Fenomena yang sering terjadi adalah keputusan untuk mendatangi pengobatan tradisional lebih dulu setelah kejadian, menunda untuk membawa korban ke fasilitas kesehatan, dan tata laksana awal yang tidak sesuai (memberikan ekstrak dedaunan atau mengikat secara kuat pada lokasi gigitan).Â
Pertolongan awal yang tidak tepat akan memperburuk kondisi pasien, bahkan dapat mempengaruhi luaran pasien setelah pengobatan. Terlebih terbatasnya jumlah anti bisa ular di beberapa daerah juga menjadi hambatan dalam penanganan kasus.
Untuk itu, selain perhatian dari pemerintah dan tenaga kesehatan, peran dari masyarakat sangat dibutuhkan untuk mencapai apa yang ditargetkan oleh badan kesehatan dunia yakni angka kasus kematian dan kecacatan akibat gigitan ular berkurang 50% sebelum tahun 2030.
Referensi
- WHO. Prevalence of snakebite envenoming. WHO website. 2020.
- Le Gey J, Pach S, Gutierres JM, Habib AG, Maduwage KP, Hardcastle TC dkk. Clinical management of snakebite envenoming: Future perspectives Arch Dis Child. 2021;106:14-19.
- WHO. Management of snakebites (WHO 2nd Ed) 2016. Toxicon. 2016;60(4):712–8.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI