Langkah Asih gontai, menyusuri tangga di salah satu pasar sudut  kota. Sore itu hatinya kalut memikirkan biaya sekolah anaknya Rozak dan kebutuhan hidup mereka. Kalau begini terus, aku bisa mati kelaparan. Jangankan biaya sekolah, untuk  makan sehari-hari saja tidak cukup.
Semenjak suaminya pergi meninggalkannya, Asih dan Rozak hidup berdua di pinggiran kota Jakarta.Rumah mereka yang dulu dihuni bertiga terjual demi menutupi utang. Dan sekarang Asih dan anaknya ngontrak rumah yang tidak layak huni dengan ukuran ruang 3x 4 meter.
"Sih, apa kamu gak capek kerja begitu terus?"tanya Ririn tetangga sebelahnya dengan nada mengejek. "Yah gimana lagi, nyari kerjaan yang gajinya banyak sulit, lagipula aku cuma lulusan SD," jelasnya.
Kalau  nyuci iin baju begini sebenarnya capek juga, tapi mo gimana lagi,"katanya sambil mengucek-ucek baju yang direndamnya.
Mata Ririn menyipit sebentar sebelum  ia  membisikkan  sesuatu  ke telinga Asih."Kamu mau gak dapat uang banyak, tapi kerjanya gak perlu capek?"tawarnya kemudian.
Asih tak beranjak dari tempatnya, tapi ia mulai tertarik dengan tawaran Ririn.
"Ah, mana mungkin, kerja apa itu,"tanyanya kemudian. Melihat temannya mulai tertarik rayuannya, Ririn langsung berbisik kembali,"jadi pengemis jalanan..Kalo kamu  minat nanti aku  sampaikan ke bang Jupri.
Asih terbelalak kaget, ia tahu  kalau mengemis itu pekerjaan hina dan Jupri?Bukankah orang itu preman kampung yang paling ditakut daerah ini? Ririnpun berbagi tips untuk memperdaya orang-orang di sekitarnya untuk mengeluarkan uang mereka.
Akhirnya dengan terpaksa Asih mengikutinya. Dilepasnya pekerjaan yang tak membuatnya kaya itu. Tak tanggung-tanggung anak semata wayangnya pun dibawanya, kata Ririn agar lebih meyakinkan.
1 Minggu kemudian...
"Pak...Bu...tolong kami belum makan  dan  untuk mengobati luka di kaki anak saya..rintih seorang ibu yang buta. Sedangkan kaki bocah itu penuh koreng dan dikelilingi lalat. Tiap orang melihat pasti jijik.