Mohon tunggu...
Ashri Riswandi Djamil
Ashri Riswandi Djamil Mohon Tunggu... Guru - Belajar, belajar, dan belajar

wkwk land

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bermimpi Menjadi Petani

16 November 2021   14:05 Diperbarui: 17 November 2021   10:39 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi petani (KOMPAS / AGUS SUSANTO)

Ajakan ini terkesan sederhana, meggampangkan, atau meremehkan? Ya tergantung persepsi masing-masing orang menanggapinya. 

Cuma ya saya tergelitik untuk sedikit memikirkannya. bahkan di banyak waktu kosong saya sering kali memikirkan soal profesi ini. Yang sebenarnya sangat serius. Ya serius. Ini menyangkut keberlangsungan hidup makhluk hidup. Tidak hanya manusia.

Ini urusan perut, urusan hidup. Bayangkan jika tidak ada petani. Bagaimana kita bisa makan? Bahkan makanan instan pun berasal dari tanaman yang di tanam para petani. 

Bahan dasarnya tetap berasal dari alam. Dari ladang-ladang hijau nun jauh di sana. Di setiap kampung kita pasti masyarakatnya bertani untuk memenuhi kebutuhan hidup. 

Dari pemilik ladang, kebun, sawah sampai yang bekerja sebagai buruh tani. Alias bekerja menggarap sawah ladang orang lain demi mendapat upah untuk hidup sehari-hari. Profesi yang sayangnya masih dianggap sepele.

Mungkin sebagian kita pernah dinasehati orang tua kita ketika kecil dulu, "Nak habiskan nasinya ya nanti kalau tidak habis, nangis loh nasinya". Dan saya baru sadar bertahun-tahun kemudian. Yang nangis sebenarnya bukan nasinya.  Tapi petani yang sudah bersusah payah menanam padi sampai menjadi nasi yang tersaji di meja makan kita. 

Sebagian kita menganggap sepele hal itu, karena kita tidak pernah mau tahu bagaimana proses nasi itu bisa sampai kita konsumsi. Coba pikirkan sejenak. 

Semua itu ada proses yang sangat panjang. Membutuhkan waktu yang tidak sebentar dan penuh perjuangan serta sains. Bagaimana bibit-bibit itu tumbuh dengan tanah yang gembur, terkena sinar matahari, diberi pupuk yang tepat, sampai menjadi padi yang siap dipanen. Dalam hal ini adalah proses menjadi nasi yang menjadi makanan pokok orang Indonesia.

Saya menjadi tertarik menjadi petani karena satu tanaman ini: kopi! Ya saya penikmat kopi. Sehingga membawa saya untuk mencari tahu seluk beluk kopi ini. Mulai jenis kopi varietasnya yang begitu menakjubkan banyak dan macamnya. 

Proses pasca panen yang ternyata menentukan kualitas kopi yang beragam, sampai cara menggorengnya atau biasa disebut roasting. Sampai di meja seduh di kedai-kedai kopi yang kita jumpai semakin banyak belakangan ini. 

Tanaman ini yang sempat membuat saya untuk menjadi petani kopi walaupun tidak mudah. Awalnya saya tertarik dan bercita-cita setidaknya memiliki usaha kedai kopi. 

Dengan kopi yang berasal dari daerah orang tua saya sendiri. Kopi Sumatera utara, kopi dari Lintong, Sidikalang, Tarutung sampai Sipirok. 

Nama-nama tadi adalah nama top di kalangan dunia hitam perkopian nusantara. Masih adalagi sebelah terbarat Sumatera Utara. Yaitu Kopi Gayo di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. 

Dataran tinggi Sumatera, penghasil kopi Arabika terbaik. Salah satu yang terbaik di dunia.

Untuk menjadi petani memang tidak mudah, apalagi bagi milenials seperti saya, harus belajar dari nol. Dan itu tidak menjadi persoalan, harus punya tekad dan kemauan yang kuat. 

Jangan berpikir, sekali tanam langsung jadi. Tidak begitu cara kerjanya. Pertama saya harus ikut me ladang dengan orang yang sudah berpengalaman. 

Kebetulan orangtua saya punya tanah yang selama ini digarap oleh saudara-saudara Ibu. Mungkin paling tepat dimulai dari sana. 

Belum lagi pandangan orang-orang sekitar yang mungkin akan melihat saya nantinya jika saya memang terjun menjadi petani. 

Ketika mayoritas pemuda di kampung itu memilih merantau keluar kota atau pulau. Nah ini ada anak kota yang kembali ke desa, ke hutan untuk menjadi petani. Pasti akan banyak omongan orang yang sebetulnya tidak perlu kita hiraukan.

Semoga saja saya bisa menemukan anak muda milenial lain yang bisa mendukung saya di sana; memulai bertani. Karena yang ada di kepala saya hanya kopi, maka saya akan menanam kopi. Jenisnya? Tentu saja robusta, karena di kampung ibuku sana dataran rendah. Bukan di Sipirok yang lebih tinggi. 

Robusta secara sederhana dari yang saya pernah baca, perawatannya tidak se kompleks kopi Arabika. Secara alamiah sudah tahan terhadap hama, jadi tidak perlu insektisida kimia. dan konsumennya juga sangat banyak dan harga lebih ekonomis. Walaupun demikian robusta ini kandungan kafeinnya lebih tinggi dari si arabika. 

Jadi tetap menjadi campuran andalan home atau signature blend kedai kopi modern. Seperti kebiasaan saya minum kopi, kopi robusta lebih pas dinikmati di pagi hari karena kafeinnya yang "nendang". Arabika sesekali saja atau di sore dan malam hari.

Semoga saja, semoga saya bisa menemukan milenials lain di kompasiana ini yang memiliki paham yang sama seperti saya. Untuk kembali ke kampuang menjadi petani kopi. Karena kopi masih dibutuhkan masyarakat. Bahkan saya menghilangkan mindset "persaingan". Sebuah pelajaran berharga ketika saya pertama kali mendarat di Aceh, dua tahun lalu. 

Kedai kopi berdampingan dan semuanya ramai diisi para ahlul qohwah. Tidak kuatir nggak laku kedainya. Rezeki sudah ada masing-masing. Optimis dan dinamis. Tidak ada persaingan yang tidak sehat. Semua bisa ngopi semua senang.

Untuk awal yang baik, maka saya hanya akan membayangkan yang enak-enak dan nikmat. Kopi yang nikmat, saat bertani mungkin saya akan ngopi agar tetap semangat dan menghayati pekerjaan. Menjadi Petani Milenial? Bisa kok.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun