Nah setelah diagnosis itu, maka secara mengherankan saya berhenti seketika. Stop merokok saat itu juga. Begitu obat sudah di tangan. Pengobatan yang lama dan tidak boleh absen satu haripun. Enam bulan pengobatan. Mulai bangun tidur harus sudah meminum obat. Dokter menyarankan saya untuk makan teratur dan cukup gizi, istirahat, jangan melakukan pekerjaan fisik berat. Olahraga ringan saja dan berjemur di pagi hari.
Singkat cerita enam bulan pun selesai dan kondisi sudah membaik setelah cek terakhir. Negatif TB Paru akhirnya. Tubuh lebih bugar dari sebelumnya. Dan saya rutin olahraga. Joging dan angkat beban tubuh. Tidak ke gym. Intinya saya lebih sehat dan sedikit lebih berisi dari sebelumnya. Karena memang kurus dan tipe badan ectomorph yang sulit naik berat badan. Tapi sehat.
Enam bulan saya lalui tanpa rokok. Karena semua dari pikiran. Saya ingin sembuh dan setidaknya memberi kesempatan kepada paru-paru saya untuk recovery. Berjalan satu sampai dua tahun saya bersih dari nikotin. Entah mengapa suatu ketika ingin rasanya merokok. Dan saya akhirnya merokok bersama teman saat sedang liburan ke Dieng. Daerah dataran tinggi, bahkan tertinggi di Jawa.Â
Udaranya dingin ditambah teman-teman perokok aktif semua. Tiba-tiba teringat kata-kata " perokok pasif lebih berbahaya daripada perokok aktif" maka saya minta sebatang dari teman saya itu dan mulai menikmati desiran nikotin di kepala. Ada sensasi khas mungkin istilahnya nge fly. Pokoknya nikmatlah rasanya.
Walaupun kata-kata "perokok pasif itu lebih berbahaya" terdengar konyol bagi saya. Tetap saja bagi saya merokok itu masih lebih berbahaya dari pada perokok pasif atau orang yang berada disekitar perokok.Â
Dari apa yang saya alami, ternyata berhenti atau tidak merokok selama beberapa tahun. Dalam kasus saya dua tahun tidak merokok itu belum menjadi indikator sukses. Perlu ujian atau seperti saya yang ternyata menyerah juga untuk mempertahankan fase berhenti merokok selama dua tahun. Pecah juga. Namun tidak membabi-buta langsung menghabiskan ber pak-pak. Tidak juga.
Masa RelapsÂ
Dalam menjalani masa-masa relaps atau kambuh merokok lagi. Begitu saya membahasakannya. Saya akhirnya menemukan cara untuk on/off. Saya dapat mengendalikan rasa ingin, bukan kecanduan. Karena kecanduan itu berada level yang cenderung tidak terkontrol. Saya mampu menekan keinginan untuk merokok itu berkurang. Dengan keinginan untuk olahraga.Â
Karena setelah saya sembuh dari TB saya aktif jogging. Setidaknya 2 sampai 3 kali seminggu. Jadi olahraga itu menjadi rem agar saya mampu mengendalikan keinginan untuk merokok. Walaupun merokok atau tidak, saya belum merasakan perbedaannya saat jogging.
Sejak saat itu saya bisa berhenti kembali dari rokok. Dengan tahapan. Pertama saya off merokok selama satu pekan. Kemudian pekan berikutnya merokok dengan hanya 2 bungkus dalam seminggu. Perokok mana yang bisa merokok sesedikit itu? Artinya saya tidak se candu itu.Â
Kemudian dua pekan off. Satu pekan on, begitu seterusnya hingga sebulan off dan saya melanjutkan untuk berhenti. Pernah suatu hari saya iseng meminta sebatang dari teman. Dan rasanya hambar, tidak nikmat seperti sebelumnya. Ok ini memang waktunya saya sudah berhenti. Dan saya berhenti. Sudah 10 tahun tidak terasa. Dan saya tidak apa-apa.