Mohon tunggu...
Ammatul Shofie
Ammatul Shofie Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

hello, thank you for visiting my profile!

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Diskursus Pemidanaan bagi Penolak Vaksinasi

9 Agustus 2021   19:43 Diperbarui: 9 Agustus 2021   19:59 371
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Melalui Perpres No. 14 Tahun 2021 tentang Pengadaan Vaksin Covid-19, Pemerintah dengan tegas menyatakan akan memberikan sanksi bagi individu yang tidak mengikuti vaksinasi Covid-19. 

Sebab, vaksinasi menjadi suatu hal yang wajib dilaksanakan di tengah pandemi Covid-19 demi terciptanya Herd Immunity agar Indonesia kembali pulih seperti sedia kala. 

Selain sanksi administratif, terdapat sanksi pidana bagi setiap orang yang telah ditetapkan sebagai sasaran penerima vaksin namun tidak menjalankan vaksin. Kemudian, apakah menolak vaksin dapat dikatakan sebagai sebuah kejahatan yang melanggar hukum?.

Presiden Jokowi mengatakan bahwa herd immunity dapat tercapai jika proporsi minimal 75 persen penduduk sudah divaksin terpenuhi. Artinya sekitar 208 juta penduduk Indonesia sudah mendapat vaksin penuh (dua dosis vaksin Covid-19) (Bisnis.com, 2021). 

Herd immunity sendiri menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) adalah perlindungan tidak langsung dari penyakit menular yang terjadi ketika suatu populasi kebal baik melalui vaksinasi atau kekebalan yang dikembangkan melalui infeksi sebelumnya. 

Berdasarkan data Kementrian Kesehatan per 21 Julli 2021 dengan target minimal 208 juta orang, tercatat sekitar 42.868.023 orang yang menerima vaksinasi Covid-19 dosis pertama (20,58%) dan 16.713.406 orang untuk dosis kedua (8,03%). Dilihat dari data tersebut, untuk mencapai herd immunity di Indonesia masih memerlukan waktu yang cukup panjang dan kerja sama antara pemerintah dan warga negara Indonesia untuk mengikuti vaksinasi. 

Namun, bagi mereka yang terdaftar sebagai penerima vaksin tetapi menolak atau tidak melaksanakan vaksin, pemerintah telah menyiapkan sanksi. Sanksi tersebut tercantum dalam Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2021 tentang perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 99 Tahun 2020 Tentang Pengadaan Vaksin dan Pelaksanaan Vaksinasi Dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Corona Virus Disease 2019 pada Februari 2021.

 Lebih rinci dalam Perpres No 14 Tahun 2021 Pasal 13A disebutkan bahwa setiap orang yang telah ditetapkan sebagai sasaran penerima vaksin Covid-19 dapat dikenakan sanksi administratif berupa:

  • Penundaan atau penghentian pemberian jaminan sosial atau bantuan sosial;
  • Penundaan atau penghentian layanan administrasi pemerintah; dan/atau
  • Denda.

Sanski itu akan dilakukan oleh Kementrian, Lembaga, pemerintah daerah, atau badan sesuai dengan kewenangannya. Selain sanksi adminstratif, pemerintah mengatur masyarakat penerima vaksin Covid-19 yang tidak mengikuti program ini bisa dikenai sanski sesuai UU yang berlaku.

Asal muasal penarikan kesimpulan dari pemberian sanksi pidana bagi individu yang menolak vaksin adalah UU No.6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan Pasal 9 ayat (1) jo Pasal 93. 

Dalam klausul pasal tersebut dijelaskan bahwasanya yang akan mendapat sanksi pidana adalah orang yang menghalang-halangi penyelenggaraan kekarantinaan kesehataan. 

Klasifikasi dari tindakan kekarantinaan kesehatan berdasarkan Pasal 15 ayat (2) salah satunya adalah vaksinasi. Kemudian, apakah menolak vaksin dapat dikatakan sebagai sebuah kejahatan yang melanggar hukum dan dapat dipidana?. Dalam UUD 1945 Pasal 28 dan UU No. 36 Tahun 2009 Pasal 5 memang telah dijamin bahwa setiap orang berhak secara mandiri bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan Kesehatan yang diperlukan bagi dirinya. 

Namun dalam KUHP terdapat teori daya paksa yang dibedakan dalam 3 macam, yaitu daya paksa absolut, daya paksa relatif, dan daya paksa dalam keadaan darurat. Secara teori daya paksa dalam keadaan darurat, hukum tidaklah berlaku jika dalam keadaan darurat, dan subjek hukum dalam teori hukum pidana materiil ini yang awalnya individu, kemudian setelah adanya fenomena (pandemi) ini diganti menjadi lembaga hukum (dalam hal ini adalah negara). Perbuatan yang dilakukan badan hukum (Negara) dalam pemberian sanksi pidana dalam teori ini dianggap wajar. 

Menurut Prof. Eddy Hiarej, teori daya paksa relevan dengan keadaan saat ini dikarenakan kondisi bangsa kita sedang tidak baik-baik saja. Angka terkonfirmasi positif Covid-19 kian hari kian melonjak, maka dari itu penularan harus dikendalikan dengan memperketat prokes dan pendistribusian vaksinasi. Pada akhirnya teori daya paksa dalam keadaan darurat membenarkan pemberian sanksi pidana bagi penolak vaksinasi Covid-19, karena vaksinasi bertujuan melindungi kepentingan individu, kepentingan sosial masyarakat, serta kepentingan bangsa dan negara dari bahaya Covid-19.

Dengan segala regulasi yang ada mengenai vaksinasi Covid-19, tepatkah tindakan pemerintah dalam pemberian sanksi pidana bagi penolak vaksin?. 

Masyarakat awam yang menerima informasi mengenai adanya sanksi bagi penolak vaksin, pasti yang langsung terbayang adalah hukuman kurungan atau penjara. Walaupun teori daya paksa membuat dapat dimasukkannya unsur-unsur pidana didalam regulasi vaksinasi covid-19, namun sanksi yang diberikan kepada penolak vaksin itu bukan sanksi pidana, melainkan sanksi administratif. 

Sanksi pidana dan administratif memiliki karakteristik yang sangat berbeda. Sanksi administratif dapat berupa pencabutan izin, pembubaran, pengawasan, pemberhentian sementara, dan denda administratif. Berbeda dengan sanksi pidana yang memberikan efek jera dan penderitaan kepada si terpidana. 

Terlebih dalam pasal 10 KUHP jelas bahwa tidak semua pidana adalah penjara. Sanksi pidana sendiri merupakan jalan terakhir (ultimum remedium) apabila sanksi administratif sudah tidak bisa mengkondusifkan keadaan. Informasi ini dirasa penting untuk diketahui masyarakat luas agar tidak lagi terjadi kesalahpahaman mengenai sanksi yang ada.

Tidak ada salahnya memberikan sanksi bagi penolak vaksinasi, namun pemerintah juga harus gencarkan sosialisasi mengenai vaksinasi kepada masyarakat. Karena pada dasarnya yang menjadi masalah hingga timbul regulasi dan pemberian sanksi adalah ketidakmauan masyarakat untuk menerima vaksin. 

Oleh karena itu, pemerintah harus tau apa penyebab ketidakmauan mereka dalam menerima vaksin. 

Sosialisasi juga penting untuk menepis berita hoax yang telah menyebar dikalangan masyarakat luas mengenai kandungan dan efek samping dari vaksin yang bisa saja menjadi alasan mereka ragu bahkan takut sehingga menolak divaksin. 

Tidak sedikit juga masyarakat yang sadar akan pentingnya vaksinasi masih belum mengetahui bagaimana cara mendapatkan vaksin karena kurangnya informasi dan sosialisai mengenai vaksin yang mereka terima. Dengan lebih menggencarkan komunikasi dan sosialisasi vaksin covid-19 masyarakat tidak lagi ragu untuk divaksin, herd immunity akan terbentuk atas kerja sama kita semua, dan Indonesia kembali sehat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun