Mohon tunggu...
Moh. Ashari Mardjoeki
Moh. Ashari Mardjoeki Mohon Tunggu... Freelancer - Senang baca dan tulis

Memelajari tentang berketuhanan yang nyata. Berfikir pada ruang hakiki dan realitas kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Di NKRI Tidak Elok Minta Dipilih Jadi Presiden?

20 November 2018   15:53 Diperbarui: 20 November 2018   15:58 219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

REVOLUSI SPIRITUAL

Rendah hati

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang menghargai sikap rendah hati.  Tidak suka dengan sikap angkuh, congkak, pongah atau sombong.  

Pantang merendahkan dan direndahkan siapa pun.  Karena menurut ajaran para leluhurnya setiap pribadi manusia Dimuliakan Tuhan Yang Maha Mulia.

Beberapa waktu silam, Bangsa Indonesia pernah menyaksikan tokoh-tokoh terbaik negeri ini "terpaksa" antri mendaftarkan diri ke DPP PDI Perjuangan, atau ke DPP Partai Demokrat atau ke DPP partai yang lain untuk melamar sebagai Cagub DKI Jakarta yang dicalonkan DPP Parpol.

Sungguh hal yang demikian memang lazim, pantas, wajar dan baik-baik saja dilakukan di negara demokrasi. Tetapi boleh diduga bahwa tatacara demikian sesungguhnya hanya formalitas belaka dalam politik. DPP parpol pasti sudah punya incaran yang bakal "calon jadi."

Antri mendaftar---melamar, sebagai bakal calon Gubernur pasti bukan suatu hal yang menyenangkan. Si pelamar justru akan merasa sangat dihormati dan dihargai bila dilamar oleh suatu parpol.

Begitulah kiranya tata nilai kehormatan pribadi yang umumnya ada pada Bangsa Indonesia yang sangat menghargai sikap kerendahan hati dengan menghormati orang lain.

Di lain pihak agak berbeda. Banyak partai seperti agak enggan menghormati seorang calon lebih dahulu dengan berbagai thethek bengek alasan. Tetapi juga ada parpol-parpol yang tidak ragu dan tidak jaga gengsi untuk segera melamar seseorang agar bersedia mencalonkan diri dengan didukung oleh beberapa partai politik tanpa syarat. Dan sudah pasti ada pula yang mungkin bersyarat.

Pantang minta diangkat jadi pejabat tinggi.

Sejarah mencatat. Bung Karno tidak minta dipilih oleh BPUPKI (Badan Penyelidik usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) ketika menerima jabatan sebagai presiden RI yang pertama. Barangkali Beliau dipilih karena mempunyai Pancasila yaitu konsep tentang negara yang harus dimiliki Bangsa Indonesia.

Pak Harto pun terpaksa harus melakukan gerilya politik agar tidak tampak ngotot terus terang minta dipilih sebagai Presiden rezim orde baru oleh MPR.

Begitu pula halnya dengan Pak Habibie, Gus Dur maupun Bu Mega. Mereka bertiga menyerahkan persoalan siapa yang harus jadi Presiden melanjutkan masa bakti Gus Dur kepada MPR yang diketuai Amien Rais..

Bahkan Amien Rais pun mungkin tidak sanggup untuk terus terang minta dipilih jadi Presiden walaupun dalam hatinya sangat mengharapkan ada keajaiban seluruh anggota MPR memintanya jadi presiden. Ada berita selentingan waktu itu, katanya Bu Mega mengajukan syarat hanya mau jadi presiden kalau tidak akan dijatuhkan oleh siapa pun.

Mulai tidak perlu malu minta dipilih jadi presiden

Kebiasaan ngotot ingin jadi presiden tampaknya dimulai pada akhir jabatan Bu Mega. Barangkali terkait dengan UUD'45 hasil amandemen dan pengalaman lama menikmati kenikmatan-kenikmatan memiliki kekuasaan dibawah pemimpin yang otoriter.

Masa bakti Bu Mega selesai. Pak Susilo Bambang Yudhoyono segera tancap gas ingin sampai di istana lebIh cepat.

Tata nilai menjaga kehormarmatan diri pribadi dengan menunjukkan kerendahan hati untuk "sementara" agaknya mulai menghilang  di negeri ini.

Zaman seperti menuntut setiap orang harus bisa menjual dirinya dengan harga yang sangat mahal.  Kalau bisa harus paling mahal dibandingkan dengan yang lain. Tentu saja harga tersebut sangat ditentukan oleh jumlah duit yang kira-kira dimiliki.

Sikap terbuka yang bisa menunjukkan kredibilitas seseorang agaknya dinilai kurang bisa menarik perhatian banyak orang yang berkepentingan.

Nilai duit yang jumlahnya hanya diperkirakan dimiliki, tampak lebih menjanjikan dari pada hanya melihat sikap terbuka yang tanpa tedeng aling-aling yang terkesan tidak munafik.

Tetapi harga diri seseorang harus plus sesuatu. Mungkin yang mudah adalah harus plus jumlah duit yang tak habis dimakan dua generasi.

Untuk yang sudah memiliki plus yang demikian, masih juga harus disertai usaha-usaha menghiasi diri yang mungkin perlu agak berlebihan. Karena harus sering tampil di mana-mana lewat layar kaca dan media sosial di hape. Layaknya seorang bintang panggung yang hanya untuk dilihat dari kejauhan.

Presiden adalah orang partai

Melamar dan minta dipilih jadi presiden NKRI sesungguhnya tidak perlu. Tidak elok dilakukan di negeri yang menghargai kerendahan hati.

Apa lagi minta dipilih sebagai Presiden hanya dengan modal mempunyai kecerdasan bisa membuat kritikan dan sindiran-sindiran tajam kepada yang ingin digantikan.

Seorang calon presiden hendaknya seorang negarawan yang berideologi---Partai. Yang tidak berideologi seharusnya bisa menolak dicalonkan sebagai Capres.

Seseorang yang bukan kader partai bisa saja dicaonkan oleh parpol asal yang bersangkutan memang bersedia.

Prabowo

Sebagai seorang tokoh nasional. Prabowo agaknya kurang pas jika dia ngotot, ngoyo, bertahun-tahun berusaha keras minta jadi Presiden. Apalagi sudah ditandai pula dengan beberapa macam kegagalan yang dialami yang sangat diketahui publik.

Banyak memang janji yang diucapkan. Tetapi semua justru sedang dikerjakan pemerintah. Kecuali janji yang tidak masuk akal sehat. Yaitu akan menghentikan segala macam import. Dan kemungkinan akan membangkitkan bahaya laten kekuatan zaman ORBA.

Tentu saja Prabowo sangat minta dipilih sebagai presiden kepada rakyat dan juga kepada semua parpol. Yang demikian sungguh tidak dilarang di NKRI.   Yang jelas banyak ormas yang memusuhi Presiden Jokowi sangat menaruh banyak harapan kepada tokoh "sekelas" sosok Prabowo.

Menurut penulis. Serunya pertarungan antar pendukung Norut 1 dan 2 di media sosial.  Hanyalah karena Prabowo dipandang tidak pantas melawan Presiden Jokowi. Lawan Presiden Jokowi yang memadai mungkin Rizal Ramli. 

Tetapi sayang tidak ada parpol yang sanggup membuat poros alternatif lain selain membiarkan Prabowo teriak-teriak semaunya dan sebisa-bisanya. Melawan Presiden Jokowi.

Presiden Jokowi

Sebagai seorang negarawan, Presiden Jokowi pun memang harus berjuang keras dengan berkampanye untuk bisa memimpin NKRI 2 periode.

Karena disamping punya hak sebagai petahana. Beliau pun punya tanggung jawab moral harus menyambut dengan baik dan sungguh-sungguh keinginan rakyat dan parpol-parpol yang menghendaki dirinya memimpin 2 periode.

Parpol sebagai rumah singgah negarawan sontoloyo

Seorang negarawan membangun parpol untuk wadah para negarawan yang satu ideologi. Yang bertanggung jawab harus mempersiapkan kader-kader pemimpin bangsa yang akan "menyempurnakan" ideologi partai dalam penyelenggaraan negara.

Dengan kata lain. Seorang negarawan yang membangun sebuah partai politik yang hanya membawa niat diri pribadi untuk bisa mencalonkan diri sebagai Presiden. Maka parpol yang dibangun hanya akan menjadi semacam rumah singgah sementara saja bagi politikus sontoloyo yang senang mengembara menjual pandangan pribadi yang diyakini sudah sangat benar

Demikian. Terimakasih kepada yang telah membaca tulisan ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun