Mohon tunggu...
Ashri Ramadhan
Ashri Ramadhan Mohon Tunggu... Administrasi - Akademisi Pemberdayaan Masyarakat

Seorang Akademisi di bidang Pengembangan Masyarakat Islam, Berusaha untuk terus belajar dan berbagi pengetahuan melalui pengalaman di lapangan dan kontribusi dalam masyarakat.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Workshop Pengembangan Riset S2 PMI: UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

26 November 2024   17:15 Diperbarui: 27 November 2024   12:01 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber: Khabiburrohman, Tendik Fakultas Dakwah dan Komunikasi, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

Workshop Pengembangan Riset S2 PMI: Membahas Isu Sosial-Ekonomi Indonesia

Yogyakarta, 26 November 2024

Program Studi S2 Pengembangan masyarakat islam (PMI) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Melakukan sebuah diskusi panel yang melibatkan akademisi, mahasiswa, dan praktisi, berbagai isu sosial dan ekonomi yang relevan di Indonesia dibahas secara mendalam. Acara ini memfokuskan pada isu-isu seperti kemiskinan, kelas menengah, layanan lansia, hingga pengembangan riset strategis, dan memberikan wawasan komprehensif tentang tantangan serta peluang yang ada. Narasumber menjelaskan bahwa Indonesia perlu mempersiapkan diri menghadapi dampak dari peningkatan jumlah lansia. Saat ini, dukungan finansial terhadap lansia masih minim, sehingga dibutuhkan pendekatan baru yang inovatif. Ketertinggalan Sektor Jasa, Dalam konteks domestik, sektor jasa di Indonesia masih tertinggal dibandingkan dengan negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang, Jerman, bahkan Malaysia. Salah satu hambatan utamanya adalah kurikulum pendidikan kejuruan (SMK) yang belum relevan dengan kebutuhan pasar kerja. Pergeseran Fokus: Kemiskinan ke Kelas Menengah, Diskusi juga menggarisbawahi pergeseran fokus pemerintah dari isu kemiskinan ke isu kelas menengah. Meski berbagai program penanggulangan kemiskinan telah dijalankan, kelompok kelas menengah sering kali terjebak dalam ketidakstabilan ekonomi karena minimnya bantuan pemerintah.

Isu Kemiskinan dan Kelas Menengah

Diskusi dimulai dengan pertanyaan dari Adam Hafidz terkait analisis data Twitter menggunakan IP-AI sebagai pendekatan riset. Hal ini menyoroti kebutuhan untuk memahami sentimen publik dalam konteks sosial-ekonomi. Menanggapi hal tersebut, Dr. Tauchid menjelaskan pentingnya mengidentifikasi "gap" dalam isu-isu sosial, seperti kemiskinan yang sering kali dianggap sebagai isu klasik. Namun, ia juga menggarisbawahi bahwa pergeseran fokus ke kelas menengah memerlukan perhatian khusus karena kelompok ini sering kali menghadapi beban ganda sebagai "calon kelas menengah" yang justru paling rentan.

Pergeseran Fokus dari Isu Kemiskinan ke Kelas Menengah

Ashri Ramadhan, Mahasiswa S2 PMI, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, mengajukan pertanyaan kritis, "Jika kemiskinan dianggap sebagai isu yang ketinggalan zaman dan fokus bergeser ke kelas menengah, apakah ini mencerminkan perubahan nyata dalam struktur sosial? Ataukah hanya pergeseran wacana tanpa menyentuh akar ketimpangan dalam narasi ekonomi?"

Pertanyaan tersebut mendapat respons langsung dari Dr. Tauchid, narasumber utama diskusi. Ia mengakui bahwa isu kelas menengah masih minim dibahas secara mendalam dalam riset dibandingkan dengan isu kemiskinan. "Isu kelas menengah sering kali muncul di berbagai laporan media, termasuk KOMPAS, namun belum banyak riset serius yang mendalami masalah ini. Padahal, kelompok ini memiliki peran krusial dalam stabilitas ekonomi dan sosial masyarakat," jelas Dr. Tauchid.

Ashri Ramadhan, melanjutkan dengan sebuah kritikan yang tajam. Ia menyatakan, "Oke, kita terima jika isu kemiskinan dianggap ketinggalan zaman. Namun, bagaimana dengan mereka yang 10 tahun lalu berhasil memutus garis kemiskinan dan sekarang berada di kelas menengah? Bukankah sering kali mereka justru menghadapi penderitaan baru karena terjebak dalam ketidakstabilan kelas menengah? Apakah seperti ini siklus sosial-ekonomi yang diharapkan?"

Dr. Tauchid memberikan tanggapan mendalam atas kritik tersebut. Ia menekankan bahwa kelas menengah berada dalam posisi unik, tidak cukup miskin untuk mendapat bantuan sosial, tetapi juga belum cukup kuat secara ekonomi untuk mencapai kestabilan finansial yang mapan. "Inilah tantangan yang belum sepenuhnya terjawab. Sebagian besar kebijakan sosial kita masih terfokus pada pengentasan kemiskinan, sementara kelas menengah kerap dibiarkan berjuang sendiri," papar Dr. Tauchid.

"Jika kita hanya fokus pada kemiskinan dan melupakan kelas menengah, kita berisiko menciptakan ketimpangan sosial yang baru. Ini saatnya membangun narasi ekonomi yang inklusif dan berkeadilan," tutup Dr. Tauchid.

(Sumber: Khabiburrohman, Tendik Fakultas Dakwah dan Komunikasi, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
(Sumber: Khabiburrohman, Tendik Fakultas Dakwah dan Komunikasi, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

Dampak Kenaikan Harga Kebutuhan Pokok

Dalam diskusi mengenai isu-isu ekonomi terkini, salah satu topik yang mencuat adalah kenaikan harga kebutuhan pokok, seperti gula dan beras. Pertanyaan ini diajukan oleh Pak Suharto, yang menyoroti dampaknya terhadap kesejahteraan petani dan relevansi isu ini di tengah dinamika masyarakat saat ini, Pak Suharto mengajukan pertanyaan, "Harga gula dan beras naik. Menurut pandangan Pak Yuda, apakah isu petani tetap menjadi perhatian utama di masyarakat?" Pertanyaan ini mengacu pada kondisi petani yang sering berada di persimpangan antara keuntungan akibat kenaikan harga hasil pertanian dan tantangan distribusi yang masih belum efisien.

Menanggapi hal tersebut, Dr. Tauchid menjelaskan bahwa persoalan petani tetap relevan, terutama jika dikaitkan dengan isu kelas menengah yang juga rentan terhadap dinamika pasar kebutuhan pokok. "Petani tidak akan sejahtera karena persoalan pasokan ke pasar. Masalah ini masih sangat relevan, terutama bila dilihat dalam konteks isu kelas menengah," ujarnya. Pak Tauchid menambahkan bahwa ketidakseimbangan rantai pasok sering kali menjadi penyebab utama ketidakstabilan harga di tingkat konsumen maupun produsen. Kesejahteraan petani tidak hanya bergantung pada hasil produksi, tetapi juga pada kemampuan sistem distribusi untuk memastikan hasil tani bisa dijual dengan harga yang adil. Isu petani juga memiliki kaitan erat dengan kelas menengah yang semakin tertekan akibat inflasi bahan pokok. Kelompok ini, meskipun bukan bagian dari masyarakat miskin, tetap rentan terhadap fluktuasi harga pangan. Oleh karena itu, menurut Dr. Tauchid, perlu ada kebijakan yang tidak hanya fokus pada peningkatan produksi tetapi juga memperbaiki sistem distribusi dan akses pasar bagi petani.

Indri wahyuni, salah satu peserta, mengangkat persoalan terkait dampak pandemi COVID-19 terhadap kelas menengah dan petani di daerah Makassar. Ia menyoroti bagaimana pandemi menyebabkan penurunan stabilitas kelas menengah, yang tampak "terombang-ambing" karena tidak termasuk dalam kategori penerima bantuan, tetapi juga rentan terhadap tekanan ekonomi. Indri juga mencatat bahwa, di Makassar, terdapat banyak petani dengan lahan yang cukup luas. Namun, mereka menghadapi hambatan besar akibat masalah dalam rantai pasok. “Isu ini tidak hanya berdampak pada kesejahteraan petani, tetapi juga pada kelangsungan hasil panen dan distribusi produk ke pasar,” jelasnya.

Menanggapi pertanyaan tersebut, Dr. Tauchid mengungkapkan bahwa meskipun secara kasat mata pendapatan petani tampak meningkat, kenyataannya nilai riilnya menurun jika dikaitkan dengan inflasi dan tekanan ekonomi. “Secara nominal terlihat naik, tetapi terkait dengan ISO (International Organization for Standardization) dan income, nilai riilnya selalu turun. Ini menjadi fenomena menarik yang perlu kita perhatikan secara mendalam,” jelasnya.

Layanan Lansia dan Care Economy

Dalam sesi berikutnya, salah seorang Tenaga pendidik menyoroti standar layanan lansia, terutama dalam konteks ibadah haji di Indonesia yang didominasi oleh jamaah lanjut usia. Dr. Tauchid menjelaskan bahwa negara-negara maju telah memanfaatkan potensi lansia melalui konsep "silver economy," yang memberdayakan lansia untuk tetap produktif. "Di negara-negara seperti Jepang dan Korea Selatan, lansia dilatih dan diberikan insentif untuk tetap bekerja di sektor-sektor tertentu, menjadikannya sebagai sumber daya potensial," jelasnya.

Arah Riset Strategis

Diskusi menjadi lebih Menarik dengan pertanyaan dari Izzuddin mengenai arah pengembangan riset di program studi Pengembangan Masyarakat Islam (PMI). Dr. Tauchid menekankan pentingnya kerangka strategis yang mencakup isu-isu demografi, kelas menengah, social care, dan asuransi kesehatan. "Seorang akademisi harus mampu menghasilkan riset yang aplikatif dan relevan untuk menjawab tantangan zaman," pungkasnya.

Acara ini memberikan wawasan penting bagi para peserta, khususnya mahasiswa, dalam memahami isu-isu sosial-ekonomi yang kompleks dan dinamis di Indonesia. Dengan kolaborasi antara akademisi, praktisi, dan mahasiswa, diharapkan riset yang lebih strategis dan solutif dapat dihasilkan untuk mendukung pembangunan yang inklusif.

Ekonomi Biru dan Hijau

Andira nurqalbi mahasiswa S2 PMI, mengangkat isu tentang potensi ekonomi biru (blue economy) dalam mendukung pembangunan berkelanjutan di Indonesia. Dr. Tauchid menekankan perlunya pendekatan struktural untuk mengatasi tantangan sektor pesisir dan pertanian. Ia juga menyoroti pentingnya "link and match" antara data besar (big data) dan kebijakan untuk mendukung pengelolaan sumber daya secara efektif.

UMKM dan Wakaf Produktif

Sopian Hadi Mahasiswa Magister PMI, menggarisbawahi tantangan UMKM di Yogyakarta, terutama terkait akses keuangan. Menanggapi hal ini, Dr. Tauchid memberikan contoh penerapan wakaf produktif sebagai alternatif pembiayaan. "Keberhasilan wakaf tergantung pada kepercayaan masyarakat terhadap pengelolanya. Oleh karena itu, riset tentang tata kelola yang baik sangat penting," tambahnya.

Dalam sebuah diskusi akademik, Syamraini mengangkat isu mendalam mengenai kemiskinan di Indonesia, khususnya di Sulawesi Selatan. Ia menyoroti bahwa kemiskinan kerap mengalami fluktuasi yang bergantung pada siapa yang memimpin, namun perlu dilihat dari dua sudut pandang utama: sebab dan akibat.

Kriminalitas dalam kemiskinan

Syamraini Mahasiswa S2 PMI menyampaikan, "Di Sulawesi Selatan, kemiskinan erat kaitannya dengan kriminalitas. Salah satu penyebab utamanya adalah pembangunan yang tidak tepat sasaran. Hal ini bertentangan dengan prinsip Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) yang menekankan inklusivitas dan pelibatan kaum rentan."

Menanggapi hal tersebut, Dr. Tauchid memberikan pandangan kritis tentang pendekatan riset yang masih perlu ditingkatkan. Ia menjelaskan bahwa kemiskinan sering kali disebabkan oleh keterbatasan akses dan kondisi wilayah tertentu yang menjadi penghambat mobilitas ekonomi masyarakat. Salah satu konsep yang diangkat adalah paur mentality, yakni pola pikir di mana individu merasa bergantung pada bantuan sosial (bansos) untuk bertahan hidup.

Dr. Tauchid menjelaskan, "Paur mentality ini menciptakan dinamika sosial yang kompleks. Orang yang tinggal di lingkungan kaya namun memiliki pendapatan menengah sering kali merasa tertekan karena mereka menjadi minoritas di antara masyarakat yang lebih makmur."

Ia juga menambahkan, ada negara-negara yang tidak mengandalkan bantuan sosial secara berlebihan, seperti Hong Kong dan Taiwan. Di negara-negara tersebut, program graduasi yakni transisi individu atau kelompok dari penerima bantuan menjadi mandiri secara ekonomi dijalankan dengan lebih efektif.

Alur Berpikir dalam Penelitian

Diskusi ditutup dengan pertanyaan Adam Hafidz yang mengajukan pertanyaan seputar alur berpikir dalam penelitian. Ia bertanya, "Bagaimana cara menyusun alur pemikiran, khususnya pada bagian introduction maupun hasil dan pembahasan, agar memudahkan dalam mendeskripsikan latar belakang secara efektif?"

Menanggapi pertanyaan tersebut, Dr. Tauchid memberikan panduan praktis berdasarkan pengalamannya dalam menulis dan mempublikasikan artikel ilmiah. Ia menyampaikan pendekatan yang menarik dengan mengibaratkan dirinya sebagai seorang sales. "Saya menganggap diri saya seorang sales, artinya saya harus memastikan bahwa artikel yang saya tulis dapat menarik perhatian pembaca. Hal pertama yang perlu dilakukan adalah menjelaskan mengapa artikel tersebut penting untuk diteliti," jelas Dr. Tauchid.

Ia juga menekankan pentingnya membangun argumen yang kuat dalam artikel ilmiah. "Setiap bagian dalam artikel harus memiliki narasi yang jelas dan saling mendukung. Mulai dari introduction yang menjelaskan latar belakang masalah, hingga pembahasan yang menawarkan jawaban atau solusi berdasarkan data yang telah dianalisis," tambahnya.

Penutup

Acara ini memberikan wawasan penting bagi peserta dalam memahami isu-isu sosial-ekonomi yang kompleks dan dinamis di Indonesia. Kolaborasi antara akademisi, praktisi, dan mahasiswa diharapkan dapat menghasilkan riset yang solutif untuk mendukung pembangunan yang berkelanjutan dan inklusif.

Penulis: Ashri Ramadhan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun