Sebelum pergi ke Flores, saya sering melihat foto-foto sawah cancar di kalender atau buku-buku  agar bisa kesana. Syukurlah akhirnya saya bisa mengunjungi sawah yang yang berbentuk seperti  jaring sarang laba-laba ini atau yang lebih dikenal dengan nama lingko spiderweb rice field.
Sawah dengan bentuk laba-laba ini sangat menarik. Lebih menarik berkunjung saat padi baru ditanam  atau akan panen satu bulan sedang tumbuh berwarna hijau dan kuning, sehingga garis bentuk sarang  laba-labanya kelihatan jelas.
Sawah bagi masyarakat Manggarai bukan sekadar tempat menanam padi. Begitu dihargai sawah sebagai  penunjang kehidupan, maka sawah harus diatur oleh adat dan istiadat yang sarat makna dan filosofi.
Nenek moyang orang Manggarai sudah menerapkan sistem pembagian sawah yang disebut lingko. Lingko adalah tanah adat yang dimiliki secara komunal untuk memenuhi kebutuhan bersama masyarakat.
Ada titik point untuk melihat dan mengambil foto  yang strategis  di Kampung Lingko. Sudah ada  jalan dengan tangga semen untuk naik ke puncak bukit kecil tempat melihat dari atas sawah cancar ini. Para wisatawan harus mendaki bukit sekitar dua ratus meter dahulu untuk melihat pemandangan persawahan berbentuk jaring laba-laba.
Sawah berbentuk sarang laba-laba ini terletak di Desa Cancar, sekitar 17 km sebelah barat Ruteng. Sawah ini dapat dicapai dengan mobil pribadi ,  dan kendaraan umum karena jalannya beraspal bagus , Dari Ruteng menuju arah ke  Labuan Bajo, sesampai di perempatan pasar Cancar ambil jalan ke arah utara ke arah sawah Lingko. Kemudian naik bukit di Desa Cancar untuk melihat pemandangan sawah sarang laba-laba.
Sawah berbentuk sarang laba-laba ini menarik untuk dilihat karena hanya satu-satunya di Indonesia, Â bisa juga jadi satu-satunya di dunia. Konon menurut cerita penduduk setempat pembagian sawah model sarang laba-laba ini berdasarkan kearifan budaya penduduk Manggarai yang sejak dulu gemar bertani. Sawah berbentuk sarang laba-laba ini adalah warisan budaya Manggarai yang sangat menakjubkan.
Ketika saya datang, sebagian padi di sawah ini ada sebagian yang telah menguning. Jadi bentuk sarang laba-laba nya kelihatan jelas dari atas bukit.Apalagi cuaca sangat cerah. Kalau datang kesini disarankan pagi hari  di musim kemarau menghindari  musim hujan, karena tangga semen cukup licin dan bukit untuk melihat sawah bisa becek dan kotor karena bertanah liat.
Melihat dari atas Bukit Cancar, sawah yang kelihatan mirip bentuk garis jaringan laba-labanya  membuat saya terharu dengan pemandangan yang langka ini. Ketika saya datang cuaca sangat cerah, langit sangat biru. Sawah cancar ini dilatar belakangi deretan gunung hijau membuat pemandangan menjadi indah.Apalagi di pagi hari masih banyak petani yang bekerja mendorong kerbaunya membajak sawah.Sesekali suara jangkrik terdengar di antara alang-alang dan beberapa ayam berkeliaran di balik bukit.
Garis pematang sawahnya benar-benar seperti gambar jaring laba-laba raksasa. Sawah yang aslinya berbentuk lingkaran itu diiris garis pematang sawah berbentuk segi tiga, lalu menjadi seperti jaring laba-laba.
Menurut cerita Marius Ardu Jelamu sebagai  Pejabat Sementara (Pjs) Bupati Manggarai yang juga  Kepala  Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Provinsi NTT di rumah jabatannya kepada penulis bercerita,  bahwa sawah di Cancar  dibagi secara adat dengan menggunakan ukuran jari untuk menentukan kepemilikan anak sulung, anak tengah atau bungsu .Â
Zaman dahulu ketika warga kampung hendak membagi sebuah lingko, titik pusatnya ditandai dengan sebuah kayu sebesar paha orang dewasa yang disebut haju teno, dinamai seperti itu karena diambil dari kayu teno.
Titik pusat inilah yang disebut lodok dan sering diadakan upacara adat. Saat musim tanam dan musim panen, warga mempersembahkan korban binatang berupa ayam jantan agar mendapat berkat dan bersyukur atas hasil kerja yang telah diperoleh.
Marius yang asli kelahiran Manggarai menambahkan, pembagian dari lingko baru dipandu oleh ketua adat yang dihormati . Pemimpin tradisional ini memiliki kewenangan atas tanah dan upacara yang berkaitan dengan siklus pertanian.Setiap keluarga dari masyarakat memiliki hak untuk bekerja bagian tertentu dari sawah tersebut.
Tergantung pada ukuran keluarga, kepala keluarga mengadakan sejumlah jari untuk tiang di Lodok tersebut. Jarak antara jari ditandai pada tiang ini. Polanya dengan menarik garis panjang dari titik tengah atau Lodok hingga ke bidang terluar atau Cicing dengan pola khas Lodok yakni kecil di dalam besar di luar atau layaknya formasi mirip jaring laba-laba.
Kewenangan untuk membagi tanah komunal ada pada kuasa Tu'a Teno yaitu ketua adat. Sehingga diawal mula pembagian dibuatkan ritus kecil 'Tente Teno' atau menancapkan pohon Teno di titik episentrum Lodok. Darah kambing ditumpahkan diatas kayu Teno wujud simbolisasi pengesahan secara adat. Kalau pergi ke Ruteng wajib mampir untuk melihat sawah cancar ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H