Mohon tunggu...
Moh. Ashari Mardjoeki
Moh. Ashari Mardjoeki Mohon Tunggu... Freelancer - Senang baca dan tulis

Memelajari tentang berketuhanan yang nyata. Berfikir pada ruang hakiki dan realitas kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Analisis

"Musibah" Debat Presiden

17 Januari 2019   08:24 Diperbarui: 17 Januari 2019   08:33 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak lama permasalahan Bangsa Indonesia juga sangat diketahui oleh negara-negara di seluruh dunia. Bahkan sebelum Bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya permasalahan bangsa ini sudah dipermasalahkan dunia karena ikut memberi kesejahteraan kepada bangsa-bangsa lain. Saat ini Bangsa Indonesia dibawah kepemimpinan Presiden Jokowi benar-benar sangat memukau dunia.

Demokrasi adu mulut
Demokrasi Indonesia adalah demokrasi yang dinyatakan oleh sila keempat Pancasila. Bukan demokrasi yang harus berdebat melainkan yang harus bersama-sama menyelenggarakan musyawarah, gotongroyong menyelesaikan semua masalah bangsa dan negara.

Dalam angan-angan penulis dua kandidat sebaiknya tidak perlu mendapat tekanan dengan dipojokkan pertanyaan-pertanyaan.
Visi, misi dan program mereka tidak perlu diadu tetapi harus disampaikan dengan jelas sejelas-jelasnya.

Biarlah rakyat yang menilainya bukan parpol. Biarlah parpol yang mendukung yang mengkapanyekan tanpa menjelek-jelekkan visi dn misi Capres yang lain.
Debat itu bisa ada kalau memang ada Pilpres. Tetapi kalau Presiden dipilih oleh wakil-wakil rakyat. Kiranya perdebatan tidak perlu ada.

Berdebat degan tenang dan hening
Silakan Capres norut satu dan norut dua menyampaikan visi, misi dan program programnya dengan tenang dan sama-sama pecaya diri.
Silahkan Pak Joko Widodo bersama Pak Amien menguraikan secara ringkas tentang rencananya bila terpilih kembali.
Dan dipersilakan pula Pak Prabowo bersama Pak Sandi menyampaikan rencananya bila Bangsa Indonesia memang memberi kesempatan untuk jadi Presiden.
Bangsa Indonesia kiranya harus mulai. Pilih Presiden bukan karena ada kampanye besar-besaran. Dan orang tidak perlu hambur-hambur uang untuk jadi Presiden.

Di NKRI. Suasana negeri menjelang pemilihan Presiden hendaknya dalam keadaan hening. Seluruh rakyat hendaknya berdoa dengan Tuhan masing-masing. Kalau perlu boleh puasa, agar dapat melakukan "kewajiban suci" mencoblos dengan benar siapa yang diinginkan jadi Presiden.
Tetapi memang ada sementara pihak yang menginginkan debat kali ini dalam suasana panas. Mungkin untuk diukur sampai seberapa tinggi suhu politik di pusat dibandingkan dengan suhu politik di daerah yang juga harus sibuk memilih wakil-wakil rakyat.

Presiden,  kemuliaan yang memenjara
Menurut penulis. Terpilih menjadi Presiden RI bukan menerima anugrah dari Tuhan. Melainkan menerima "musibah yang terbungkus kemuliaan" dari rakyat. Yang sangat didambakan mereka yang haus dan lapar kekuasaan.

Barangkali Ronggowarsito menyebutnya secara samar dengan sebutan "satrio piningit" yang mungkin bisa ditafsirkan sebagai kehormatan yang terpenjara. Atau  Terpenjara dalam kemuliaan

Yang layak dianggap sebagai anugerah oleh Rakyat Indonesia adalah ketika para pendiri Negara ini sepakat menerima Pancasila yang dilahirkan lidah Bung Karno dengan dicantumkan pada Pembukaan UUD 1945.

Pengalaman Bangsa Indonesia mencatat dengan tinta emas bahwa menjadi Presiden di negara ini tidak langsung membawa citra keluarga menjadi sangat istimewa dalam kehidupan bernegara maupun maupun keluarga.
Yang ada justru sangat bisa  membawa aib nama keluarga yang tidak pantas dibanggakan sepanjang kehidupan bernegara. Apa boleh buat, begitulah adanya?

Bangsa Indonesia masih belajar bernegara
Dan maaf ya. Bangsa Indonesia harus mengakui masih belajar bernegara secara benar berdasar Pancasila.
Maka dapat dimengerti oleh rakyat jika para profesor, doktor, pakar, ahli dan para ulama di negeri ini tampak seperti masih asyik berdebat yang terkesan masih tergantung siapa yang bayar.
Dan lebih parah lagi banyak orang yang masih berpikir dan berkhayal secara usang merindukan zaman nusantara yang sudah hilang dalam realita.
Mereka tidak menyadari bahwa leluhur Bangsa Indonesia sudah bersumpah mengaku bertanah air, berbangsa dan berbahasa satu, Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun