REVOLUSI SPIRITUAL
Presiden sampai nitizen bicarakan kaos
Kaos hitam dengan grafis putih yang terlihat di layar kaca televise menjadi omongan panjang yang dipersoalkan.
Yang demikian wajar saja. Karena diucapkan Pak Jokowi yang mungkin agak jengkel menghadapi elit-elit politik yang "latah," yang di zaman Bung Karno mungkin disebut kaum sontoloyo; sedang di zaman Gubernur Ahok mungkin disebut sebagai orang-orang pinter tetapi pura-pura bego.
Presiden bertanya dengan gaya orator yang memang disengaja bernada candaan politis yang kira-kira menegaskan, apa mungkin sih hanya dengan kaos, presiden bisa diganti?
Mengganti presiden harus sulit dilakukan
Tentu saja maksud Presiden mengingatkan bangsanya agar janganlah dibiasakan untuk mudah mengganti seorang presiden. Jika sekiranya tidak mutlak harus diganti.
Dengan resiko apa pun setiap saat penggantian presiden memang harus bisa dilakukan jika memang mutlak harus diganti. Seperti pernah terjadi di zaman presiden Soeharto dan juga Presiden Gus Dur.
Dan harus disadari dengan pasti bahwa siapa pun yang tidak punya hak, yang kemudian mencoba memaksakan diri duduk sebagai presiden pasti bisa mendatangkan bencana besar yang akan tercatat sebagai noda sejarah bangsa.
Mengganti presiden, bukan sekadar menggantinya dengan orang lain yang ingin dan bersedia jadi presiden. Tetapi harus menggantinya dengan sempurna demi kelanjutan hidup abadi bangsa dan negara yang memuliakan rakyatnya.
Di NKRI, jika elit politik ingin jadi presiden, sesungguhnya tidak perlu obral duit dan janji muluk-muluk akan menyejahterakan rakyat. Janji taat pada konstitusi sudah pasti. Tetapi harus juga berjanji tidak akan menyengsarakan rakyat dan siap menumpas mafia dari luar dan dalam negeri dengan segala bentuknya. Sebab seorang presiden sangat berpotensi mengkhianati rakyat.