Mohon tunggu...
Asif Isnan
Asif Isnan Mohon Tunggu... Guru - guru honorer biasa

nulis sebagai pengusir kebosanan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Koma

29 Januari 2014   16:13 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:21 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada hari yang ke 40 pertemuanku dengannya ku ungkapkan maksud hatiku. Dan ia menerimaku. Ini sungguh di luar dugaan. Betapa tidak, aku perkenalan singkat itu kini telah menjadi jalinan kasih antara aku dan dirinya. Dalam waktu 40 hari saja aku sudah dapat meresmikian setatus hubungan kami.

Pada suatu malam ia mengundangku datang ke rumahnya. Aku sendiri belum mengetahui seperti apa rumahnya. Rasa penasaranku semakin menjadi, pasalnya kami hanya sering ketemuan di toko tempatku biasa bekerja. Tak terbersit sedikitpun keinginan untuk datang berkunjung ke rumahnya. Cukup bagiku berpacaran hanya sebatas kenal mengenal, tak sampai sejauh itu. Sampai meski datang dan berkenalan dengan orang tua atau sanak famili. Toh aku juga belum kepikiran sampai ke jenjang pernikahan. Aku masih ingin belajar, dan merasai pengalaman-pengalaman hidup.

Bunyi sms masuk, atas nama Alya Faresya;

Datang alamat; jl, dato nazir lot. 1762/5

Aku tersenyum memandangi alamat singkat yang ia berikan malalui pesan singkat itu. Handphone ku tutup dengan sejuta perasaan bahagia. Tak kira, akhirnya aku juga harus datang menemui orang tuanya. Apa mungkin memang jodohku di sini, di bumi rantau nan jauh di mato ini. Sikap lebayku mengiringi ungkapan bahagia yang meletup-letup, demi soerang wanita beraroma khas bunga kamboja itu.

Tertanggal, 15 maret. Di malam yang penuh dengan rasa penasaran, bercampur aduk, antara deg-degan, dan bahagia, entah apa jadinya nanti. Kolaborasi tiga rasa yang penuh sensasi itu. yaa, itulah resiko asmara, selalu memberi warna dalam hidup kita sebagai manusia. Aku langsung tancap gas motor Honda bebek ex-700 ku. Honda lawas yang senantiasa menemani hari-hariku berangkat ke tempat kerja, dan kini harus merasa bangga, saat hati yang mengendarainya kian berbunga-bunga menuju tempat gadis bunga kamboja itu.

Jalanan malam yang sepi sudah membuatku terbiasa dengan situasi negeri Malaya. Hanya segerombolan pohon-pohon sawit yang mendominasi pemandangan hampir di sepanjang jalanan. Rumah-rumah, dan beberapa bangunan kedai-kedai makan acap kali menyapa dengan lampu hias berwarna-warni. Pikiranku malayang, mulai membayang-bayang suatu saat kiranya ada modal lebih, aku akan membuka rumah makan. budaya konsumtif masyarakat di sini membuat bisnis kuliner sepertinya menjanjikan profit yang cukup menggiurkan.

Lamunanku yang berlebihan membuatku hampir tertabrak.  Van warna putih dari arah berlawanan, dengan laju yang tinggi tak ubahnya seperti sambaran kilat. Untung reflekku membuat semuanya baik-baik saja. Aku sempat menghindar walau akhirnya jatuh juga menabrak pembatas jalan. Dari situ aku sadar begitu bahayanya berkendara dengan pikiran yang tak jelas melayang-layang, memikirkan ini itu yang tak semestinya. Nasib baik juga si sopir van putih itu tak turun melempar makian dan cacian, sebab aku juga yang salah, terlalu berkendara ke sebekah kanan. Orang yang datang dari arah berlawanan pun jadi bingung, mau menghindar ke mana.

Jarak tempuh yang cukup jauh mengingatkanku. Harus cepat, tak boleh lagi melamun atau membuang-buang waktu. Batinku berkata,  ‘ Alya mungkin sudah menungguku, aku harus cepat’. Meski harus tanya sana-tanya sini, akhirnya sampai juga pada alamat yang di maksud. Keberadaanku yang tak cukup lama, lagi pekerjaanku sebagai penjual tudung dikedai mak cik Saleha membuatku kurang begitu mengenal wilayah yang sebenarnya tak sebegitu besar dibandingkan dengan pulau jawa atau sumatera ini.

Rumah itu begitu terang di antara rumah-rumah lain disekitarnya, membuatnya seperti purnama di antara para bintang yang menghiasi langit malam. Tampak Alya sudah menantikanku dengan pakaian khas ala negeri ini, baju kurung. Ia tampak cantik mempesona, luar biasa.

“ besar juga rumahnya..! “. Kataku, sekilas melihat gerbang otomatisnya, 2 pilar besarnya menyambut bak 2 penjaga yang senantiasa berdiri pongah. Rumah dengan gaya ala kuil romawi itu menggambarkan selera seni yang tinggi oleh pendirinya. Gemerlap lampu di sana sini mencitrakan betapa sang pemilik seorang aristokrat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun