Mohon tunggu...
Adisan Jaya
Adisan Jaya Mohon Tunggu... Guru - Seorang Guru yang gajinya tak seberapa

Hobi menulis tetapi masih malu membuat buku~

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Persepsi terhadap Keteladanan TGKH Zainuddin Abdul Madjid dalam Meningkatkan Semangat Nasionalis-Religius Generasi Muda

26 Desember 2022   09:40 Diperbarui: 26 Desember 2022   09:41 359
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pengantar

Perjuangan pahlawan nasional dalam meraih kemerdekaan bangsa Indonesia tentunya tidak mudah. Jiwa dan raga mereka korbankan demi mendapatkan kemerdekaan dari tangan penjajah pada saat itu. Kemerdekaan yang kita nikmati pada hari ini tidak lepas dari jasa para pahlawan. Mengingat perjuangan para pahlawan yang telah gugur dalam meraih kemerdekaan, banyak hal yang bisa generasi muda ambil dari nilai-nilai kepahlawanan untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Nilai-nilai Kepahlawanan perlu dijunjung tinggi dengan penuh kebanggaan dan diamalkan dalam berbagai kegiatan pembangunan serta kehidupan sehari-hari. Memang harus diakui bahwa nilai-nilai Kepahlawanan saat ini cenderung mengalami penurunan dikarenakan generasi muda lebih mengetahui tokoh boy band atau Korean Pop (K-Pop) dibandingkan dengan tokoh pahlawannya sendiri. Oleh karena itu pengenalan nilai-nilai Kepahlawanan perlu dilakukan dan disosialisasikan pada generasi muda di tengah krisis keteladanan saat ini.

Krisis keteladanan disebabkan pertama ketiadaan panutan di tengah masyarakat dan kedua, gagalnya mentransmisikan keteladanan “pahlawan” baik yang sudah meninggal maupun masih hidup.[1] Sejauh ini kita gagal mentransmisikan keteladanan pahlawan baik yang masih ada maupun sudah tiada kepada generasi muda. Padahal biografi pahlawan-pahlawan bisa memberikan pengaruh moralitas yang baik, kisah kisah keteladanan mereka apabila dikemas dengan baik dan dipublikasikan secara luas.

Ditambah lagi dengan maraknya pertentangan antara identitas nasionalisme dan identitas agama saat ini yang dipertontokan oleh kelompok elit, semakin meruncing hingga menganggu stabilitas negara. Perbedaan pandangan mengenai identitas politik antara kedua kelompok identitas ini melahirkan berbagai isu di masyarakat luas terhadap kebenaran identitas yang mereka yakini hingga menjurus kepada munculnya kelompok pro pemerintah dan kelompok anti pemerintah.

Di sisi lain, penyebaran paham radikalisme sudah marak diajarkan di beberapa sekolah dengan indoktrinasi yang terstruktur. Ada beberapa sekolah yang secara resmi mengajarkan konten radikal kepada peserta didik. Lebih lanjut, riset Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) yang dipimpin oleh Prof. Dr. Bambang Pranowo (guru besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta), pada Oktober 2010 hingga Januari 2011 di Jakarta, disebutkan bahwa 50% peserta didik SMA setuju tindakan radikal yang memecah belah persatuan bangsa. Sesuai data tersebut, 25% peserta didik SMA dan 21% guru menyatakan Pancasila tidak relevan lagi dalam menghadapi perkembangan zaman.[2] Masalah tersebut muncul akibat beberapa faktor, salah satunya adalah pemisahan antara ilmu agama dan ilmu pengetahuan umum di sekolah yang mengakibatkan kebuntuan dalam penanaman karakter generasi muda.

Dilema Antara: “Nasionalisme atau Religius?”

Pembenturan antara nasionalisme dan religius akhir-akhir ini marak sekali terjadi, khususnya penganut agama tertentu yang dibenturkan dengan semangat kebangsaan. Dalam media online maupun cetak selalu menampilkan informasi yang menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat, seakan-akan agama dan nasionalisme tidak dapat disatukan.

Di sisi lain, agama seringkali digunakan sebagai faktor legitimasi atau untuk menutupi konflik yang sesungguhnya. Aspek teologis atau agama dapat mempengaruhi munculnya radikalisme karena memahami agama dalam dua kutub yang berseberangan, yaitu merasa lebih benar atau lebih berhak untuk masuk surga serta adanya dendam sejarah dalam setiap perkembangan agama.[3]

Istilah kebangsaan merupakan gambaran ciri-ciri terhadap kesatuan orang yang bersamaan asal keturunan, budaya, bahasaan akar sejarahnya pada suatu lokasi tertentu. Kesamaan ciri terhadap kelompok manusia sehingga dapat disebut bangsa mulai berkembang pada abad ke-18 di Eropa, dan mengalami transformasi ideologi ke dunia Islam.[4]

Perkembangan ideologi kebangsaan sesungguhnya telah dilakukan oleh Nabi Muhammad dalam proses membangun masyarakat baru kota Yatsrib. Nasionalisme modern itu ditandai dengan penyusunan konstitusi Piagam Madinah (Misaq al-Madinah) untuk mengikat seluruh masyarakat Madinah tanpa membedakan agama, suku, maupun kelas sosial yang ada. Komposisi masyarakat Madinah pada saat itu terdiri atas suku Auz dan Khazraj yang sebagian memeluk Islam, dan suku Quraizhah, Nadhir, dan Qaynuqa yang memeluk Yahudi.[5]

Seharusnya tidak perlu lagi digaungkan antara nasionalis atau religius di tengah masyarakat terlebih khususnya menjadi konsumsi bagi generasi muda. Namun kenyataannya akhir-akhir ini gejolaknya semakin memanas yang dipertontonkan oleh elit politik Indonesia di berbagai media. Dampak yang paling besar adalah bagi generasi muda yang sedang mencari jati diri di usia yang rentan dengan pengaruh hal-hal yang negatif.

Keteladanan TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun