Mohon tunggu...
Ashri Riswandi Djamil
Ashri Riswandi Djamil Mohon Tunggu... Guru - Belajar, belajar, dan belajar

wkwk land

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

The Editor

4 Agustus 2020   10:54 Diperbarui: 4 Agustus 2020   10:55 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Entah sudah berapa cangkir kopi kuhabiskan. Padahal sebelum ini aku hanya sekali membuat kopi di cangkir keramik tiga ratus mili liter. Bisa bertahan sampai lima jam. Setelah menggunakan mesin kopi, karena kapasitasnya satu liter. Maka aku jadi lebih boros. Hanya untuk kebutuhan kafein saja. Namun pekerjaan ini belum selesai juga. 

Masih banyak halaman yang harus ku edit. Pekerjaan menjadi editor cukup membunuh waktuku. Tapi ini sudah menjadi pekerjaan. Ya harus dijalani. Berlembar-lembar, berhalaman-halaman aku sunting. 

Demi kesempurnaan sebuah buku sebelum naik cetak. Ada deadline yang aku sendiri yang menentukan. Karena aku editor. Justru si penulislah yang sering kuberi waktu tenggat. Dan mereka yang mengejar waktu agar tepat waktu masuk di mejaku sebelum ku edit.

Setiap hari aku mengkoreksi tulisan orang lain. Mulai dari penulis pemula sampai penulis professional. Tidak pandang status. Semua harus masuk meja editor. Yaitu aku. 

Sudah ratusan buku mungkin sudah ku edit. Ada yang sedikit sentuhan. Ada yang hampir setiap halaman minimal ada satu sampai tiga kata atau kalimat yang ku koreksi. 

Editorlah yang mengetahui isi buku sebelum berada di tangan pembaca. Aku lebih dulu mengetahui isi buku itu sebelum semua orang. Kedua setelah penulis tentunya. Meng edit berarti aku membaca semua isi buku. Ini bukan pekerjaan ringan. Harus focus. Jika ada yang perlu didiskusikan ke penulis langsung. 

Biasanya bukunya terlalu panjang. Untuk ukuran novel misalnya. Perlu diskusi dengan penulisnya agar buku tersebut tidak hilang pesan yang disampaikan penulis. Editor tidak boleh merubah isi buku. Hanya memperbaiki sedikit yang perlu diperbaiki. Seperti penggunaan tanda baca, diksi yang tepat dan banyak lagi. 

Editor membuat buku menjadi karya yang indah secara visual maupun isinya. Membuat pembacanya senang memiliki bukunya. Tidak lebih dari itu tugas editor. Lucunya editor itu bukan penulis. Ada juga yang penulis tapi sangat langka. Editor disini yang bekerja di penerbitan buku ya.

Memang penerbit buku ku ini bukan yang mayor. Tapi cukup menghasilkan buku-buku bagus. Baik itu fiksi maupun non fiksi. Aku khusus di bagian fiksi. Pada dasarnya aku ini pengkhayal. Mungkin karena kecenderungan ini aku lebih cocok menjadi editor karya tulis fiksi. 

Tiba-tiba Herman masuk ruanganku dan menyerahkan setumpuk kertas yang diikat tali plastic. Draft buku ternyata. Katanya sudah banyak penerbit yang menolaknya. Mungkin aku bisa melihatnya. Bukan karya yang bagus. Tapi unik. Kata Herman. 

Ok aku coba lihat. Paragraph pertama cukup panjang. Bahasanya puitis, nyastra sekali. Memang unik. Waktu sudah menunjukkan pukul lima sore. Waktunya pulang menemui keluarga tercinta. Aku bergegas. Segera ke stasiun kereta. Waktu tempuh kurang lebih hanya satu jam. 

Dalam perjalanan aku membaca draft buku itu. Tidak terasa sudah tiga halaman. Aku baca bahasanya begitu unik seperti mengulang kata yang sama tapi tidak terdengar seperti pengulangan. Sulit untuk dideskripsikan dengan tepat. Harus baca sendiri. Judulnya pun sederhana. Hanya satu kata " Tersesat". 

Menceritakan seorang anak yang ayahnya telah lama mati. Dan dia merasa tersesat. Untuk mengobati kepedihan hatinya. Maka dia melakukan perjalanan sambil mengenang ayahnya. Penuh dengan kesedihan tapi tidak menyedihkan. Ada semangat yang terus menyala dalam dirinya ketika melakukan perjalanan. Hampir saja aku melewatkan stasiun. Sampai rumah sambil sesekali membaca draft dan mengawasi jalanan agar tidak salah langkah apalagi sampai menabrak sesuatu. Pastinya sangat memalukan.

Sampai di rumah, istri dan anak-anak sedang berkumpul. Aku  yang terakhir sampai di rumah hari itu. Ketiga anak-anakku satu jam lebih cepat sampai rumah. Karena memang mereka satu sekolah. Tak terpisahkan. Terpaut dua tahun setiap anak. Dan aku lah satu-satunya pria di rumah ini. 

Mungkin memang bukan nasibku memiliki anak laki-laki. Hidup memang pada tempatnya masing-masing. Bersyukur adalah jalan keluarnya. Daripada terus memikirkan mengapa, apa, bagaimana ini bisa terjadi pada diriku. Tidak ada gunanya. Jalani saja dan selalu merasa beruntung hidup dikelilingi orang-orang yang menyayangi kita apa adanya kita.

Sampai larut malam aku membaca draft buku penulis yang belum pernah kutemui. Seperti apakah orangnya. Bagaimana wataknya? Menyenangkankah? Menyebalkankah? Ceriakah? Pendiam kah? Entahlah. Aku tidak bisa banyak berekspektasi. Tinggal sepuluh halaman lagi. 

Waktu sudah menunjukkan hampir tengah malam. Istriku sudah tertidur satu jam lalu. Aku masih di ruang kerjaku yang kecil namun sangat fungsional. Dengan penerangan lampu meja aku masih asyik membaca. Dan herannya tidak ada rasa kantuk yang menghampiri. 

Untuk ukuran novel draft ini cukup banyak. Bisa dibilang dua kali lipat novel pada umumnya. Paragraph yang cukup panjang untuk hanya menjelaskan satu adegan. 

Misalnya saat bertemu tokoh wanita di stasiun kereta. Inilah yang membuatku tidak sabar untuk segera bertemu sang penulis. Secepatnya setelah aku selesai membaca draft nya.

Besoknya aku meminta sekretarisku untuk memanggil sang penulis ke kantorku. Sekitar satu jam berikutnya orang ini pun muncul. Masih muda awal tiga puluhan. Dan murah senyum. Dengan rambut yang ikal. Sepertinya dia sengaja memanjangkan poninya agar terlihat seperti Jude Law di "Genius". 

Aku mempersilahkan duduk sang penulis. "Jon Fikri" namanya. "baik Jon saya sudah membaca sebagian besar draftnya". 

Dan... kata-kata Jon menggantung. "OK terima kasih atas waktu Bapak yang berharga untuk menghabiskan membaca draft buku saya yang busuk ini". "Saya paham kok, menghindari mendengar langsung penolakan bikin sakit kepala saya". Hehe ngga usah repot-repot pak. Gerakannya cepat mengambil daft bukunya yang tidak tersusun rapi akibat goncangan tangannya. Sesaat sebelum di pergi kea rah pintu. Buru-buru aku stop dengan satu kalimat.

"Selamat kami akan menerbitkan buku kamu". Jon pun mematung untuk sepersekian detik. Matanya terbelalak dan agak berkaca-kaca. Bibirnya tersenyum bergetar. Langsung menyalami tanganku dengan erat. 

"akhirnya ada yang mau menerbitkan buku saya... terima kasih pak. Saya ngga tau mau bilang apalagi."

"Cukup terima kasih". Balasku. Dia pun tertawa agak tertahan. "baik Jon kebiasaan penerbit kami, sebagai tanda jadi sebelum saya mulai menyunting dan naik cetak. Kami akan memberikan uang sebesar lima juta rupiah. Sebagai uang muka. Nanti sistemnya kamu berhak mendapatkan royalty sejumlah kesepakatan kita bersama. Namun sebelumnya.." Senyum Jon perlahan memudar berubah serius.

"ada apa pak?" 

"kamu, kita harus meringkas bagian tertentu pada cerita agar bukunya tidak terlalu tebal. Untuk novel ini cukup tebal. Tujuh ratus halaman? Potong tiga ratus halaman! Tanpa mengurangi esensi cerita ini. Dan mungkin judul bukunya perlu di revisi agar lebih menarik. Karena tugas saya adalah menerbitkan buku yang indah dan ingin dimiliki pembacanya."

"baik pak saya akan usahakan dan saya janji akan kerja keras untuk ini". 

"Minggu depan bisa dimulai ya". 

"Besok saja pak, saya siap".

Aku mengiyakan. Begitu semangat pemuda ini."baik besok jam delapan di kantor saya" jangan terlambat"."siap pak!    Dia pun menghilang dari hadapanku. Setelah aku memberikan cek.

Menulis buku itu memang tidak mudah. Untuk menembus ke penerbitan. Tapi kalau saatnya sudah tiba, tidak ada yang bisa menghentikanmu. Aku hanya seorang editor. Yang belum tentu penulis atau jurnalis. 

Tapi aku tahu bagaimana cara memoles agar buku itu layak cetak. Agar buku itu enak dibaca. Dan yang pertama tahu isi buku penulis. Penuh petualangan juga menjadi editor. Harus mempersiapkan mata dengan baik. Cukup istirahat. Tidak bekerja ketika di rumah. Hanya sesekali saja.

Ketika buku itu terbit, ada kepuasan tersendiri. Terlebih bagi penulisnya. Sebuah karya pertama telah lahir. Apakah akan sukses? Ada tim marketing yang bekerja. Untuk penulis baru yang belum pernah satu kali pun karya nya dipublikasikan di media cetak. Sebuah prestasi besar. Semoga Jon dapat membuat karya-karya berikutnya yang lebih bagus lagi. Dari karya pertamanya yang berjudul : "Tersesat Dan Kembali".

            

Depok, 3 Agustus 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun