Menurut cerita Marius Ardu Jelamu sebagai  Pejabat Sementara (Pjs) Bupati Manggarai yang juga  Kepala  Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Provinsi NTT di rumah jabatannya kepada penulis bercerita,  bahwa sawah di Cancar  dibagi secara adat dengan menggunakan ukuran jari untuk menentukan kepemilikan anak sulung, anak tengah atau bungsu .Â
Zaman dahulu ketika warga kampung hendak membagi sebuah lingko, titik pusatnya ditandai dengan sebuah kayu sebesar paha orang dewasa yang disebut haju teno, dinamai seperti itu karena diambil dari kayu teno.
Titik pusat inilah yang disebut lodok dan sering diadakan upacara adat. Saat musim tanam dan musim panen, warga mempersembahkan korban binatang berupa ayam jantan agar mendapat berkat dan bersyukur atas hasil kerja yang telah diperoleh.
Marius yang asli kelahiran Manggarai menambahkan, pembagian dari lingko baru dipandu oleh ketua adat yang dihormati . Pemimpin tradisional ini memiliki kewenangan atas tanah dan upacara yang berkaitan dengan siklus pertanian.Setiap keluarga dari masyarakat memiliki hak untuk bekerja bagian tertentu dari sawah tersebut.
Tergantung pada ukuran keluarga, kepala keluarga mengadakan sejumlah jari untuk tiang di Lodok tersebut. Jarak antara jari ditandai pada tiang ini. Polanya dengan menarik garis panjang dari titik tengah atau Lodok hingga ke bidang terluar atau Cicing dengan pola khas Lodok yakni kecil di dalam besar di luar atau layaknya formasi mirip jaring laba-laba.
Kewenangan untuk membagi tanah komunal ada pada kuasa Tu'a Teno yaitu ketua adat. Sehingga diawal mula pembagian dibuatkan ritus kecil 'Tente Teno' atau menancapkan pohon Teno di titik episentrum Lodok. Darah kambing ditumpahkan diatas kayu Teno wujud simbolisasi pengesahan secara adat. Kalau pergi ke Ruteng wajib mampir untuk melihat sawah cancar ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H