Ayo... Sum, keburu hujan nanti. Cepatlah kau masukkan daun-daun ini!" perintah emak Sumi. Sumi pun mengangguk dan tangan kecilnya memasukkan daun-daun daun yang sudah dirapikan emaknya.
"Mak, kenapa kak Seto dan ayah Karim jarang membantu kita mencari daun jati ini? Padahal mereka juga makan dan suka minta uang pada emak? " tanya Sumi hati-hati.
Emak Sumi menghela nafas pelan. Ada guraran kekecewaan di sela wajah keriputnya. "Sudahlah, Sum. Mereka susah dinasehati. Daripada emak nanti dihajar dan dikata-katain, mending emak diam. Mungkin suatu saat ayahmu dan Seto bisa berubah, " kata emak Sumi lirih. Sumi pun tertegun sesaat dan hanyut dalam kebisuan.
Benar kata emak, jika emak mengingatkan suaminya, pasti yang ada hanya bertahan dan umpatan kasar. Sumi tidak mau terjadi hal itu pada emaknya, yang sudah susah payah mencari uang untuk mereka.
Dalam hati Sumi mengumpat perilaku kedua orang terdekatnya itu, tetapi ia tak berani melawan. Hari sudah mendekati siang. Mereka pun pulang dengan membawa dua keranjang.
 Dengan cara diindet(dijinjing) keranjang itu dibawanya menuju rumah bu Mirah. Perjalanan menuju rumah bu Mirah cukup jauh, yaitu sekitar 30 menit dengan melewati pematang sawah penduduk sekitar.
Tak butuh waktu lama, karena langkah mereka tergesa untuk sampai tujuan. Sumi mengelap peluh keringat di dahinya. Emak juga melakukan hal yang sama. Ditariknya ujung kain kebayanya dan iapun mulai mengelap dahinya.
 Wajah cantiknya masih membekas di usia senjanya. Wanita yang kuat, tetapi dingin dalam bersikap, kalau bicara seperlunya, seolah di sekelilingnya orang yang jahat padanya.
"Kulo nuwun..." Sumi mewakili emaknya mengucap salam pada si empunya rumah.
"Monggo... " Terdengar suara dari dalam rumah. Ternyata bu Mirah sendiri yang membukakan pintu.
"Bu ini pesanan daun jatinya. Kalau kurang  saya bisa carikan lagi, " kata emak dengan tenang. Wajahnya menunduk isyarat tanda hormat.
" Gak, bu Karim, ini sudah cukup kok. Dan ini sedikit uang untuk kalian. O iya besok kalau bisa bantu saya ya, bu, untuk memasak di dapur, " kata bu Mirah sambil menatap emak.
"Oh terima kasih. Besok pasti saya datang, bu. Kalau begitu kami permisi dulu. " Emak segera menerima uang berwarna biru dua lembar dan dimasukkan ke lipatan stagen (kain panjang yang melilit perut). Bu Mirah mengangguk dan menunggu kepergian Sumi dan emaknya.
"Kasihan bu Karim, berjuang sendiri untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Pak Karim memang laki-laki tak berguna," gerutunya sambil menutup pintu kembali.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H