Firman berdiri lalu maju menyalami pak Windu. Mereka beriringan keluar dari rumah sementara Asih beranjak berdiri, mengintip dari balik gorden. Matanya tak berkedip menatap punggung Firman yang makin menjauh.
Perlahan-lahan Asih keluar dari kamarnya terus menuju teras. Firman tak menyadari sepasang mata terus menatap kepergiannya. Dia bahkan tak menoleh seperti kebiasaannya jika meninggalkan rumah seseorang. Rupanya pembicaraan dengan Umi Rere telah mengusik pikirannya. Dengan langkah tergesa dia menyetop ojek yang kebetulan melintas depan rumah pak Windu.
***
“Umi Rere kecewa dan marah pada saya saat itu. Tapi setelah saya jelaskan, akhirnya dia mengerti. Saya tidak mau ada dusta. Saya menyukai anak Umi Rere, bukan Umi Rere. Ada wanita lain dalam hati saya, sebelum saya mengenal Umi Rere.”
Asih termenung di kantor desa. Sejak tadi lembar buku dokumen didepannya tidak juga berganti. Ucapan Firman masih terngiang dan membuyarkan konsentrasinya.
Siapa wanita itu mas Firman? Apakah dia Acik, adikku? Sekarang Acik sedang mengurus perceraiannya dengan mas Halim. Apakah mas Firman sudah mengetahuinya? Itukah sebabnya mas Firman datang menemui ayah? Mengapa aku tidak memikirkannya. Bodohnya aku terus terbelenggu perasaan padahal mas Firman sama sekali tak mengingatku. Dia tentu ingin kembali pada Acik karena masih mencintainya, Asih membatin.
“Mbak Asih? Kok dari tadi melamun terus?” Acik muncul lalu duduk didepan saudarinya itu.
“Hanya istrahat saja. Data warga ini harus diserahkan sebentar, petugas statistik akan datang mengambilnya. Mbak harus menyelesaikan.”
“Benar tidak ada masalah?” ulang Acik yang terlihat cemas. Asih hanya tersenyum tipis.
“Baiklah. Aku keruangan Aa kades dulu ya, mbak.” Ucap Acik akhirnya.
Acik melangkah menuju pintu, ketika...