Mohon tunggu...
Asih Eka Putri
Asih Eka Putri Mohon Tunggu... Dokter - --

--

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Legalkah Surplus BPJSK untuk Tambal Iuran PBPU Kelas 3?

14 Desember 2019   11:51 Diperbarui: 16 Januari 2020   15:55 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Desakan kuat terus datang dari Komisi IX DPR RI untuk tidak menaikkan iuran jaminan kesehatan nasional (JKN) bagi Pekerja Bukan Penerima Upah dan Bukan Pekerja kelas rawat inap tiga (PBPU Kelas 3 ). Sebagai gantinya, Kementerian Kesehatan, BPJS Kesehatan dan DJSN mengusulkan untuk memanfaatkan surplus dana jaminan sosial (DJS) kesehatan sebagai solusi alternatif untuk menambal selisih kenaikan iuran PBPU  kelas 3 sebesar Rp 16.500 per jiwa per bulan. Surplus yang dimaksud berasal dari sisa penggunaan dana yang dihimpun dari peserta penerima bantuan iuran (PBI).

Pada Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi IX DPR RI (13/12/2019), para Anggota Dewan mendukung langkah tersebut. Ketiga lembaga Pemerintah menjamin bahwa kesepakatan ini akan diimplementasikan kepada 19.961.569 juta jiwa per 1 Januari 2020, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Frasa "sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan" dalam keputusan RDP perlu digaris bawahi. Apakah opsi ini benar-benar didukung oleh peraturan perundang-undangan jaminan sosial yang berlaku?

Surplus DJS milik seluruh Peserta

Prinsip kegotong-royongan dan prinsip dana amanat adalah fondasi penyelenggaraan JKN.  Kedua prinsip tersebut telah diatur dalam Pasal 4 huruf a dan huruf h UU No 40 Tahun 2004. Untuk membiayai manfaat, dana seluruh peserta JKN dikumpulkan dalam aset Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan.

Peserta memperoleh hak yang sama sesuai kebutuhan medisnya. Bila terjadi surplus atau defisit aset DJS Kesehatan, seluruh Peserta akan menikmati atau menangggung beban bersama.  Defisit prihatin bersama, surplus senang bersama.

UU SJSN dan UU BPJS tidak memberlakukan segmentasi peserta dalam pengelolaan aset jaminan sosial kesehatan. BPJS Kesehatan tidak mencatat, juga tidak memperlakukan aset, liabilitas, surplus atau defisit per kelompok peserta. 

Selain itu, UU SJSN Pasal 4 huruf i mengatur bahwa hasil pengelolaan DJS dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk sebesar-besarnya kepentingan seluruh peserta, bukan hanya dinikmati oleh satu kelompok saja. Jika terjadi surplus DJS dan surplus tersebut akan digunakan untuk mengurangi besaran iuran, maka semua kelompok Peserta JKN berhak atas pengurangan iuran. Artinya, surplus DJS akan dialokasikan untuk semua peserta, disesuaikan dengan besar pendapatan, agar kegotong-royongan tetap terjaga.

Penggunaan surplus untuk kepentingan satu kelompok peserta mencedarai prinsip kegotong-royongan dan menciptakan segmentasi di antara peserta BPJS Kesehatan. Jelaslah, opsi tersebut di atas bertentangan dengan kedua prinsip jaminan sosial.

Surplus DJS untuk penguatan manfaat dan maturitas BPJSK

Sesungguhnya, pemanfaatan surplus aset DJS Kesehatan sudah diatur dengan rinci dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 87 Tahun 2013 jo PP 84 Tahun 2015 Pasal 34. Surplus digunakan untuk menambah aset bersih BPJS Kesehatan dan memperkuat aset DJS Kesehatan.

Jika terkumpul surplus aset DJS Kesehatan pada tahun 2020, prioritas utama hendaknya untuk memperkuat manfaat JKN.  Pelayanan kompensasi seperti biaya transportasi dan pengiriman dokter, perawat dan peralatan medis perlu segera didanai untuk melayani peserta yang berada jauh dari fasilitas kesehatan yang memenuhi syarat. Surplus juga diperlukan untuk merasionalkan tarif pelayanan kesehatan agar semakin dekat dengan nilai keekonomiannya dan semakin terjamin mutu dan keamanannya.

Penambahan aset BPJS Kesehatan dalam waktu dekat juga diperlukan untuk memperkuat kompetensi dan kapabilitas BPJS Kesehatan. Defisit aset DJS Kesehatan yang berkepanjangan telah menyerap sebagian aset BPJS Kesehatan untuk menalangi tagihan klaim fasilitas kesehatan. Jika ada surplus aset DJS pada tahun 2020, BPJS Kesehatan berhak atas pengembalian dana talangan sebagaimana diatur dalam PP No. 84 Tahun 2015 Pasal 34 ayat (4) dan (5), di mana pengembalian dana talangan diberikan setelah rasio likuiditas DJS mencapai 100% dan BPJS Kesehatan mampu mempertahankan rasio likuiditas DJS paling sedikit 80%.

Janji surplus tidak pasti

Membayarkan subsidi iuran dari surplus mulai 1 Januari 2020 tidak mungkin dilakukan karena dua hal -- kondisi nyata aset DJS Kesehatan dan sistem pencatatan pelaporan keuangan BPJS Kesehatan.

Penambahan iuran PBI mulai Agustus 2019 dan iuran Pegawai Penyelenggara Negara mulai Oktober 2019 sebagai pelaksanaan Peraturan Presiden No. 75 Tahun 2019 diperkirakan hanya mampu menurunkan defisit aset DJS Kesehatan separuh dari prediksi Rp 32T.  BPJS Kesehatan diprediksi masih akan menutup laporan aset DJS Kesehatan dengan defisit sekitar Rp16T. 

Menjanjikan penggunaan surplus di awal tahun perlu memahami serangkaian tahapan pencatatan dan pelaporan aset DJS Kesehatan. BPJS Kesehatan diberi waktu 6 bulan untuk menyiapkan laporan keuangan tahun 2019 dan melaporkannya kepada Presiden paling lambat 30 Juni 2020 sebagaimana diatur dalam PP 84/2015 Pasal 40 ayat (1) dan Pasal 41 ayat (1).  Oleh karenanya, nominal penetapan bantuan surplus tidak akan jelas sampai rangkaian sistem pelaporan keuangan terselesaikan. Alhasil, iuran  pada semester pertama 2020 akan berjalan tanpa adanya bantuan dari alokasi surplus.

Bantuan surplus ini juga tidak memiliki potensi berkesinambungan jangka panjang karena berdasar pada sebuah kebetulan yang tidak terencana. Jika bantuan iuran akan bergantung pada surplus yang bisa saja tidak terjadi, maka Pemerintah tidak akan mampu memproyeksikan dengan jelas berapa bantuan yang akan diberikan kepada kelompok peserta tersebut. Begitu pula jika pada sebuah tahun laporan keuangan menyatakan defisit, Pemerintah akan mendapatkan beban tambahan karena harus mengambil alih bantuan surplus yang nihil terhadap kelompok peserta tersebut.

Frasa Penyelamat untuk kembali ke UU SJSN

Menjanjikan surplus aset DJS Kesehatan untuk subsidi iuran sarat dengan ketidakpastian dan ketidaksesuaian terhadap peraturan perundang-undangan jaminan sosial. 

Menanggung selisih kenaikan iuran PBPU kelas 3  dari surplus aset DJS Kesehatan adalah menjanjikan suatu yang tidak pasti kepada publik sehingga akan menggerogoti kepercayaan publik kepada JKN. Selanjutnya, memberikan perlakuan istimewa untuk satu kelompok tunggal sangatlah bertentangan dengan asas keadilan. Pemilahan surplus berdasarkan kelompok perserta mencederai semangat kegotong-royongan dan menciptakan segmentasi peserta JKN.  

Selain itu, penggunaan surplus aset DJS Kesehatan untuk subsidi iuran sekelompok peserta bertentangan dengan ketentuan pengelolaan aset jaminan sosial kesehatan.  Surplus aset DJS Kesehatan ditujukan untuk kemaslahatan seluruh peserta berupa penguatan manfaat dan mutu layanan.

Mencermati uraian di atas, frasa "sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan" menggugurkan opsi yang ditawarkan Menteri Kesehatan, Direktur BPJS Kesehatan dan Ketua DJSN kepada para Anggota Dewan Komisi IX. 

( AEP, 14122019)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun