Mohon tunggu...
Aslang Jaya
Aslang Jaya Mohon Tunggu... Lainnya - Malu ah

Tiap kata akan menemui pembacanya

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Rasisme Bukan Hal Baru, Enggak Usah Kaget!

6 Juni 2020   01:02 Diperbarui: 16 Juni 2020   16:28 380
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Protest #BLM in USA (Unsplash.com/Sean Lee)

SECARA harfiah, rasis merupakan sikap seorang atau kelompok yang mengklaim diri lebih superior dibanding yang lain. Superioritas pengklaiman keunggulan ras inilah yang melahirkan rasisme.

Belakangan ini, rasisme kembali digemakan oleh beberapa penduduk dunia. Spektrum kasusnya ada di Amerika Serikat, karena tindakan diskriminasi rasial yang dilakukan oleh aparat keamanan kepada warganya.

Kematian George Flyod menjadi tranding pembicaraan hangat di beberapa platform media sosial. Aksi vandalisme menjadi penanda reaksi masyarakat sipil terhadap perlakuan negara kepada warga. Tagar #BlackLivesMatter digemakan.

Namun, hal yang menimpa George Flyod hanyalah pertikel kecil dari sekian banyak peristiwa diskriminasi rasial di beberapa negara-negara dunia, tak terkecuali Indonesia. Yang membedakan adalah jumlah korban jiwa atas peristiwa tersebut.

Kasus George Floyd turut menandai kemunculan tagar #PapuanLivesMatter di Indonesia. Dengan spektrum yang sama "Rasisme."

Indonesia, sebagai negara yang dikenal plural, yang rakyatnya menerima segala jenis perbedaan: ras, agama dan suku-suku, juga memiliki basis moral dan etika yang kuat agar tetap menjalankan roda kehidupan yang harmonis, berubah menjadi rasis. Bukan maksud menggeneralisir, karena tidak semua warga melakukan hal itu.

Rasisme bukanlah hal baru dalam pengalaman hidup di negara yang tengah berkembang ini, jadi nggak usah kaget soal rasisme. Toh dalam beberapa dekade, Indonesia pernah mengalami beberapa konflik ras, diantaranya: konflik Ambon, Maluku (1999-2003), korban meninggal 10,000 orang; Konflik Sampit, Kalimantan Tengah (2001), antara Suku Dayak dan Madura; Konflik antar pribumi dan Tionghoa yang dikenal sebagai kerusuhan Mei 1998; Konflik antar penganut agama di Poso (1998-2001) antara muslim dan kristen. Beberapa konflik yang disebutkan memiliki resolusi yang berbeda-beda.

Namun bukan itu poinnya. Bukan konflik ras dalam bentuk horizontal, melainkan vertikal (antar negara dan warga) yang melahirkan diskriminasi rasial oleh negara kepada warga.

Kasus George Floyd turut menandai kemunculan tagar #PapuanLivesMatter di Indonesia. Dengan isu yang sama "Diskriminasi rasial."

Papua, pada Agustus 2019, tepatnya di wilayah Jayapura, Fakfak, Monokwari dan Timika kembali mengalami keriuhan. Hal itu diawali karena tindakan diskriminasi rasial yang dilakukan aparat kemanan dan beberapa ormas reaksioner terhadap mahasiswa Papua yang sedang menggali ilmu di rantau, tepatnya di Surabaya dan Malang. Setelah kejadian tersebut, chaos antara aparat keamanan dan masyarakat sipil pun terjadi.

Komnas HAM dalam jurnal HAM (2015), Amiruddin al-Rahab "Pelanggaran HAM yang Berat di Papua: Konteks dan Solusinya," mengemukakan sejak tahun 1970an hingga tahun 1998 beberapa rentetan peristiwa konflik vertikal marak terjadi di Papua, tindakan represif aparat keamanan terhadap masyarakat Papua tidak menggambarkan penerapan pendekatan humanistik terhadap rakyat Papua yang notabenenya merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Opini publik yang bergulir juga bermacam-macam dan paling parah ialah stigma terhadap masyarakat Papua bahwa hal itu merupakan langkah separatis, dengan dalih mereka orang asli papua (OAP) ingin merdeka.

Beberapa khalayak menganggap, tagar #PapuanLivesMatter ialah wujud perlawanan kolektif citizen Indonesia yang peduli kondisi Papua dan menunjukkan pada dunia bahwa segala bentuk diskriminasi rasial harus dihapuskan di bumi pertiwi.

Kisruh di beberapa kota besar di Papua akan menjadi catatan buruk rezim yang tengah berkuasa, karena darah yang tumpah, ruh yang telah memisah dengan jasad ialah harga yang harus dibayar, sehingga penting dicarikan jalan keluar terkait apa yang mesti dilakukan bersama-sama. Antara Indonesia dan Papua sebagai bangsa Indonesia.

Mula Konflik

Pasca kemerdekaan, awal mula konflik terjadi ketika Belanda dan Indonesia memperebutkan wilayah Papua antara menjadi bagian dari NKRI atau negara sendiri yang dimerdekakan oleh Belanda. Hingga berakhir pada negosiasi di forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menghasilkan perjanjian New York (1962) dibawah rezim Sukarno.

Hasil negosiasi tersebut adalah Penentuan Pendapat Rakyat (Papera): mengembalikan permufakatan kepada rakyat Papua. Antara memilih bergabung dengan Indonesia atau bersepakat dengan Belanda untuk menjadi negara sendiri yang dimerdekakan. Hasil dari Papera (1969) wilayah Papua resmi menjadi bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Meski Pepera dimenangkan Indonesia, sebagian besar warga Papua merasa bahwa Pepera tidak dilakukan dengan metode "Satu orang, satu suara," namun dengan musyawarah. Untuk mendukung pernyataan ini, pemilih pada saat Pepera adalah 1025 orang. Sedangkan jumlah warga Papua saat itu adalah 800 ribu penduduk.

Melihat Pengalaman

Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada masa kepemimpinannya, pengamalan menangani konflik dengan pendekatan humanistik boleh dinilai berhasil dengan merangkul warga Papua serta meyakinkan mereka bahwa masyarakat Papua berhak diperlakukan sama.

Salahsatu dari sekian banyak upaya pendekatan humanis yang dilakukan Gus Dur ketika dirinya ingin melihat matahari terbit di Papua padahal kondisi mata Gus Dur saat itu tidak bisa melihat alias buta. Beberapa pengamat menyampaikan bahwa hal itu merupakan strategi politik Gus Dur dalam mengistimewakan rakyat Papua sebagai bagian dari NKRI, tidak boleh ada diskriminasi. Agar masyarakat Papua yakin bahwa Pemerintah juga memerhatikan mereka, tanpa ada perbedaan sedikitpun antara masyarakat yang lain dalam naungan NKRI.

Hal inilah yang semestinya menjadi acuan Pemerintah yang sedang berkuasa agar senantiasa melakukan tindakan-tindakan humanis. Dilansir dari Kompas, upaya Pemerintah saat ini pun melakukan tindakan yang dinilai militeristik, wilayah Papua Barat dilakukan penambahan aparat keamanan sebagai dalih menjaga stabilitas keamanan. Hal tersebut dilakukan sebagai tindak lanjut menangani konflik yang tengah terjadi.

Padahal sejarah panjang pada masa Orde Baru juga melakukan hal yang sama, melakukan pendekatan militeristik yang implikasinya justru resolusi konflik kian menganga dan berujung pada jatuhnya korban jiwa baru yang semakin meningkat. Patut kiranya kita berkaca pada sejarah, apa yang telah dilakukan pada masa Orde Baru tidak boleh dilakukan saat sekarang.

Dalam laporan Komnas HAM, ada sebanyak 10,000 korban jiwa akibat konflik yang bermula pada tahun 1970an hingga 1998. Apakah Pemerintahan sekarang akan mengulangi kejadian yang sama dengan tindakan militeristik yang dilakukan? Semoga tidak!

Perlu diingat "Nyawa manusia lebih berharga dibanding kepentingan apapun." Upaya terbaik yang perlu dilakukan ialah berdialog lalu bernegosiasi dengan masyarakat Papua terkait apa yang mestinya dilakukan bersama-sama.

Meskipun peristiwa diskriminasi rasial bukanlah hal baru, namun sikap pesimis akan keadaan bukan akhir dari segalanya, perlawanan kolektif dengan basis cinta dan kepedulian dibalut rasa empati atas kemanusiaan ialah modal awal menuju peradaban yang lebih baik.

Wallahu a'lam bisshowaab.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun