Mohon tunggu...
Rudy W
Rudy W Mohon Tunggu... Karyawan -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

rindu tak berujung rasa

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Mengapa Startup Bisa Tumbuh Subur di Indonesia?

13 Agustus 2018   04:45 Diperbarui: 13 Agustus 2018   05:01 769
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sayangnya, kata Nanda, banyak startup yang tidak mau move on dan terus melabeli diri sebagai startup. Padahal, kalau profit-nya sudah bagus, apalagi dapat investasi yang besar, maka harusnya sudah "naik kelas" menjadi bisnis. Mengubah mindset dari terus menganggap usaha sebagai startup menjadi sebuah bisnis yang mapan pun menjadi tantangan.

Mengapa ada usaha yang sulit beranjak dari klasifikasi startup? Jawabnya: faktor SDM.

Bayangkan hal ini seperti membangun rumah, di mana ada arsitek, kontraktor, dan tukang. Ketika rumah sudah berdiri, tugas ketiganya selesai. Nah, untuk bisa nyaman dihuni, kita harus membawa desainer interior.

"Begitu juga dengan bisnis. Ada dua klasifikasi orang dalam membuat bisnis, yaitu builder dan grower. Builder adalah yang membangun, dan setelah mendapat investasi besar, pendapatan yang bagus, beranjak ke fase bisnis memang agak sulit," papar Nanda.

Sering kali, terjadi kondisi stagnasi, alias usaha jalan di tempat, karena mindset seorang builder dan grower berbeda. Builder punya mental membangun, merasa cukup dengan kondisi yang ada, dan takut mengambil risiko saat meningkat ke level bisnis, yang menjanjikan sukses besar.

"Di sini, biasanya tindakan yang diambil adalah menjual atau tidak meneruskan, bahkan lama-kelamaan bisa masuk ke dalam kondisi sunset," Nanda memperingatkan.

Sunset-nya sebuah startup, apalagi di dunia digital, bisa terjadi lebih cepat, apalagi kalau tidak dikombinasikan oleh kemampuan si builder dan grower.

Selain SDM, faktor yang memicu kemunduran startup antara lain tidak memiliki pengalaman bisnis dan jiwa leadership, serta tidak adanya culture perusahaan dalam merintis usaha.

Menurut Nanda, banyak startup yang menggaji karyawan dengan nilai fantastis, tetapi tidak memiliki budaya bisnis yang membuat karyawan merasa nyaman dalam bekerja.

"Anak-anak muda ini masuk ke perusahaan hanya karena melihat uangnya, tidak peduli dengan culture. Sementara, banyak startup yang tidak punya culture, karena ritme kerjanya menggila," tandas Nanda.

Ibarat berkendara, terus ngebut tanpa pernah berhenti atau mengurangi kecepatan, untuk sekadar melihat pemandangan bagus di sekitar, atau memikirkan hal-hal yang lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun