Pak Harto pun terpaksa harus melakukan gerilya politik agar tidak tampak ngotot terus terang minta dipilih sebagai Presiden rezim orde baru oleh MPR.
Begitu pula halnya dengan Pak Habibie, Gus Dur maupun Bu Mega. Mereka bertiga menyerahkan persoalan siapa yang harus jadi Presiden melanjutkan masa bakti Gus Dur kepada MPR yang diketuai Amien Rais..
Bahkan Amien Rais pun mungkin tidak sanggup untuk terus terang minta dipilih jadi Presiden walaupun dalam hatinya sangat mengharapkan ada keajaiban seluruh anggota MPR memintanya jadi presiden. Ada berita selentingan waktu itu, katanya Bu Mega mengajukan syarat hanya mau jadi presiden kalau tidak akan dijatuhkan oleh siapa pun.
Mulai tidak perlu malu minta dipilih jadi presiden
Kebiasaan ngotot ingin jadi presiden tampaknya dimulai pada akhir jabatan Bu Mega. Barangkali terkait dengan UUD'45 hasil amandemen dan pengalaman lama menikmati kenikmatan-kenikmatan memiliki kekuasaan dibawah pemimpin yang otoriter.
Masa bakti Bu Mega selesai. Pak Susilo Bambang Yudhoyono segera tancap gas ingin sampai di istana lebIh cepat.
Tata nilai menjaga kehormarmatan diri pribadi dengan menunjukkan kerendahan hati untuk "sementara" agaknya mulai menghilang  di negeri ini.
Zaman seperti menuntut setiap orang harus bisa menjual dirinya dengan harga yang sangat mahal. Â Kalau bisa harus paling mahal dibandingkan dengan yang lain. Tentu saja harga tersebut sangat ditentukan oleh jumlah duit yang kira-kira dimiliki.
Sikap terbuka yang bisa menunjukkan kredibilitas seseorang agaknya dinilai kurang bisa menarik perhatian banyak orang yang berkepentingan.
Nilai duit yang jumlahnya hanya diperkirakan dimiliki, tampak lebih menjanjikan dari pada hanya melihat sikap terbuka yang tanpa tedeng aling-aling yang terkesan tidak munafik.
Tetapi harga diri seseorang harus plus sesuatu. Mungkin yang mudah adalah harus plus jumlah duit yang tak habis dimakan dua generasi.