Minat baca kurang? Bisa kita cek di perpustakaan sekolah. Tiba-tiba saya ingat zaman sekolah dulu pas SMA. saya termasuk yang gemar mengunjungi perpustakaan. Tanpa alasan tertentu seperti untuk menambah wawasan. Tidak di niatkan untuk menambah wawasan. Semata-mata suka saja mengunjungi dan melihat buku-buku rapi di rak buku yang tinggi.Â
Dan saya ambil sebuah bukuyang ternyata menarik. Akhirnya keterusan membaca buku itu, bahkan saya harus pinjam dan mengisi kartu peminjaman. Di rumah saya lanjut membaca. Dan saya ingat melakukannya saat itu begitu enjoy. Selesai satu buku, lanjut ke buku lainnya. Dari non fiksi hingga fiksi.
Dan memang perpustakaan itu ramai dikunjungi siswa. Karena kebetulan sistem sekolah saya ketika itu mengharuskan muridnya untuk meminjam buku pelajaran dari perpustakaan.Â
Maka, mau tidak mau harus ke perpustakaan. Bukan karena minat baca yang tinggi ternyata. Ya memang buku teks pelajaran harus pinjam di perpustakaan. Jadi murid tidak dibebani untuk memiliki buku sendiri. Pustakawan jadi begitu sibuk hari-harinya.
Di bidang literasi ini saja kita masih tertinggal. Harus dimulai dari gurunya. Harus. Sudah terlalu lama dunia  pendidikan kita terbawah. Saatnya bangkit. Memang persoalan guru ini begitu kompleks.Â
Memang anggaran pendidikan kita naik. Namun tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan guru. Disini yang kita bicarakan adalah guru honorer, guru swasta. Seharusnya guru PNS itu lebih banyak lagi di angkat menjadi PNS seharusnya. Tapi semua kembali pada kebijakan pemerintah.Â
Dan luar biasanya kita masih mendengar kisah perjuangan guru yang di luar kotak (out of the box) bahkan without box! Mereka sangat luar biasa menurut saya. Bahkan honornya kecil itupun keluarnya tiap tiga bulan sekali atau bahkan ada yang lebih lama. Tapi mereka tetap mengajar dengan tulus dan semangat.
 Seperti ada sebuah dorongan dahsyat yang membuat mereka tetap menjadi guru. Karena kalau bukan mereka para guru hebat itu siapa lagi? Siapa yang bisa melakukan semua tantangan bahkan untuk menuju sekolah saja mereka harus bertaruh nyawa. Di tengah hutan pelosok desa. Belum lagi jika menemukan akses jalan yang buruk dan berbahaya.
Guru seperti inilah yang harusnya menjadi inspirasi kita semua. Hati ini miris ketika lulusan keguruan memilih untuk tidak menjadi guru. Aneh tapi nyata.Â
Memang semua itu pilihan. Sementara Indonesia  masih kekurangan guru secara kuantitas, apalagi kualitas. Harusnya sertifikasi guru diadakan secara merata di setiap daerah.Â
Tapi kalau yang mau jadi guru saja tidak ada buat apa juga? Semoga saja di tahun 2022 yang tidak lama lagi kita hadapi ada kabar baik bagi masa depan guru Indonesia. Walaupun kadang sebagian guru masih berpikir mau makan apa besok, kami tetap harus mengajar walau fokus harus terbagi. Ini resiko pekerjaan mencerdaskan Anak Bangsa.