Desa Wisata Osing berada di kawasan Desa Kemiren , Kecamatan Glagah di Kabupaten Banyuwangi sudah terasa berbeda dibandingkan jalan-jalan ke desa lain. Rumah adat bergaya osing dengan pintu kayu dengan hiasan kepala burung bouraq menjadi pertanda itu rumah adat osing.
Penduduk di desa ini merupakan kelompok masyarakat yang memiliki adat istiadat dan budaya khas tersendiri.Memasuki Desa Kemiren benar-benar terasa berada di tempat yang sarat dengan aneka budaya dan adat.
Disini pusat tari gandrung dan pusat rumah adat osing. Disini setiap tahun diadakan festival tari seblang, barongan, menyangar kopi dan lainya festival tahunan yang sudah terjadwal di Dinas Pariwisata Banyuwangi.
Posisi Desa Kemiren sangat strategis menuju wisata Gunung Ijen untuk melihat kawahnya yang indah. Akses jalan menuju pemandian Tamansuruh dan ke perkebunan Kalibendo di sebelah barat.
Desa.yang berada di ketinggian 144 m di atas permukaan laut yang termasuk dalam topografi rendah dengan curah hujan 2000 mm/tahun sehingga memiliki suhu udara rata-rata berkisar 22-26°C . Suhu disini cocok untuk tanaman kopi sehingga Desa Kemiren juga terkenal dengan kopinya yang disebut Kopai Osing.
Rumah ‘crocogan’ yang beratap dua mengartikan bahwa penghuninya adalah keluarga muda dan atau keluarga yang ekonominya relatif rendah, dan rumah “baresan’ yang beratap tiga yang melambangkan bahwa pemiliknya sudah mapan, secara ma·teri berada di bawah rumah bentuk ‘tikel balung’
Barang berupa lesung (alat penumbuk padi) wajib disimpan di gudang tempat menyimpan sementara hasil panen. Di beberapa sudut jalan tampak gubuk beratapkan ilalang, yang dibangun di ujung kaki-kaki jajang (bambu, dalam bahasa Osing) yang tinggi.
Bangunan ini digunakan oleh masyarakat untuk “cangkruk” sambil mengamati keadaan di sekeliling desa. Pada masa lalu, gubuk seperti ini sengaja dibangun untuk memantau kedatangan “orang asing” yang datang.
Banyak keistemewaan yang dimiliki oleh desa ini di antaranya penggunakan bahasa khas yaitu bahasa Osing yang telah menjadi bahasa sehari-hari penduduk Banyuwangi.
Di Desa Kemiren juga ada sanggar yang sangat terkenal dengan nama Sanggar Genjah Arum, yang diambil dari nama beras terkenal di Banyuwangi.
Sanggar yang dibangun sesuai adat Osing didesain tradisional ini menerima tamu khusus sesuai perjanjian dengan suguhan makanan khas Banyuwangi seperti sayur asem ayam, pepes ikan, pecel pithik, urap sayur dan minuman khas temulawak. Pertunjukan utama setelah makan malam adalah tari gandrung dan musik lesung dari tangan ibu-ibu sepuh.
Sanggar Genjah Arum milik pribadi seorang pengusaha perkebunan kopi bernama Setiawan Subekti atau biasa dipanggil Pak Iwan. Ahli kopi kelas internasional ini memang sangat peduli dengan pelestarian adat Osing. Tatanan rumah dan benda-benda kuno di sanggar Genjah Arum mengambarkan kejayaan zaman Minak Jinggo di Banyuwangi.
Bentuk bangunan rumah Osing itu sendiri dibagi dalam tiga ruang, yakni Mbyale (balai/serambi) yang biasa digunakan untuk menjamu tamu dan ngobrol santai dengan tetangga dekat.Kemudian Jerumah (ruang tengah dan kamar) adalah bagian rumah yang biasa digunakan sebagi tempat istirahat dan bercengkrama bersama keluarga, dan Pawon (dapur) yang biasa digunakan ibu-ibu untuk memasak.
Setelah makan malam, penulis mendapat suguhan tari gandrung dengan penari yang handal dan cantik. Sebenarnya gandrung sebagai tari pembuka dalam menyambut tamu. Tapi di Sanggar Genjah Arum, tarian ini disuguhkan ketika tamu setelah bersantai selesai makan malam dan menikmati suasana Banyuwangi tempo dulu.
Para penari yang jumlahnya dua orang itu kelihatan cantik mulus dan lincah menari sesuai irama yang dinamis. Penari membawa selendang untuk diberikan kepada tamu yang menonton disana untuk diajak menari bersama .Bagi yang terpilih dan menerima selendang dari gandrung, diwajibkan untuk menari bersama gandrung.
Jangan menyesal pernah ke Desa Kemiren tapi tidak mencicipi kopinya. Sebab kopi olahan Desa Kemiren terkenal dengan sebutan Kopai Osing produksi Sanggar Genjah Arum adalah kopi berkualitas tinggi dengan cara menyangar di wajan tanah dan memakai api tungku kayu.
Rasa kopi yang diolah secara benar ini, dipastikan akan membuat ketagihan untuk mencoba lagi sampai puas. Selama tiga jam berada di Sanggar Genjah Arum, penulis sampai empat kali minum Kopai Osing karena nikmatnya.
Rasa kopinya antara pahit manis dan gurih pas banget di lidah apalagi di musim hujan sangat menggetarkan lidah dan ruang mulut rasanya. Apalagi obrolan yang seru tentang proses Kopai Osing dengan Bapak Iwan membuat kerasan berada di Sanggar Genjah Arum yang asri. Tentang proses pembuatan Kopai Osing produksi Bapak Iwan yang sudah diekspor ke negara-negara Eropa saya tulis kemudian hari .
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H