Mohon tunggu...
Asita Suryanto
Asita Suryanto Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Traveler

Koresponden Kompas di Jatim (1983-1986) Wartawan Tabloid Nova (1986- 1989) Peneliti Litbang Kompas (1990-2002) Penulis buku travel (2010-sekarang)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Saya Setuju Sistem Zonasi Sekolah

28 Juni 2019   16:10 Diperbarui: 28 Juni 2019   16:24 649
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Antrian daftar sekolah (tribunnews.com)


Pengalaman memiliki tiga orang anak yang bersekolah di SMA yang dekat rumah dan seorang yang berjauhan untuk mengejar SMA favorit membuka mata saya untuk menyetujui sistem zonasi.

Zonasi adalah awal untuk perubahan lebih besar. Kita harus menyambutnya dengan selamat datang sambil terus ke depan memberi masukan perbaikan teknis.

Bila ini berjalan terus mendapat kepercayaan dan perbaikan mutu guru, lima tahun ke depan kita akan melihat hal baik mulai terjadi di persekolahan kita.

Sekolah yang dekat memungkinkan anak-anak kembali berjalan kaki, kembali bersepeda angin, kembali mengenali hal-hal indah tentang hidup bersama dan alam sekitar.Dua orang anak saya bersekolah di SMA yang hanya berjarak 1 kilometer dari rumah bisa berjalan kaki dan bersepeda ke sekolah.

Guru-guru yang tak tinggal jauh dari lingkungan anak-anak didik mereka akan memungkinkan terciptanya pendidikan yang holistik dan berbasis persoalan hidup di sekitar mereka.

Menurut Riyadi salah seorang teman penulis yang menjadi guru,keterlibatan aktif orang tua pada persoalan pendidikan anak-anak dan mutu sekolah bisa dimunculkan ketika sekolah itu benar-benar berada dalam satu lingkungan dengan mereka. Ketegangan masyarakat soal keselamatan anak-anak mereka dalam perjalanan dari dan ke sekolah akan menurun. Dan banyak lagi.

Jadi sangat sedih mendengar informasi hari ini: "Jawa Timur Menangguhkan Sistem Zonasi". Mendengarkan segelintir orang tak paham, meniadakan maksud tujuan mulia bahwa semua anak Indonesia tak terkecuali satupun berhak menerima pendidikan bermutu yang dibiayai oleh pendapatan atau hutang negara.

Kebijakan zonasi yang diterapkan sejak tahun 2016 menjadi pendekatan baru yang dipilih pemerintah untuk mewujudkan pemerataan akses pada layanan dan kualitas pendidikan di seluruh Indonesia. 

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy mengimbau agar pemerintah daerah dapat turut memberikan pemahaman kepada masyarakat terkait kebijakan zonasi.


Mendikbud kembali menegaskan bahwa pendekatan zonasi tidak hanya digunakan untuk Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) saja, tetapi juga untuk membenahi berbagai standar nasional pendidikan. "Mulai dari kurikulum, sebaran guru, sebaran peserta didik, kemudian kualitas sarana prasarana. Semuanya nanti akan ditangani berbasis zonasi," disampaikan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy pada Rapat Koordinasi dengan Kepala Dinas Pendidikan Provinsi dan jajarannya di Kantor Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan beberapa waktu lalu.

"Penerapan sistem zonasi untuk pemerataan pendidikan yang berkualitas sehingga diharapkan dapat mengatasi persoalan ketimpangan di masyarakat," tambah Muhadjir dalam siaran pers Kemendikbud.

Segera, redistribusi tenaga pendidik dan tenaga kependidikan akan menggunakan pendekatan zonasi, hal ini diharapkan dapat mempercepat pemerataan kualitas pendidikan. Menurut Mendikbud, setiap sekolah harus mendapatkan guru-guru dengan kualitas yang sama baiknya. Rotasi guru di dalam zona menjadi keniscayaan sesuai dengan amanat Undang-Undang.

"Pemerataan guru diprioritaskan di dalam setiap zona itu. Apabila ternyata masih ada kekurangan, guru akan dirotasi antarzona. Rotasi guru antarkabupaten/kota baru dilakukan jika penyebaran guru benar-benar tidak imbang dan tidak ada guru dari dalam kabupaten itu yang tersedia untuk dirotasi," terangnya.

Sebagai urusan pemerintahan konkruen, serta dalam rangka meningkatkan kepatuhan terhadap norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK), Mendikbud bersama dengan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) telah menerbitkan edaran bersama terkait implementasi PPDB sesuai Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 51 Tahun 2018. Penerapan PPDB yang menyimpang dari Permendikbud tidak dibenarkan. Sanksi akan diberikan sesuai peraturan yang berlaku, seperti teguran tertulis sampai dengan penyesuaian alokasi atau penggunaan anggaran pendidikan yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).


Sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, maka pembinaan teknis yang dilakukan oleh Menteri teknis yang membidangi urusan pemerintah pusat yang diserahkan ke pemerintah daerah, meliputi: a. capaian standar pelayanan minimal atas pelayanan dasar; b. ketaatan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan termasuk ketaatan pelaksanaan norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK), yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.

Kendati demikian, Mendikbud menyampaikan bahwa penetapan zona itu prinsipnya fleksibel dan melampaui batas-batas wilayah administratif. Misalkan, dikarenakan kendala akses ataupun daya tampung sekolah, maka sangat dimungkinkan pelebaran zona sesuai situasi dan kondisi di lapangan. Oleh karena itu, Kemendikbud tidak mengatur sampai detil. Sehingga pemerintah daerah dapat menyusun petunjuk teknis dengan lebih baik.

"Jadi, kalau memang daerah ada kondisi tertentu, bisa disesuaikan. Cukup ada perjanjian kerja sama antar pemerintah daerah mengenai hal ini," ujarnya.

Contoh di siaran Metro TV diberitakan ada SMP Negeri di Tulungagung yang hanya menerima murid 5 orang karena sistem zonasi dengan resiko banyak sekolah favorit yang lokasinya berdekatan. Masalah seperti ini penyelesaiannya bisa ditingkat Pemda setempat untuk solusi agar murid sekolah tersebut bisa bertambah sesuai daya tampungnya.


Pendekatan zonasi yang dimulai dari penerimaan siswa baru dimaksudkan untuk memberikan akses yang lebih setara dan berkeadilan kepada peserta didik. Tanpa melihat latar belakang kemampuan ataupun perbedaan status sosial ekonomi.

"Kewajiban pemerintah dan sekolah adalah memastikan semua anak mendapat pendidikan dengan memerhatikan anak harus masuk ke sekolah terdekat dari rumahnya," terang Mendikbud.

"Karena pada dasarnya anak bangsa memiliki hak yang sama. Karena itu, tidak boleh ada diskriminasi, hak ekslusif, kompetisi yang berlebihan untuk mendapatkan layanan pemerintah. Sekolah negeri itu memproduksi layanan publik.

Apabila seorang anak yang berasal dari keluarga ekonomi tidak mampu tidak mendapat sekolah di dalam zonanya, mereka akan berpotensi putus sekolah karena kendala biaya.

Dicontohkan Mendikbud, kisah peserta didik dengan latar belakang keluarga tidak mampu terpaksa harus bersekolah di tempat yang jaraknya mencapai 15 kilometer dari rumah. Anak itu harus berangkat pukul 05.30 pagi dan baru sampai ke rumah pukul 18.30 setiap harinya. 

"Kapan waktunya untuk belajar? Kapan waktunya untuk beristirahat? Belum biayanya untuk transportasi. Padahal di dekat rumahnya ada sekolah negeri, tapi karena nilainya tidak mencukupi, dia tidak bisa sekolah di sana. Ini 'kan tidak benar," tuturnya.


Masyarakat yang mampu diminta ikut berpartisipasi dengan membantu sekolah yang ada disekitarnya. Sehingga pada saatnya nanti semua sekolah kualitasnya akan menjadi baik.

Selain itu, dalam jangka panjang, pemerintah juga harus menanggung risiko urbanisasi dari penduduk yang tidak memiliki kecakapan kerja dan wawasan hidup. Serta hilangnya penduduk yang diharapkan dapat membangun wilayah asalnya.

Dalam kesempatan yang sama, Mendikbud meminta ketegasan dinas pendidikan menindak sekolah swasta yang tidak memberikan layanan baik kepada siswa, khususnya yang terindikasi hanya beroperasi demi mendapat Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dari pemerintah. 

"Kalau anak tidak mendapatkan pendidikan yang baik, yang menanggung bebannya bukan sekolahnya, tetapi negara dan masyarakat. Maka itu, saya mohon agar dinas pendidikan juga dapat memberikan perhatian dan pembinaan sekolah-sekolah swasta di wilayahnya," ujarnya.


"Semestinya, sekolah swasta bisa memberi nilai tambah bagi masyarakat, yang tidak ada di sekolah negeri," tambahnya.
Mendikbud meminta agar orang tua tidak perlu resah dan khawatir berlebihan dengan penerapan zonasi pendidikan pada PPDB. Ia mengajak para orang tua agar dapat mengubah cara pandang dan pola pikir terkait "sekolah favorit/unggulan". Ia memahami masyarakat masih resisten dengan konsep ini.

Dikatakan Mendikbud, jangan sampai sekolah mengklaim sebagai unggulan hanya karena menerima anak-anak yang pandai dan umumnya dari keluarga dengan ekonomi menengah ke atas yang mampu memberikan fasilitas penunjang belajar anak. Sekolah, khususnya sekolah negeri harus mendidik semua siswa tanpa terkecuali.

"Prestasi itu tidak diukur dari asal sekolah, tetapi masing-masing individu anak yang akan menentukan prestasi dan masa depannya. Pada dasarnya setiap anak itu punya keistimewaan dan keunikannya sendiri. Dan kalau itu dikembangkan secara baik itu akan menjadi modal untuk masa depan," ujar Muhadjir Effendy.

"Ke depan, yang unggul itu individu-individunya. Sekolah hanya memfasilitasi belajar siswa," tambahnya.

Pendekatan zonasi erat kaitannya dengan penguatan pendidikan karakter. Dijelaskan Mendikbud, sesuai ajaran Ki Hajar Dewantara, pemerintah mendorong sinergi antara pihak sekolah (guru), rumah (orang tua), dan lingkungan sekitar (masyarakat). Ekosistem pendidikan yang baik tersebut diyakini dapat mudah diwujudkan melalui pendekatan zonasi.

Mendikbud memberikan contoh negara maju yang turut menerapkan zonasi pendidikan seperti Jepang. Saat jarak sekolah dekat dengan tempat tinggal, kemudian siswa jenjang pendidikan dasar bisa berjalan kaki ke sekolah. Dalam proses berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki itu, siswa bisa belajar etiket sebagai warga negara. Sopan santun, peduli lingkungan, dan berbagai macam kegiatan yang terkait pendidikan karakter dan budi pekerti. "Orang tua dan masyarakat sekitar ikut terlibat dalam pendidikan karakter," katanya.

Bagi saya pribadi punya pengalaman anak bersekolah jauh sampai 15 kilometer ketika  SMA pernah sering telat karena macet dan ongkos besar untuk naik ojek mengejar pagi jam masuk. Belum lagi kalau banjir melanda Jakarta si anak harus berjalan mengarungi banjir karena tidak ada mobil. Puncaknya ketika kerusuhan Si anak pulang ke rumah temannya dan terpaksa menginap karena takut pulang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun