan politik masa lalu. Sangat disayangkan suku-suku di Papua dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia dipandang sebelah mata.

Beberapa cara telah ditempuh oleh pemerintah Indonesia agar suku-suku itu terus mengakui Indonesia sebagai negaranya. Kendati masyarakat Papua terus merontak atas semua upaya pemerintah–di buktikan dengan beberapa konflik vertikal yang mengiringinya.

Salah satu dari sekian banyak kasus karena rasisme pernah dialami oleh bangsa Papua, tepatnya di Kabupaten Nduga ketika jatuhnya konflik senjata antara aparat keamanan TNI – Polri dan TPNPB – OPM pada Desember 2018 sampai Juli 2019. Hingga kini belum ada penyelesaian atas kasus tersebut.

Dilaporkan oleh Tim Kemanusiaan Kabupaten Nduga, ribuan rakyat sipil mendapat krisis luar biasa. Rumah warga dibakar, ternak hilang, puluhan sekolah dan Gereja terjadi kekosongan. Warga mengungsi di wilayah-wilayah terdekat. Korban yang berhasil diidentifikasi sebanyak 182 warga sipil meninggal dunia akibat operasi militer itu. (Sumber: Tempo “182 orang meninggal pasca operasi militer TNI – Polri di Nduga, Papua”).

Padahal melakukan pendekatan militerisme terhadap warga Papua bukanlah upaya yang harus dilakukan, toh masa orde lama (dalam perebutan Irian Barat) maupun orde baru (pasca Papera 1969) juga melakukan hal yang sama, namun konflik masih terjadi. Hal ini diamini oleh Amnesty Internasional Indonesia melalui Direkturnya, Usman Hamid yang mengemukakan pendekatan ala militer oleh Indonesia terhadap bangsa Papua hanya akan menemui dampak negatif salah satunya warga sipil turut menjadi korban akibat konflik yang terjadi. (Sumber: Tirto “Salah Kaprah Jokowi Tangani Konflik di Nduga Papua”).

Kekhwatiran kita soal rasisme yang menjadi faktor pendorong diskriminasi sosial, segregasi, kekerasan rasial, bahkan genosida dan penggunaan istilah rasis telah menjadi preseden buruk bagi peradaban manusia. Hal tersebut perlu kita hindari.

Bila kita bijak dalam menanggapi isu soal rasisme, baiknya lebih peduli pada yang paling dekat di wilayah NKRI yaitu Papua. Jangan seolah kita mengamini narasi pada judul artikel ini, “Rasisme di seberang benua nampak, rasisme di negara sendiri tak nampak.”

Untuk kawan-kawan di Papua, percayalah walau beda SARA, kita tetap saudara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun