Ini yang sering kita lihat. Padahal Indonesia itu kaya akan seni dan budaya. Kesehatan itu sangat penting. Bagaimana bisa belajar kalau mager? Ya ini kenyataan pendidikan di sekolah kita.Â
Menilai pelajaran yang berbasis praktek dengan soal-soal tulis itu juga tidak pas. Bagaimana menilai pelajaran olahraga yang praktek, dengan ujian tulis.
Terdengar tidak masuk akal bukan. Nilailah prakteknya bukan teorinya. Dan pelajaran lainnya yang sebenarnya membutuhkan praktek. Ini yang namanya menyalahgunakan mata pelajaran. Jadinya "malmengajar". Istilah baru yang penulis ciptakan.Â
Semua pekerjaan guru yang non mengajar di atas tadi menjadi tidak imbang dengan penghasilan yang didapat. Sehingga tidak sedikit guru-guru terutama yang honorer ini bekerja sampingan seperti jualan atau ngojek sampai jadi joki tugas kuliah atau skripsi.Â
Padahal ada data dari Kemenkeu RI bahwa alokasi anggaran  untuk pendidikan sebesar Rp 542,8 Triliun atau 20% dari belanja negara dari Rp 2.714,2 Triliun. Belum lagi dana-dana itu dikorupsi ketika sampai di sekolah-sekolah.Â
Dan banyak lagi masalah-masalah yang justru terjadi di indtitusi pendidikan. Paradok bernama pendidikan rasanya sudah tepat dialamatkan.Â
Pendidikan membuat orang lebih baik sekaligus buruk jika disalahgunakan. Buktinya para koruptor itu pendidikannya tinggi-tinggi. Sementara guru-guru inspiratif digaji sangat kecil. Lebih rendah dari uang jajan muridnya.Â
Sepertinya ungkapan guru pahlawan tanpa tanda jasa harus diganti. Karena tidak relevan dengan zaman sekarang. Yang tepat adalah guru pahlawan tanpa tunjangan --walau memang ada tunjangan untuk guru.
Beberapa macam tunjangan untuk guru diantaranya tunjangan profesi guru (TPG) untuk guru yang sudah sertifikasi, ada tunjangan guru non PNS, dan tunjangan-tunjangan lainnya.Â
Seminim-minimnya guru non-PNS itu dapat tunjangan guru non-PNS. Jumlahnya pun tidak seberapa dibandingkan TPG untuk guru yang sudah sertifikasi. Belum lagi melihat rekan guru kita yang berada di pelosok yang honornya sudah kecil turunnya tidak setiap bulan.Â
Ada yang sampai setahun baru turun. Miris tapi hebatnya, luarbiasanya mereka tetap mengajar sepenuh hati, tetap semangat mengajar. Terkadang malu juga sebagai guru yang lebih baik di daerah perkotaan.Â