Mohon tunggu...
Ashri Riswandi Djamil
Ashri Riswandi Djamil Mohon Tunggu... Guru - Belajar, belajar, dan belajar

wkwk land

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen: Ruang Gelap

3 Maret 2022   11:15 Diperbarui: 3 Maret 2022   11:32 1828
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
source: unsplash.com

Dengan susah payah. Jatuh dan jatuh... hanya satu cita-citanya yang terus menyala. Menjadi penulis profesional. Selama lima tahun itu dia berusaha untuk menulis dan menulis. Semua tulisannya di posting di blog nya. Sudah berapa ratus tulisan dalam bentuk opini dan fiksi. Terkadang menulis puisi yang isinya campur-campur. Dia bukan tipe penyuka melankolis. Tapi ya apapun dia coba untuk tulis. Walaupun sudah banyak tulisannya yang ditolak mentah-mentah oleh penerbit.

 Bahkan ada seorang temannya yang bekerja di penerbitan buku populer tak sudi menyentuh naskahnya. Padahal dia susah payah untuk memprintnya. Itupun hutang. Tapi tetap saja Edi tidak menyerah dan ditanggapinya dengan senyum. Lalu di bantingnya naskahnya itu di depan kawannya itu. Sehingga dia diusir paksa oleh sekuriti kantor kawannya. "Kawan macam kampret! maki Edi saat itu. 

Tapi Edi bukan orang yang menyimpan dendam. Selesai marah saat itu, maka setelah itu dia akan kembali seperti biasa lagi. Yah tentunya orang yang habis kena amarahnya biasanya kapok dan tidak mau berurusan lagi dengan dia. Begitulah Edi. seperti bom yang bisa meledak kapan saja. So ... jangan coba-coba memicunya. Bahaya tapi sebentar. Efek buruknya ya akan meninggalkan kesan yang kurang baik aja. Dan selalu diingat. 

Setiap orang memiliki prosesnya masing-masing. Ada yang cepat, ada yang lama. Bertahun-tahun sampai-sampai terasa seolah tidak ada ujungnya. Sampai kapan akan berhasil. Ada yang akhirnya menyerah dan beralih melakukan hal lain. Ada yang tetap konsisten. Seperti sebuah ilustrasi yang pernah kita lihat. Ketika dua orang yang menggali tanah. Yang sebelah kanan telah menemukan emas, dan yang sebelah kiri berhenti tepat sebelum  dua atau tiga galian lagi dia sudah mendapatkan emas. Tapi sayangnya dia menyerah menggali. Edi termasuk penggali pertama yang terus menggali hanya ada kata optimis di depannya.

Suatu ketika Edi sedang duduk di taman dekat blok M. Seseorang menyamperin. "Edi?" ini lo kan?" gue Raka". Edi hanya melongo melihat orang di depannya sambil merokok dan mengernyitkan dahi. "Edi bener kan? hei apa kabar men". Tanyannya menjabat tangan Edi yang masih ragu." eh iya gue ingat Raka ya ampun gila ya kapan terakhir ketemu kita?"

Jadi Raka itu teman SMA Edi dulu. Sering bolos tapi pergaulannya luas. Ya pasti ada tipe orang saat masa sekolah kita yang seperti ini. Semua angkatan dikenalnya. Memang nilai tambahnya. : Ganteng. Cowok populer yang banyak meniduri cewek adik kelas nya, playboy. Tapi tidak seperti itu juga sih. Rumornya dia punya minimal satu cewek teman mainnya setiap kelas. Tapi Edi tidak pernah ingin tahu soal ini. 

Tapi lihat saat ini Raka terlihat begitu rapi. Rambut kelimis panjangnya di sisir ke belakang bak mafia Italia. Blazer hitam dan jeans biru nya begitu serasi dan fashionable. Khas aktor hollywood 90-an. 

 "Edi  gimana kalau kita ngobrol di kafe dekat sini,"

" Oke, jawab Edi sambil berdiri dan membuang puntung rokoknya. Mereka menuju sebuah kafe. Tidak jauh dari taman. Mereka memilih duduk di teras kafe karena bebas merokok. Dan perbincanganpun dimulai. "Raka, kayaknya sukses nih sekarang?" Edi membuka percakapan. (bersambung)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun