Mohon tunggu...
Ashri Riswandi Djamil
Ashri Riswandi Djamil Mohon Tunggu... Guru - Belajar, belajar, dan belajar

wkwk land

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

The Editor

4 Agustus 2020   10:54 Diperbarui: 4 Agustus 2020   10:55 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam perjalanan aku membaca draft buku itu. Tidak terasa sudah tiga halaman. Aku baca bahasanya begitu unik seperti mengulang kata yang sama tapi tidak terdengar seperti pengulangan. Sulit untuk dideskripsikan dengan tepat. Harus baca sendiri. Judulnya pun sederhana. Hanya satu kata " Tersesat". 

Menceritakan seorang anak yang ayahnya telah lama mati. Dan dia merasa tersesat. Untuk mengobati kepedihan hatinya. Maka dia melakukan perjalanan sambil mengenang ayahnya. Penuh dengan kesedihan tapi tidak menyedihkan. Ada semangat yang terus menyala dalam dirinya ketika melakukan perjalanan. Hampir saja aku melewatkan stasiun. Sampai rumah sambil sesekali membaca draft dan mengawasi jalanan agar tidak salah langkah apalagi sampai menabrak sesuatu. Pastinya sangat memalukan.

Sampai di rumah, istri dan anak-anak sedang berkumpul. Aku  yang terakhir sampai di rumah hari itu. Ketiga anak-anakku satu jam lebih cepat sampai rumah. Karena memang mereka satu sekolah. Tak terpisahkan. Terpaut dua tahun setiap anak. Dan aku lah satu-satunya pria di rumah ini. 

Mungkin memang bukan nasibku memiliki anak laki-laki. Hidup memang pada tempatnya masing-masing. Bersyukur adalah jalan keluarnya. Daripada terus memikirkan mengapa, apa, bagaimana ini bisa terjadi pada diriku. Tidak ada gunanya. Jalani saja dan selalu merasa beruntung hidup dikelilingi orang-orang yang menyayangi kita apa adanya kita.

Sampai larut malam aku membaca draft buku penulis yang belum pernah kutemui. Seperti apakah orangnya. Bagaimana wataknya? Menyenangkankah? Menyebalkankah? Ceriakah? Pendiam kah? Entahlah. Aku tidak bisa banyak berekspektasi. Tinggal sepuluh halaman lagi. 

Waktu sudah menunjukkan hampir tengah malam. Istriku sudah tertidur satu jam lalu. Aku masih di ruang kerjaku yang kecil namun sangat fungsional. Dengan penerangan lampu meja aku masih asyik membaca. Dan herannya tidak ada rasa kantuk yang menghampiri. 

Untuk ukuran novel draft ini cukup banyak. Bisa dibilang dua kali lipat novel pada umumnya. Paragraph yang cukup panjang untuk hanya menjelaskan satu adegan. 

Misalnya saat bertemu tokoh wanita di stasiun kereta. Inilah yang membuatku tidak sabar untuk segera bertemu sang penulis. Secepatnya setelah aku selesai membaca draft nya.

Besoknya aku meminta sekretarisku untuk memanggil sang penulis ke kantorku. Sekitar satu jam berikutnya orang ini pun muncul. Masih muda awal tiga puluhan. Dan murah senyum. Dengan rambut yang ikal. Sepertinya dia sengaja memanjangkan poninya agar terlihat seperti Jude Law di "Genius". 

Aku mempersilahkan duduk sang penulis. "Jon Fikri" namanya. "baik Jon saya sudah membaca sebagian besar draftnya". 

Dan... kata-kata Jon menggantung. "OK terima kasih atas waktu Bapak yang berharga untuk menghabiskan membaca draft buku saya yang busuk ini". "Saya paham kok, menghindari mendengar langsung penolakan bikin sakit kepala saya". Hehe ngga usah repot-repot pak. Gerakannya cepat mengambil daft bukunya yang tidak tersusun rapi akibat goncangan tangannya. Sesaat sebelum di pergi kea rah pintu. Buru-buru aku stop dengan satu kalimat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun