Masih teringat di ingatan kita, betapa beberapa waktu lalu, jika Anda atau teman, lingkungan Anda yang harus membawa sekian gepok uang tunai untuk membeli sepeda motor atau kulkas misalnya. Namun kini hal yang merepotkan itu nampak sudah mesti semakin menghilang. Sekarang Anda tidak lagi harus repot membawa sekian gepok uang tunai, cukup Anda membawa kartu, kartu elektronik, baik itu kartu kredit atau kartu debit. Praktis, tinggal gesek saja. Transaksi pun tuntas.
Dari contoh tersebut dapatlah disimpulkan bahwa masyarakat Indonesia sekarang sudah mulai berubah. Perubahan itu adalah merupakan hasil dari campur tangan Bank Indonesia tentang uang elektronik pada tahun 2009 lalu. Nah, untuk memperluas dan mendorong penggunaan uang elektronik itu, maka lima tahun kemudian, di tahun 2014, Bank Indonesia lantas mencanangkan GNNT (Gerakan Nasional Non Tunai).
Pencanangan tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat, lembaga pemerintah, dan pelaku bisnis untuk menggunakan sarana pembayaran dengan non-tunai. Lihat saja sekarang sistem pembayaran non-tunai sudah diimplementasikan untuk pembayaran pembelian makanan atau minuman, jalan tol, tiket kereta, dan sebagainya.
Adapun rencana pemerintah untuk mencapai cashless society itu di tahun 2020 dan menamakan program itu "Go Digital Vision 2020".
Hembusan kencang visi itu dapat nampak pada keputusan pemerintah untuk memberlakukan pembayaran elektronik di semua pintu tol jalan di bulan Oktober 2017.
Sementara sistem cashless society ini sudah jauh-jauh hari dicanangkan di negara-negara lain. Belgia di tahun 2014 yang paling getol menerapkan sistem ini, lalu diikuti negara-negara Perancis, Kanada, Inggris, dan Swedia.
Melongok ke Asia, Cina adalah yang pertama yang sepenuhnya melepaskan sistem uang tunai. Hal itu disebabkan karena adanya pengawasan kontrol internet yang ketat oleh negara. Di negara dengan penduduk terbesar di dunia ini sistem non-tunai cepat merambat dan cepat diadopsi oleh banyak orang. Sekarang untuk membeli koran atau majalah, makan siang atau malam, belanja di toko mereka menggunakan aplikasi Alipay dan WeChat Pay.
Keuntungan
Barangkali awam yang mendengar sistem ini ingin bertanya-tanya apakah keuntungannya melakukan transaksi dengan non-tunai ini?
1. Praktis.
Dari segi keamanan, bayar non-tunai lebih aman dan praktis saat melakukan transaksi ketimbang memakai uang tunai. Dari segi kepraktisan, karena non-tunai hanya menggunakan kartu (chip based) atau lainnya (server based). Bila tunai, cenderung mesti membawa setumpuk uang yang memakan banyak tempat.
2. Meningkatkan sirkulasi uang.Â
Perputaran uang dalam perekonomian yang cepat bakal menstimulasi gairah serta pertumbuhan ekonomi sebagai efek dari money multiplier yang dihasilkan.
3. Perencanaan ekonomi lebih akurat.
Seperti diketahui, negara kita masih rawan dengan bermacam praktik underground economy yang biasanya dilakukan secara tunai. Penggunaan non-tunai bakal memudahkan kita dalam mencatat aktivitas ekonomi, karena transaksi ini bakal tercatat secara lengkap dan mudah dilacak. Penggunaan non-tunai diharapkan dapat meminimalisir kejahatan kriminal dan menekan potensi kehilangan angka yang terekam dalam Produk Domestik Bruto (PDB).
4. Mengurangi biaya percetakan uang.
Bayangkan sebesar Rp 3,5 triliun dikeluarkan Bank Indonesia untuk mencetak uang baru sebagai ganti uang yang sudah rusak. Dengan digunakannya non-tunai maka bakal menekan biaya yang dikeluarkan untuk pencetakan uang tunai.
 E-commerce yang berbarengan juga dengan semakin luasnya penggunaan non-tunai, maka kini kita juga sering mendengar istilah fintech atau financial technology, yang mana fintech ini guna untuk memudahkan masyarakat dalam membayar suatu produk atau jasa yang kita beli. Inilah juga yang disebut e-money atau uang elektronik. E-money adalah uang yang dikemas ke dalam bentuk digital, dompet elektronik yang dapat dipergunakan untuk membayar tagihan, berbelanja, dan lain-lain lewat sebuah aplikasi.
Contihnya aplikasi Doku wallet yang bisa diunggah di smartphone Anda, aplikasi ini penghubung kartu kredit dan uang elektronik yang dapat kita gunakan untuk berbelanja secara online ataupun offline dimana serta kapan saja lewat aplikasi tersebut.
Kartu-kartu seperti BNI Tapcash, Kartu Flazz BCA, Mandiri e-money, tentu sudah familiar dengan kita. Inilah contoh uang elektronik yang berbentuk kartu yang beredar di negara kita.
Selain berbentuk kartu, di Indonesia juga beredar uang elektronik berbentuk aplikasi, QR code, dan NFC (Near Field Communication).
Apa Tantangannya?
Jalan menuju cashless society tidaklah bisa disebut gampang. Kendati berkembangnya e-commerce semakin memanjakan masyarakat untuk melakukan transaksi online. Pertanyaannya, apakah Indonesia sudah siap sepenuhnya?
"Melek teknologi" kita ternyata masih kalah dengan negara-negara seperti Malaysia dan Singapura. Mengapa demikian?
Salah satu penyebabnya adalah dari internet yang belum menyeluruh ke seluruh pelosok negeri, juga karena tingkat literasi keuangan yang masih rendah.Â
Survei OJK di tahun 2016, mengatakan bahwa tingkat literasi keuangan kita barulah sebesar 29,66 persen dari total jumlah penduduk. Itu berarti baru 75 juta dari 240 juta penduduk Indonesia yang memahami bagaimana mengelola uang dengan baik. Masyarakat masih terasa lebih nyaman menggunakan uang cash.
Dari survei lain, juga ditemukan bahwa uang elektronik masih kurang populer di masyarakat, kendati sudah melek teknologi dan kini sudah banyak gadget dan internet, tapi proses penggunaannya belumlah bersahabat.
Penggunaan dompet elektronik pun masihlah untuk pemenuhan kebutuhan cepat saji, seperti transportasi online, restoran, minimarket, dan sebagainya. Presentasi saldo dompet elektronik pun didominasi antara Rp 50.000 sampai Rp 150.000 per bulannya.
Selain itu, keberadaan mesin EDC (Electronic Data Capture) relatif masih sedikit di Indonesia. Masih banyak masyarakat yang mengeluarkan uangnya di warung-warung, toko kelontong, dan pasar tradisional yang belum ada fasilitas non-tunainya.
Biarpun alat non-tunai ada, tapi manusia tidak mengerti bagaimana cara top up kartu dan cara mengoperasikannya.
Lagi pula, penggunaan kartu kredit masih  rendah, kebanyakan mereka bertransaksi perbankan lewat transfer di ATM, mereka juga masih meragukan keamanan serta proses pengisian saldo yang dinilai rumit.
Kendati negeri kita masih tertinggal jauh dengan negara seperti Cina atau Singapura. Namun itu bukan berarti kita harus pesimis. Indonesia mempunyai pekerjaan rumah untuk mewujudkan  cashless society. Sebuah proses yang tidaklah gampang dan perlu waktu yang panjang untuk merubah sistem tersebut. Untuk itu dibutuhkan dukungan dari semua pihak, mulai dari pembuat kebijakan hingga masyarakat itu sendiri.
"Angin segar" datang dari keputusan pemerintah yang tahun lalu mengharuskan pembayaran tol dengan menggunakan kartu elektronik. Inilah titik awal yang membiasakan masyarakat meninggalkan transaksi uang tunai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H