Kitab kitab suci menggambarkan asal muasalnya dengan gamblang. Menyusuri sungai Nil akan tampak kemegahan tahta sang raja turun temurun. Mereka keluarga kerajaan mendapat hak para dewa mengumpulkan perempuan sebanyaknya dan dapat dipanggil kapan saja. Bahkan, tak kurang para orang tua menyerahkan anak dara mereka sebagai upeti. (catatan: di sepanjang sungai Gangga............ hingga sepanjang kali Ciliwung, sama saja)
Dari Sang raja, penasihat, hulu balang, mandor, hanya mengutip kelakuan Sang Titah, sesuai dengan posisinya. Turun temurun "kekuasaan tahta" dalam berbagai penafsirannya mendudukan perempuan sebagai sub ordinat sekadar untuk menjadi cantik, molek, menarik dan menunggu.
Sindrom Cantik
Buka dan baca semua kitab suci, tempat pegangan, penakar tentang kecantikan. Kecantikan istri, kecantikan anak, ya sudah pasti kecantikan ratu. Takaran cantik itu terpampang jelas dalam berbagai kita suci. "Agama" (harus ditandakutipkan) yang mengajar lelaki tahu mana perempuan cantik dan tidak. Walau ada berbagai turunan dari tulisan tulisan suci yang sebenarnyalah ditulis oleh manusia, dan harus dipastikan yang menulis itu adalah para lelaki, mengkonstruksikan kecantikan bidadari di surga itu begitu cantiknya. Bukan hanya perempuan, bahkan para bidadari surgapun diempanin, diiming iming bagi mereka para lelaki.
TERUS SITOKNYA MANA?
Mungkin kalau M. Joenoes Joesoef sempat membaca ini, dia akan kembali merutuk, "iki sitoknya mana?"
Saya ingin mengajak bapak M. Joenoes Joesoef untuk melihat video ini
http://www.youtube.com/watch?v=zExJyVLtkBI
http://www.youtube.com/watch?v=zExJyVLtkBI
Ada ratusan ribu perempuan kecil, yang menikmati era digital, bertanya pada kaca ajaibnya apakah mereka cantik atau jelek.
Bayangkan, jika saja terdengar dan kemudian terekam dalam benak belia mereka bahwa mereka cantik atau pun jelek, mereka perlu pembuktian.