Mohon tunggu...
Ashri Riswandi Djamil
Ashri Riswandi Djamil Mohon Tunggu... Guru - Belajar, belajar, dan belajar

wkwk land

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Jayalah Guru Indonesia

6 Desember 2021   17:25 Diperbarui: 6 Desember 2021   17:44 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

10 November setiap Tahunnya diperingati sebagai Hari Guru Nasional. Hampir setiap sekolah mengadakan acara seremonial. Ada yang formatnya resmi dan semi resmi. Pengalaman yang terjadi di sekolah saya selama ini bersifat semi resmi dan insidentil, karena para siswa yang inisiatif memberikan "kejutan". 

Semua guru berkumpul di aula. Duduk di depan panggung, dan siswa duduk lesehan di bawah. Dan dibuka oleh pembawa acara oleh siswa sendiri yang sudah mereka persiapkan entah  berapa lama. Karena saya dan rekan guru bahkan tidak tahu dan tidak terlihat mereka melakukan persiapan. Seperti operasi rahasia. Kreatif memang anak-anak itu.

Mereka melakukan penampilan yang tidak banyak tapi cukup berkesan. Ada penampilan akustik siswa mewakili kelasnya, kemudian pembacaan puisi oleh seorang siswi dan satu siswa. 

Diiringi dengan koor hymne guru oleh seluruh siswa. Sampai-sampai ada beberapa guru yang menitikkan air mata. Memang terbawa puisi yang dibawakan siswa dengan ekspresi maksimal emosional. Bagaimana tidak jatuh air mata. Apalagi bagi Ibu-ibu  guru. Maklum wanita lebih sensitif dan melankolis ketimbang laki-laki.

Saya tidak menangis dan bukan tidak menghargai penampilan mereka tidak. Tidak ada yang salah dengan semua itu. Hanya saja saya cukup merasa bersyukur saja secukupnya. 

Lagu Hymne Guru itu diakhiri dengan lirik "Tanpa tanda jasa"...... aku berpikir sejenak. Apakah guru memang pahlawan tanpa tanda jasa? Beberapa tahun belakangan ini saya selalu terusik dengan pernyataan itu. Entah siapa yang memulainya. Mungkin harus saya cari tahu dulu. 

Mengapa saya merasa terusik? Saya ingat dalam sejarah ketika Jepang di Bom Atom Tahun 1945 yang menandakan akhir dari perang dunia kedua. 

Saat itu dunia tercengang. Begitu dahsyatnya ledakan bom tersebut. Wilayah Hiroshima dan Nagasaki rata! Ratusan ribu orang meninggal dunia dan ribuan lainnya luka. 

Parahnya bukan luka biasa. Luka yang mengandung radiasi yang efek jangka panjangnya tidak main-main. Setelah tragedi Maha dahsyat itu apa yang terjadi? 

Bagaimana Jepang kemudian bisa bangkit lagi? Dan menjadi negara maju? Karena satu hal : Pendidikan. Siapa yang mendidik? Jawabnya : "Guru". Guru lah yang pertama-tama di data oleh pemerintah Jepang saat itu. Berapa guru yang masih hidup? Itu yang pertama kali di kuatirkan. 

Begitu pentingnya pendidikan dan peran guru. Jepang merupakan salah satu contoh negara yang begitu tinggi menghargai guru. Bahkan untuk menjadi guru itu harus berkompetisi. 

Menjadi guru itu bukan hanya bergengsi tapi terjamin hidupnya. Setiap pulang selalu ditepuki oleh anggota keluarganya. Kita bisa lihat dari hasil yang telah kita ketahui selama ini. Produk otomotifnya, elektroniknya dll. Bahkan budayanya. Disiplin menjadi kunci utama dalam segala aspek kehidupan. 

Semua dimulai dari pendidikan. Dari sekolah. Anak-anak Jepang itu memulai pendidikannya sejak Taman Kanak-kanak. Dan hal yang dilatih adalah hal yang mungkin bagi sebagian kita terlihat kecil tapi ternyata berdampak sangat besar terhadapa perkembangan suatu Bangsa. 

Mereka dilatih untuk antri, dilatih untuk menyeberang jalan, bagaimana bersikap santun terhadap sesama, terhadap orang tua. Meminta maaf sesegera mungkin ketika menyadari berbuat salah dan banyak lagi. Itu semua dilatih sedini mungkin. 

Bahkan anak-anak itu tidak ada ujian sampai kelas 3 SD. jiwa kolaboratif dikedepankan bukan kompetisi. Ada saatnya kompetisi tapi bukan menjadi hal utama di usia pendidikan. 

Bagaimana dengan Anak Indonesia? Kita sebagai guru tidak bisa selalu mengandalkan kurikulum dari pemerintah. Guru seharusnya fokus dengan perkembangan siswa. 

Ya betul kurikulum itu sebagai panduan. Tapi ingat tugas guru itu tidak hanya mengajarkan lebih utama lagi adalah mendidik. Guru harus fleksibel dalam mendidik dan mengajar. 

Guru adalah seniman. Seni dalam mengajar bagaimana caranya dengan metode pembelajaran yang ada mampu memanfaatkan media yang ada. Bagaimana menciptakan suasana pembelajaran itu menyenangkan. Anak-anak antusias dan semangat. Memang potret guru ini terlihat begitu ideal. Namun ideal ini bukan berarti sempurna. 

Belajar dan terus belajar. Guru juga harus selalu belajar, yang mana ini masih kurang. Bisa kita lihat dari minimnya minat baca bukan hanya murid. 

Mirisnya gurunya juga sedikit minatnya. Ini begitu memprihatinkan. Walaupun saya bukan pembaca buku yang intens, ini harus diakui suka atau tidak. Saya tidak pernah melihat atau sangat langka mendapati rekan guru yang saat tidak mengajar, asyik membaca buku. Sebaliknya asyik dengan gawainya masing-masing. 

Begitulah kenyataannya. Membaca itu menambah wawasan. Ada anekdot lucu, bahwa perbedaan guru dan murid itu cuma semalam. Ya malam sebelum mengajar biasanya guru baru membaca bab yang akan diajarkannya esok hari. Murid baru baca esoknya pas jam pelajaran guru itu. Begitu yang terjadi termasuk saya sendiri.

Minat baca kurang? Bisa kita cek di perpustakaan sekolah. Tiba-tiba saya ingat zaman sekolah dulu pas SMA. saya termasuk yang gemar mengunjungi perpustakaan. Tanpa alasan tertentu seperti untuk menambah wawasan. Tidak di niatkan untuk menambah wawasan. Semata-mata suka saja mengunjungi dan melihat buku-buku rapi di rak buku yang tinggi. 

Dan saya ambil sebuah bukuyang ternyata menarik. Akhirnya keterusan membaca buku itu, bahkan saya harus pinjam dan mengisi kartu peminjaman. Di rumah saya lanjut membaca. Dan saya ingat melakukannya saat itu begitu enjoy. Selesai satu buku, lanjut ke buku lainnya. Dari non fiksi hingga fiksi.

Dan memang perpustakaan itu ramai dikunjungi siswa. Karena kebetulan sistem sekolah saya ketika itu mengharuskan muridnya untuk meminjam buku pelajaran dari perpustakaan. 

Maka, mau tidak mau harus ke perpustakaan. Bukan karena minat baca yang tinggi ternyata. Ya memang buku teks pelajaran harus pinjam di perpustakaan. Jadi murid tidak dibebani untuk memiliki buku sendiri. Pustakawan jadi begitu sibuk hari-harinya.

Di bidang literasi ini saja kita masih tertinggal. Harus dimulai dari gurunya. Harus. Sudah terlalu lama dunia  pendidikan kita terbawah. Saatnya bangkit. Memang persoalan guru ini begitu kompleks. 

Memang anggaran pendidikan kita naik. Namun tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan guru. Disini yang kita bicarakan adalah guru honorer, guru swasta. Seharusnya guru PNS itu lebih banyak lagi di angkat menjadi PNS seharusnya. Tapi semua kembali pada kebijakan pemerintah. 

Dan luar biasanya kita masih mendengar kisah perjuangan guru yang di luar kotak (out of the box) bahkan without box! Mereka sangat luar biasa menurut saya. Bahkan honornya kecil itupun keluarnya tiap tiga bulan sekali atau bahkan ada yang lebih lama. Tapi mereka tetap mengajar dengan tulus dan semangat.

 Seperti ada sebuah dorongan dahsyat yang membuat mereka tetap menjadi guru. Karena kalau bukan mereka para guru hebat itu siapa lagi? Siapa yang bisa melakukan semua tantangan bahkan untuk menuju sekolah saja mereka harus bertaruh nyawa. Di tengah hutan pelosok desa. Belum lagi jika menemukan akses jalan yang buruk dan berbahaya.

Guru seperti inilah yang harusnya menjadi inspirasi kita semua. Hati ini miris ketika lulusan keguruan memilih untuk tidak menjadi guru. Aneh tapi nyata. 

Memang semua itu pilihan. Sementara Indonesia  masih kekurangan guru secara kuantitas, apalagi kualitas. Harusnya sertifikasi guru diadakan secara merata di setiap daerah. 

Tapi kalau yang mau jadi guru saja tidak ada buat apa juga? Semoga saja di tahun 2022 yang tidak lama lagi kita hadapi ada kabar baik bagi masa depan guru Indonesia. Walaupun kadang sebagian guru masih berpikir mau makan apa besok, kami tetap harus mengajar walau fokus harus terbagi. Ini resiko pekerjaan mencerdaskan Anak Bangsa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun