Mohon tunggu...
ASHLIHATUL HIDAYATI
ASHLIHATUL HIDAYATI Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance Writer

Aksara adalah caraku berbicara. Rangkaian kata yang tak mampu terucap, terwakili dalam goresan tinta sederhana.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Cita-Cita Bukan Hal Sederhana

27 Agustus 2024   12:24 Diperbarui: 27 Agustus 2024   17:35 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Free Nature Stock from Pexels

"Mimpilah setinggi langit."

"Bercita-citalah yang tinggi, jangan takut bermimpi."

Dua contoh kalimat yang sering kali didengar sejak kecil. Terlihat sederhana, tetapi tidak begitu adanya. Suatu ketika, aku berdiri di tengah-tengah mereka, anak-anak dengan beragam mimpi yang luar biasa. 

Saat itu, mereka tengah menyaksikan film pendek tentang cita-cita. Bercerita tentang seorang anak yang berusaha keras untuk mewujudkan mimpinya ke luar angkasa. Akan tetapi, perjalannya diuji dengan konflik antara dia dan ayahnya. 

Tidak, bukan karena tidak mendukung, ayahnya hanya tak sanggup melepas putrinya pergi merantau di kota orang. Meskipun pada akhirnya, sang ayah merestui putrinya untuk meraih mimpinya.

Sepertinya sederhana. Dulu, seusia mereka, aku sangat antusias perihal cita-cita. Aku selalu percaya, bahwa apa yang aku impikan, pasti bisa aku wujudkan. Iya, saat itu aku belum mengerti perjalanan yang sesungguhnya. Perjalanan yang tidak sesederhana belajar, tumbuh besar, lalu menjalani hidup menjadi apa yang aku inginkan.

Tanpa sadar, aku menyaksikan mereka dengan mata yang berkaca-kaca. Sekuat hati aku menahan agar tak satu pun tetesan air mata ini keluar. Sekarang aku paham bahwa, cita-cita tidaklah sederhana. 

Bukan hanya aku menjadi seperti apa yang aku mau. Tidak cukup menjalani profesi yang dulu aku anggap luar biasa. Terlalu banyak makna di dalamnya. Tentang perjalanan yang tidak selalu mudah, tentang arti bersyukur yang sesungguhnya, tentang ketabahan, kesabaran, dan masih banyak lainnya.

Mungkin sederhana bagi mereka yang memiliki privilage, tapi tidak untuk mereka yang hidup dengan segala keterbatasannya. Rasanya, aku seperti bermimpi. Berdiri di tengah-tengah kelas bersama anak-anak yang luar biasa. Iya, aku pernah memimpikannya saat duduk di bangku sekolah. Membayangkan aku berdiri di kelas dan disebut guru oleh anak-anak yang menggemaskan. 

Namun, mimpi itu pernah pudar karena satu dan lain hal. Bahkan, aku sempat tidak menginginkannya sama sekali. Tapi Allah punya kehendak yang berbeda. Saat ini, aku diberikan kesempatan untuk mewujudkan mimpi itu, meskipun tidak tahu sampai kapan Allah mengizinkan.

Singkatnya, aku jauh dari kata sempurna untuk posisiku saat ini. Aku lebih senang disebut teman, karena rasanya, aku belum pantas untuk benar-benar disebut guru. Tutur kata dan perilakuku masih perlu dibenahi. Kesabaranku masih harus terus dilatih. Keuletan dan ketelatenan yang harus ditingkatkan. 

Serta banyak hal lain yang masih menjadi kekurangan. Di tengah-tengah renungan itu, aku pun berdoa semoga apapun yang diimpikan mereka dapat terwujud dengan sebaik-baiknya. Semoga kemudahan selalu menyertai langkah mereka. Hingga mereka tumbuh hebat suatu hari nanti.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun