“Ingat Firman, ya?” tebak Abi dengan tatapan lembut. Asih meliriknya sekilas.
“Maafkan saya..”
“Tidak apa-apa. Hal yang wajar. Jangan tertekan karena perasaan itu. Saya baik-baik saja.”
Tekanan suara Abi terdengar datar namun Asih tak melihat perubahan wajah Abi karena terus menunduk. Pria itu nampak muram meski sesaat kemudian dia tersenyum dengan mata yang sendu.
Mereka berdua kemudian menumpang bus menuju Desa Rangkat. Dalam perjalanan sesekali Asih mencuri pandang ke arah Abi yang selalu melihat ke depan. Abi bukan tak menyadari sepasang mata terus menatapnya. Lewat ekor matanya, dia bisa melihat gerakan kepala Asih yang tertuju padanya. Hanya dia memilih diam agar tak mengusik kebahagiaan perempuan itu.
“Siapa yang Asih bayangkan?” tanya Abi tiba-tiba. Dia tak tahan sejak tadi Asih terus memandangnya. Asih memalingkan wajah ke arah jendela dengan debaran jantung berpacu cepat. Abi menyentuh lengannya.
“Siapa?Firman, ya?” tanyanya dengan perasaan getir. Bagaimanapun dia memiliki hati. Walau Firman sahabatnya tapi sekarang Asih adalah istrinya. Perasaan ikhlas ternyata tak bisa menahan rasa cemburu yang hadir dalam hatinya.
Asih mengangguk pelan.
“Maaf, saya tahu ini pasti akan terjadi. Tapi saya tidak ingin bohong sama Abi. Maaf..” Kembali ucapan maaf terlontar namun kali ini mata Asih berkaca-kaca. Melihat itu timbul rasa bersalah dalam hati Abi. Dia lalu mengulurkan tangan di belakang punggung istrinya, merangkulnya dengan mesra. Tak ada ucapan selain rangkulan itu makin erat.
***
Ketika mereka tiba di gerbang desa dan turun dari angkot, seseorang menyapa dan nyaris terpelanting dari onthelnya.