Mohon tunggu...
Ashri Riswandi Djamil
Ashri Riswandi Djamil Mohon Tunggu... Guru - Belajar, belajar, dan belajar

wkwk land

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen: Ruang Gelap

3 Maret 2022   11:15 Diperbarui: 3 Maret 2022   11:32 1828
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
source: unsplash.com

Seorang pria dengan rambut panjang ikal tidak teratur. Tampak seperti belum mandi berhari-hari sedang menghisap rokoknya di pinggir jalan. Dia mau menyeberang jalan di pusat kota. Berjalan santai seperti sedang memikirkan sesuatu. Tanpa tujuan. Waktu masih pagi. Masih termasuk jam sibuk orang-orang bergegas ke kantor.

Lalu dia berjalan mundur dan menyenderkan tubuhnya di tembok pembatas kantor yang berfungsi sebagai pot besar dimana pohon rindang tumbuh. Dia jongkok, hanya memandang ke depan sambil menghisap rokoknya lebih dalam lagi. 

Di pinggir trotoar yang cukup lebar itu dia hanya mengamati orang-orang lalu lalang. Habis sebatang lalu dia matikan rokok itu dengan injakan kakinya memastikan apinya telah mati. Lalu beranjak pergi. Berjalan tanpa arah yang jelas. Hanya berjalan menelusuri gang-gang di tengah kota. Bagian padat penduduknya. Dan dia memasuki sebuah gedung yang merupakan rumah susun sederhana tanpa adanya lift. Naik ke lantai lima. Akhirnya diapun pulang ke flat sempitnya.

Keadaan seperti kapal pecah. Bekas kemasan makanan berserakan di atas meja ruang tamunya asbak rokok yang penuh. Kaleng minuman kosong. Lalu dia merebahkan tubuhnya di atas sofa. Padahal masih pagi menjelang siang. Memang menunda dan tidak berusaha melakukan sebuah pekerjaan itu sangat nyaman dilakukan. Padahal dia punya kontrak menulis buku dengan sebuah penerbit buku di pusat kota. Dan sudah berjalan dua bulan. 

Belum ada satu katapun muncul di layar pengolah katanya. Hanya kursor berkedip genit menatap wajah kumuh Edi. Edi Mora. Seorang lulusan Ilmu Sosial yang tidak begitu sosial hidupnya. Setelah lulus dan ditinggal cerai. Dalam sebuah perkawinan yang belum ada sebulan. Ia merasa mungkin hidupnya paling menyedihkan. Entah bagaimana dia bisa mendapatkan kontrak menulis buku itu. Mungkin ini adalah kesempatan kedua. Tidak ada yang tahu. Namun sampai detik ini belum ada hasil sama sekali. Pikirannya sedang buntu di saat seperti ini. Yang memalukan adalah selama menganggur ini, dia mendapat subsidi dari pacarnya saat ini. Yang mana dia sendiri pun masih bingung. 

Ada yang mau dengan lelaki pecundang seperti dia. Masih menjadi misteri. Namun akhir-akhir ini dia merasa sangat tidak enak hati untuk mengandalkan pacarnya. Namanya Mia. Seorang perempuan yang karirnya sedang naik. Menjadi editor majalah ternama. Dia bahkan memiliki asisten. Suatu waktu dia menceritakan segala kegembiraannya waktu baru diangkat menjadi editor. Dia luapkan semua kebahagiaannya dengan Edi. 

Bangga namun di dalam hatinya bagian terdalam dia berdarah. Dia harus melakukan sesuatu. Ini penghinaan kaum lelaki. Dan diwakili oleh Edi. Ini tidak seharusnya. Harus melakukan sesuatu pikirnya dengan keras. Sampai-sampai Mia bahkan memberi PIN kartu kreditnya. Namanya cinta apapun dia lakukan untuk kekasihnya. Begitu mungkin. Agaknya ungkapan cinta itu buta cocok disematkan ke Mia. 

Dia tidak peduli status sosial Edi. Selama dia masih memiliki kemauan berusaha dan setia. Cukup bagi Mia. Bagi Edi? Ya dia seharusnya merasa beruntung. Tapi dia juga tidak bisa menerima begitu saja. Bukan perkara gengsi dan tidak ada hubungannya dengan emansipasi, feminism omong kosong itu semua. Tapi ini naluri lelaki sebagai pemimpin dalam keluarga nantinya. Pengaruh  testosterone laki-laki yang memang tinggi.

Edi kembali ke flat nya setelah kopi darat dengan Mia. Tadi dia menolak kartu kredit yang Mia akan berikan jika Edi butuh untuk sekedar makan sehari-hari. Edi menolaknya dengan halus. Harga diri sebagai lelakinya ter aktivasi dengan segera. Setelah masuk flatnya dia melihat sekelilingnya dan mulai membersihkan sampah-sampah di rumahnya yang sempit itu. Hari ini judulnya kerja bakti. Bersih-bersih. Tidak sampai satu jam sudah selesai. Lega rasanya, dan dia melakukan itu dengan sadar tanpa pengaruh obat-obatan atau alkohol. Kebiasaan yang dibenci Mia sebenarnya jika ketahuan. Ya pasangan manapun pasti tidak mau lelakinya rusak karena obat-obatan, narkoba, dan alkohol.

Setelah selesai semua aktivitas kerja baktinya. Dia sendiri bahkan terkejut dengan sendirinya."apa yang telah kulakukan?" wow ini sebuah peningkatan yang menggembirakan. Lalu Edi membuka laptopnya dan mulai menyalakannya. Laptop lama yang sudah rusak baterainya. Sehingga harus selalu dicolok ke stop kontak. Namun daya tahannya kuat walaupun terlihat bongsor. Laptop hitamnya itu penuh cerita dan saksi bisu perjuangan Edi saat mulai kuliah sampai akhirnya dia menyelesaikan studinya selama tujuh tahun. Dan sekarang sudah lima tahun sejak dia lulus kuliah. 

Dengan susah payah. Jatuh dan jatuh... hanya satu cita-citanya yang terus menyala. Menjadi penulis profesional. Selama lima tahun itu dia berusaha untuk menulis dan menulis. Semua tulisannya di posting di blog nya. Sudah berapa ratus tulisan dalam bentuk opini dan fiksi. Terkadang menulis puisi yang isinya campur-campur. Dia bukan tipe penyuka melankolis. Tapi ya apapun dia coba untuk tulis. Walaupun sudah banyak tulisannya yang ditolak mentah-mentah oleh penerbit.

 Bahkan ada seorang temannya yang bekerja di penerbitan buku populer tak sudi menyentuh naskahnya. Padahal dia susah payah untuk memprintnya. Itupun hutang. Tapi tetap saja Edi tidak menyerah dan ditanggapinya dengan senyum. Lalu di bantingnya naskahnya itu di depan kawannya itu. Sehingga dia diusir paksa oleh sekuriti kantor kawannya. "Kawan macam kampret! maki Edi saat itu. 

Tapi Edi bukan orang yang menyimpan dendam. Selesai marah saat itu, maka setelah itu dia akan kembali seperti biasa lagi. Yah tentunya orang yang habis kena amarahnya biasanya kapok dan tidak mau berurusan lagi dengan dia. Begitulah Edi. seperti bom yang bisa meledak kapan saja. So ... jangan coba-coba memicunya. Bahaya tapi sebentar. Efek buruknya ya akan meninggalkan kesan yang kurang baik aja. Dan selalu diingat. 

Setiap orang memiliki prosesnya masing-masing. Ada yang cepat, ada yang lama. Bertahun-tahun sampai-sampai terasa seolah tidak ada ujungnya. Sampai kapan akan berhasil. Ada yang akhirnya menyerah dan beralih melakukan hal lain. Ada yang tetap konsisten. Seperti sebuah ilustrasi yang pernah kita lihat. Ketika dua orang yang menggali tanah. Yang sebelah kanan telah menemukan emas, dan yang sebelah kiri berhenti tepat sebelum  dua atau tiga galian lagi dia sudah mendapatkan emas. Tapi sayangnya dia menyerah menggali. Edi termasuk penggali pertama yang terus menggali hanya ada kata optimis di depannya.

Suatu ketika Edi sedang duduk di taman dekat blok M. Seseorang menyamperin. "Edi?" ini lo kan?" gue Raka". Edi hanya melongo melihat orang di depannya sambil merokok dan mengernyitkan dahi. "Edi bener kan? hei apa kabar men". Tanyannya menjabat tangan Edi yang masih ragu." eh iya gue ingat Raka ya ampun gila ya kapan terakhir ketemu kita?"

Jadi Raka itu teman SMA Edi dulu. Sering bolos tapi pergaulannya luas. Ya pasti ada tipe orang saat masa sekolah kita yang seperti ini. Semua angkatan dikenalnya. Memang nilai tambahnya. : Ganteng. Cowok populer yang banyak meniduri cewek adik kelas nya, playboy. Tapi tidak seperti itu juga sih. Rumornya dia punya minimal satu cewek teman mainnya setiap kelas. Tapi Edi tidak pernah ingin tahu soal ini. 

Tapi lihat saat ini Raka terlihat begitu rapi. Rambut kelimis panjangnya di sisir ke belakang bak mafia Italia. Blazer hitam dan jeans biru nya begitu serasi dan fashionable. Khas aktor hollywood 90-an. 

 "Edi  gimana kalau kita ngobrol di kafe dekat sini,"

" Oke, jawab Edi sambil berdiri dan membuang puntung rokoknya. Mereka menuju sebuah kafe. Tidak jauh dari taman. Mereka memilih duduk di teras kafe karena bebas merokok. Dan perbincanganpun dimulai. "Raka, kayaknya sukses nih sekarang?" Edi membuka percakapan. (bersambung)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun