Klasifikasi dari tindakan kekarantinaan kesehatan berdasarkan Pasal 15 ayat (2) salah satunya adalah vaksinasi. Kemudian, apakah menolak vaksin dapat dikatakan sebagai sebuah kejahatan yang melanggar hukum dan dapat dipidana?. Dalam UUD 1945 Pasal 28 dan UU No. 36 Tahun 2009 Pasal 5 memang telah dijamin bahwa setiap orang berhak secara mandiri bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan Kesehatan yang diperlukan bagi dirinya.Â
Namun dalam KUHP terdapat teori daya paksa yang dibedakan dalam 3 macam, yaitu daya paksa absolut, daya paksa relatif, dan daya paksa dalam keadaan darurat. Secara teori daya paksa dalam keadaan darurat, hukum tidaklah berlaku jika dalam keadaan darurat, dan subjek hukum dalam teori hukum pidana materiil ini yang awalnya individu, kemudian setelah adanya fenomena (pandemi) ini diganti menjadi lembaga hukum (dalam hal ini adalah negara). Perbuatan yang dilakukan badan hukum (Negara) dalam pemberian sanksi pidana dalam teori ini dianggap wajar.Â
Menurut Prof. Eddy Hiarej, teori daya paksa relevan dengan keadaan saat ini dikarenakan kondisi bangsa kita sedang tidak baik-baik saja. Angka terkonfirmasi positif Covid-19 kian hari kian melonjak, maka dari itu penularan harus dikendalikan dengan memperketat prokes dan pendistribusian vaksinasi. Pada akhirnya teori daya paksa dalam keadaan darurat membenarkan pemberian sanksi pidana bagi penolak vaksinasi Covid-19, karena vaksinasi bertujuan melindungi kepentingan individu, kepentingan sosial masyarakat, serta kepentingan bangsa dan negara dari bahaya Covid-19.
Dengan segala regulasi yang ada mengenai vaksinasi Covid-19, tepatkah tindakan pemerintah dalam pemberian sanksi pidana bagi penolak vaksin?.Â
Masyarakat awam yang menerima informasi mengenai adanya sanksi bagi penolak vaksin, pasti yang langsung terbayang adalah hukuman kurungan atau penjara. Walaupun teori daya paksa membuat dapat dimasukkannya unsur-unsur pidana didalam regulasi vaksinasi covid-19, namun sanksi yang diberikan kepada penolak vaksin itu bukan sanksi pidana, melainkan sanksi administratif.Â
Sanksi pidana dan administratif memiliki karakteristik yang sangat berbeda. Sanksi administratif dapat berupa pencabutan izin, pembubaran, pengawasan, pemberhentian sementara, dan denda administratif. Berbeda dengan sanksi pidana yang memberikan efek jera dan penderitaan kepada si terpidana.Â
Terlebih dalam pasal 10 KUHP jelas bahwa tidak semua pidana adalah penjara. Sanksi pidana sendiri merupakan jalan terakhir (ultimum remedium) apabila sanksi administratif sudah tidak bisa mengkondusifkan keadaan. Informasi ini dirasa penting untuk diketahui masyarakat luas agar tidak lagi terjadi kesalahpahaman mengenai sanksi yang ada.
Tidak ada salahnya memberikan sanksi bagi penolak vaksinasi, namun pemerintah juga harus gencarkan sosialisasi mengenai vaksinasi kepada masyarakat. Karena pada dasarnya yang menjadi masalah hingga timbul regulasi dan pemberian sanksi adalah ketidakmauan masyarakat untuk menerima vaksin.Â
Oleh karena itu, pemerintah harus tau apa penyebab ketidakmauan mereka dalam menerima vaksin.Â
Sosialisasi juga penting untuk menepis berita hoax yang telah menyebar dikalangan masyarakat luas mengenai kandungan dan efek samping dari vaksin yang bisa saja menjadi alasan mereka ragu bahkan takut sehingga menolak divaksin.Â
Tidak sedikit juga masyarakat yang sadar akan pentingnya vaksinasi masih belum mengetahui bagaimana cara mendapatkan vaksin karena kurangnya informasi dan sosialisai mengenai vaksin yang mereka terima. Dengan lebih menggencarkan komunikasi dan sosialisasi vaksin covid-19 masyarakat tidak lagi ragu untuk divaksin, herd immunity akan terbentuk atas kerja sama kita semua, dan Indonesia kembali sehat.