Mohon tunggu...
Elia Kristanto
Elia Kristanto Mohon Tunggu... -

seorang yg yakin adanya kesadaran sejarah baru akan membawa pembaruan

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Untuk Para Pembela dan Pendakwa Sitok dan Perempuannya

7 Desember 2013   12:53 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:13 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Adakah yang berada di tenga tengah? Ada. Aturan tata tertib harus tetap ada. Seperti minum obat ada aturan dosisnya. Atau cobalah sekarang naik motor tanpa menyalakan lampu, ya harus menghadapi polisi, yang kebetulan perlu uang dan mau capek capek menangkap si pemotor yang bandel. Begitu aturannya.

Judul dan substansi tulisan ini memang tidak matching, seperti kasus Sitok.

Tapi, jikalah siperempuan muda itu kuat, bukan hanya mempolisikan Sitok. Tapi membawa penis Sitok yang nakal itu masuk ke pengadilan. Bukan untuk mengumbar aib, tetapi masyarakat pun akan belajar, mau di era apapun, pakai kitab suci atau tidak, bukan hak lelaki mengumbar burungnya sesuka pikirannya.

Dan perempuan berhentilah bertanya apakah dia cantik atau jelek. Gak penting itu. Pneting? Ya terserah, cantik atau jelek menurut takaran sosial, berhentilah mengasihani diri sendiri. Jika mau sex, dapatkan sex dan jangan menggunakan sex sebagai senjata, sebagaimana laki laki sering menggunakannya.

Saya harus berhenti

Apa hak saya memberi nasihat soal ini? Tidak ada.

Itu sebabnya saya harus berhenti

(sekali lagi, secara pribadi, menurut saya Sitok memperkosa perempuan muda. Apapun mazhab yang dianut Sitok, dalam mazhab budayanya Sitok kena batunya, tidak semua perempuan mau mengaborsi kandungannya. Untuk itu dia harus bertanggung jawab. Meminjam kepala si perempuan muda itu jika itu terjadi bahkan seorang lelaki ogah bermantukan Sitok yang mengulur waktu mengira semua perempuan muda begitu gampang mengaborsi janinnya.)

Saya harus berhenti sebelum saya bertindak lebih dari hakim


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun