"Namun, seiring waktu berjalan, sering kali pasangan melupakan target tersebut. Karena itu, mengutarakan impian, tujuan, dan harapan bersama perlu dilakukan berkala guna memperkuat komitmen dalam jangka waktu lama," jelas Adinda.
Ia menegaskan, salah satu langkah penting menjaga komitmen adalah dengan membuat pasangan merasa nyaman dengan apa pun yang kita lakukan. Artinya? Kita mengetahui dengan tepat apa yang diinginkan pasangan dari sikap kita dalam merespons situasi.
"Contoh, ketika istri mengetahui suami tidak suka membuka persoalan rumah tangga menjadi konsumsi publik, maka sang istri harus bisa menahan diri untuk tidak menceritakan hal tersebut," papar Adinda.
Tidak bisa dipungkiri, keberadaan gawai dan media sosial berisiko memicu konflik dengan pasangan.
"Selain memudahkan untuk berkomunikasi jarak jauh, sebagian orang memanfaatkan gawai dan media sosial sebagai sarana untuk mengekspresikan diri melalui unggahan foto atau video dengan penampilan terbaik," ujar Isni.
"Nah, dengan paparan gambar atau video ini, disertai chatting yang dilakukan secara instan bisa saja membuat seseorang menjadi tertarik dengan orang lain dan mengabaikan pasangan," Isni menganalisis.
Hal ini tentu dapat menimbulkan potensi konflik, seperti kecemburuan saat melihat pasangan chatting dengan wanita/pria lain (apalagi bila menggunakan sapaan mesra), memajang foto bersama teman wanita/pria, atau mengomentari foto teman wanita/pria tersebut.
Kecemburuan yang disertai rasa curiga bisa meningkat menjadi kekesalan, kemarahan, adu argumen, dan berujung pada kebencian terhadap pasangan.
"Bahkan, yang lebih ekstrim, bisa terjadi kekerasan dalam rumah tangga. Bila tidak didukung oleh penyelesaian masalah yang baik, maka komitmen hubungan yang dijalin bisa kandas," Isni mengingatkan.
Indikator komitmen mulai diingkari dapat dilihat dari sikap pasangan. Misalnya, jika pasangan menunjukkan perilaku kurang percaya, skeptis, egois, pesimis, tidak jujur, dan berbagai sikap penolakan terhadap sesuatu hal dengan mengemukakan berbagai alasan.
Sementara itu, Adinda menandaskan bahwa potensi konflik sering kali muncul jika salah satu pihak mencoba mengendalikan pengaruh eksternal terhadap pasangannya, juga adanya ketidaksepakatan mengenai perilaku pasangan dalam merespons situasi eksternal.