Mohon tunggu...
Moh. Ashari Mardjoeki
Moh. Ashari Mardjoeki Mohon Tunggu... Freelancer - Senang baca dan tulis

Memelajari tentang berketuhanan yang nyata. Berfikir pada ruang hakiki dan realitas kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Analisis

"Musibah" Debat Presiden

17 Januari 2019   08:24 Diperbarui: 17 Januari 2019   08:33 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

REVOLUSI SPIRITUAL
Pidato menjual barang bekas
"Acara Debat Presiden" diadakan lagi?
Prabowo yang memulai dengan pidato kebangsaan. Ada kejutan yang disampaikan?  Tidak ada. 

Bisa dibilang isi pidato hanya menjual barang bekas yang pemungut saja sudah ogah memungutnya.
Buat apa sih adu---debat, visi dan misi? 

Toh semua kandidat sudah sangat dikenal baik dan akrab oleh rakyat? Paling tidak sangat dikenal oleh para pengagumnya mau pun pendukung lawannya? 

Toh semua Capres setiap saat bisa tampil di mata rakyat di mana pun berada. Wajah mereka siap tampil semringah di layar ponsel.
Bahkan kalau tiba-tiba ada Capres dadakan yang tiba-tiba muncul pun pasti sudah sangat dikenal oleh rakyat, meskipun si Capres sendiri merasa tidak tahu tentang dirinya sendiri kenapa harus tiba-tiba dipilih harus maju.
Sebagai misal saja. Ketika Anies Baswedan tiba-tiba dicalonkan jadi Cagub DKI Jakarta untuk menggeser Ahok yang dibenci orang-orang Gerindra dan para koruptor teman Sanusi.
Debat Capres sebaiknya diadakan atas permintaan penantang petahana, karena ada kebijakan pemerintah yang dianggap tidak benar untuk rakyat.
Atau dalam Pilpres tidak ada petahana. Alias semua yang akan maju sebagai Capres sama-sama belum berpengalaman jadi Presiden.
Tetapi tidak apalah diadakan acara debat. Barangkali bisa untuk menyemarakkan sebuah ritual kenegaraan yang mutlak harus diadakan lima tahun sekali.

Demokrasi primitif
Menurut penulis. Acara debat Presiden mungkin tradisi di negara-negara yang masih menganut demokrasi primitif alias demokrasi rimba. Dimana pemenangnya adalah yang kuat. Yang banyak "premannya."  Apa lagi kalau banyak duitnya.

Tentu saja dalam perdebatan demikian tidak bisa dihindari terjadi adu lincah lidah untuk menghina dan mempermalukan pihak yang lain. Seperti yang lazim terjadi di Amerika.
"Bohong! Bohong! Bohong lu!" teriak Donald Trump "menuding" Hillary Cinton yang nenek-nenek lincah pesaingnya.

Pada sebuah tayangan acara ILC . KPU tampaknya tidak ingin Capres ada yang dipermalukan dalam debat. Dan Rocky Gerung bertanya dengan nada geram tentang siapa capres yang punya potensi dipermalukan.

Pertanyaan Rocky Gerung dapat disambut tepuk tangan meriah karena tidak ada yang menjawab.
Pada hal dalam acara televisi tersebut tidak ada seorangpun yang tidak punya potensi dipermalukan oleh Rocky Gerung. Jangankan orang lain Rocky pun sanggup mempermalukan dirinya sendiri.

Masalah negara
Sekali lagi perlu dipertanyakan.  Buat apa sih harus berdebat? 

Toh semua masalah yang dihadapi dan ditangani negara sangat diketahui oleh seluruh elemen bangsa. Semua jelas transparan dapat dilihat dan "diraba" dengan komputer yang tidak bisa bohong.

Memang. Walaupun masalah negara yang dihadapi kedua Capres adalah sama. Tetapi cara pandang dan gaya kebijakan pastilah bisa beda. Dan perbedaan itu yang menjadikan ada perdebatan dan ada yang menang.

Sejak lama permasalahan Bangsa Indonesia juga sangat diketahui oleh negara-negara di seluruh dunia. Bahkan sebelum Bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya permasalahan bangsa ini sudah dipermasalahkan dunia karena ikut memberi kesejahteraan kepada bangsa-bangsa lain. Saat ini Bangsa Indonesia dibawah kepemimpinan Presiden Jokowi benar-benar sangat memukau dunia.

Demokrasi adu mulut
Demokrasi Indonesia adalah demokrasi yang dinyatakan oleh sila keempat Pancasila. Bukan demokrasi yang harus berdebat melainkan yang harus bersama-sama menyelenggarakan musyawarah, gotongroyong menyelesaikan semua masalah bangsa dan negara.

Dalam angan-angan penulis dua kandidat sebaiknya tidak perlu mendapat tekanan dengan dipojokkan pertanyaan-pertanyaan.
Visi, misi dan program mereka tidak perlu diadu tetapi harus disampaikan dengan jelas sejelas-jelasnya.

Biarlah rakyat yang menilainya bukan parpol. Biarlah parpol yang mendukung yang mengkapanyekan tanpa menjelek-jelekkan visi dn misi Capres yang lain.
Debat itu bisa ada kalau memang ada Pilpres. Tetapi kalau Presiden dipilih oleh wakil-wakil rakyat. Kiranya perdebatan tidak perlu ada.

Berdebat degan tenang dan hening
Silakan Capres norut satu dan norut dua menyampaikan visi, misi dan program programnya dengan tenang dan sama-sama pecaya diri.
Silahkan Pak Joko Widodo bersama Pak Amien menguraikan secara ringkas tentang rencananya bila terpilih kembali.
Dan dipersilakan pula Pak Prabowo bersama Pak Sandi menyampaikan rencananya bila Bangsa Indonesia memang memberi kesempatan untuk jadi Presiden.
Bangsa Indonesia kiranya harus mulai. Pilih Presiden bukan karena ada kampanye besar-besaran. Dan orang tidak perlu hambur-hambur uang untuk jadi Presiden.

Di NKRI. Suasana negeri menjelang pemilihan Presiden hendaknya dalam keadaan hening. Seluruh rakyat hendaknya berdoa dengan Tuhan masing-masing. Kalau perlu boleh puasa, agar dapat melakukan "kewajiban suci" mencoblos dengan benar siapa yang diinginkan jadi Presiden.
Tetapi memang ada sementara pihak yang menginginkan debat kali ini dalam suasana panas. Mungkin untuk diukur sampai seberapa tinggi suhu politik di pusat dibandingkan dengan suhu politik di daerah yang juga harus sibuk memilih wakil-wakil rakyat.

Presiden,  kemuliaan yang memenjara
Menurut penulis. Terpilih menjadi Presiden RI bukan menerima anugrah dari Tuhan. Melainkan menerima "musibah yang terbungkus kemuliaan" dari rakyat. Yang sangat didambakan mereka yang haus dan lapar kekuasaan.

Barangkali Ronggowarsito menyebutnya secara samar dengan sebutan "satrio piningit" yang mungkin bisa ditafsirkan sebagai kehormatan yang terpenjara. Atau  Terpenjara dalam kemuliaan

Yang layak dianggap sebagai anugerah oleh Rakyat Indonesia adalah ketika para pendiri Negara ini sepakat menerima Pancasila yang dilahirkan lidah Bung Karno dengan dicantumkan pada Pembukaan UUD 1945.

Pengalaman Bangsa Indonesia mencatat dengan tinta emas bahwa menjadi Presiden di negara ini tidak langsung membawa citra keluarga menjadi sangat istimewa dalam kehidupan bernegara maupun maupun keluarga.
Yang ada justru sangat bisa  membawa aib nama keluarga yang tidak pantas dibanggakan sepanjang kehidupan bernegara. Apa boleh buat, begitulah adanya?

Bangsa Indonesia masih belajar bernegara
Dan maaf ya. Bangsa Indonesia harus mengakui masih belajar bernegara secara benar berdasar Pancasila.
Maka dapat dimengerti oleh rakyat jika para profesor, doktor, pakar, ahli dan para ulama di negeri ini tampak seperti masih asyik berdebat yang terkesan masih tergantung siapa yang bayar.
Dan lebih parah lagi banyak orang yang masih berpikir dan berkhayal secara usang merindukan zaman nusantara yang sudah hilang dalam realita.
Mereka tidak menyadari bahwa leluhur Bangsa Indonesia sudah bersumpah mengaku bertanah air, berbangsa dan berbahasa satu, Indonesia.

Bahwa merindukan nusantara yang sudah musnah dan lumat dalam berbagai zaman adalah bentuk pengkhianatan terhadap leluhur Bangsa Indonesia.

Keinginan menjadi Presiden
Belum tahu arti Presiden di NKRI menjadikan banyak orang yang merasa sudah hebat di negara ini ingin menduduki kursi yang dijaga para setan sakti dan para jin sesat tersebut.
Karena mereka hanya berkaca dari sosok Bung Karno, Pak Harto dan Pak Jokowi.
Ketiganya bisa menjadi tokoh hebat karena sangat berhasil mengguncang dunia.
Bung Karno mampu mengejutkan dunia dengan perjuangan dan keberaniannya menentang kolonialisme.
Pak Harto mampu membuat dunia terpakau dengan caranya menjatuhkan Bung Karno, membasmi orang PKI dan membuat para panglima negeri ini 32 tahun tak bernyali menghadapinya.
Sedang Pak Jokowi mengguncang dunia karena dengan "sederhana" mampu mengawali "zaman baru" bebas mafia untuk Indonesia khususnya dan secara luas merintis "dunia baru" tanpa nekolim, tanpa perang ekonomi.


Bangsa Indonesia saat ini memang harus bersyukur bahwa sudah banyak diantaranya yang sangat layak menjadi pemimpn negeri ini.
Bisa diharapkan bahwa di negeri ini sekarang sudah banyak di antaranya yang benar-benar juga siap hancur lebur terhinakan, dipermalukan sebagai seorang Presiden. Seperti Pak Jokowi.
Mereka pantang ngoyo dan ngotot minta dipilih sebagai Presiden, tetapi siap untuk "Diperintah" Rakyat menjadi Presiden.

Demikian. Terimakasih kepada yang telah membaca tulisan ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun