Mohon tunggu...
Asih Rangkat
Asih Rangkat Mohon Tunggu... lainnya -

Mewujudkan lamunan dalam tulisan...\r\n

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[ECR4] Ilalang dan Cintaku

16 Juni 2012   12:14 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:54 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sore menjelang ketika Asih melangkah meninggalkan kantor desa. Tugas tambahan membuat jadwal pulang molor dari semestinya. Sinar lembayung yang mulai berwarna jingga menyadarkan Asih untuk segera berkemas. Dia memeriksa kembali data terakhir sebelum mengatur dokumen-dokumen lalu meletakkannya didalam lemari.

Saat menutup pintu kantor desa, Asih melihat sekilas warga yang lalu lalang di jalan berbatu. Mereka menikmati keindahan sore di Rangkat. Meski tersenyum, dalam hati Asih merasa miris. Proposal perbaikan jalan di desa Rangkat sejak dua tahun yang lalu belum juga ada realisasi. Bolak balik mas Hans selaku kepala desa mengurus ke kabupaten namun belum juga ada tanggapan.

“Jangan patah semangat ya mas Hans, mungkin pejabat kabupaten terlalu sibuk hingga proposalnya belum juga di setujui..” Ucap Asih ketika mas Hans bersiap menuju kantor bupati.

“Semoga kali ini berhasil. Kalian doakan ya..” pesan Aa kades sebelum berlalu.

Asih asyik dalam lamunan hingga tak menyadari seseorang tengah memacu sepeda ke arahnya. Dia berhenti tepat di samping Asih yang terlonjak kaget.

“Mbak Ranti?” seru Asih. Ranti hanya tertawa membuat wajahnya semakin manis. Asih terpaku. Membayangkan tampilan Ranti dalam busana kebaya dan berdiri anggun di samping Aa Kades.

“Serasi..”gumam Asih.

“Apanya yang serasi, mbak Asih?”tanya Ranti sambil turun dari sepedanya.

“Oh, itu. Baju mbak Ranti, keren..serasi dengan warna jilbabnya...”

“Oh..”

Asih bernafas lega berhasil menemukan alasan sementara Ranti makin senang mendengar pujian Asih. Mereka lalu berjalan beriringan.

“Baru pulang ya, mbak Asih? udah dengar kabar kalau mas Firman udah balik lagi ke desa Rangkat?”

Langkah Asih terhenti. Wajahnya nampak tegang.

“Benarkah? mbak Ranti dapat informasi dari mana?”

“Aku lihat sendiri, mbak. Tadi mas Firman turun dari angkot.”

“Benar dia mas Firman? mbak Ranti tidak salah mengenali orang kan?”

“Seratus persen dia mas Firman.” jawab Ranti penuh keyakinan.

Asih tak bertanya lagi. Dia bahkan segera pamit pada Ranti untuk melewati jalan lain bukan jalan desa yang biasa dia lalui. Ranti hanya berdiri sambil memegang sepedanya. Dia heran melihat ekspresi Asih ketika mendengar kabar kedatangan Firman. Lelaki yang hingga kini masih menghuni ruang rindu di hati Asih.

“Aneh. Seharusnya dia gembira..”gumam Ranti lalu memacu sepedanya.

***

Asih tiba di rumah dan melewati ayahnya yang sedang membaca buku. Pak Windu menoleh melihat putrinya yang terburu-buru.  Meski mengucapkan salam namun sekejap Asih telah masuk kedalam rumah.

“Kamu kenapa, nak? Kok kelihatan panik?”

Asih berbalik kaget mendengar suara ayahnya

“Tidak apa-apa, ayah. Nanda hanya ingin cepat tiba di rumah..” Jawabnya lalu bergegas masuk ke dalam kamar meninggalkan tanda tanya dalam benak ayahnya.

Apakah dia sudah tahu kalau nak  Firman telah kembali? batin pak Windu cemas.

Sementara di dalam kamar, Asih  membuka lemari lalu mengeluarkan plastik berisi ilalang kering. Dia menatap ilalang tersebut dengan perasaan sedih.

“Saya harus kuat. Meski dia kembali tapi dia kini tak sendirian. Dia sudah menikah. Tak boleh hadir perasaan lain di antara kami. Saya harus melupakannya..” ucapnya lirih.

Asih meraih bungkus plastik tersebut lalu keluar dari rumah menuju halaman samping. Disana dia menggali tanah menggunakan sekop. Setelah nampak lubang yang tidak terlalu dalam, dia kemudian bersimpuh  meletakkan bungkusan plastik  lalu menimbunnnya dengan tanah. Tangan Asih bergetar. Matanya berkaca-kaca.

“Ini kenangan darimu mas Firman. Sekarang saya tidak boleh lagi menyimpannya. Ilalang kering ini biarlah terkubur bersama kisah kita..” air mata Asih menetes. Di balik jendela, Pak Windu melepas kacamata untuk menghapus air matanya.

“Tabahlah anakku..” Ucapnya menatap pilu pada putrinya.

======

Kisah Sebelumnya :

Terluka oleh Jarak dan Waktu Karena Kami Memiliki Ayah Merenda Ilalang Kering

Desa Rangkat menawarkan kesederhanaan dan cinta untuk anda

Ingin bergabung? silahkan klik  logo  di bawah ini..

Sumber Gambar di sini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun