REVOLUSI SPIRITUAL
Bernegara tidak perlu takut kepada apa pun
Judul tulisan ini dibuat demikian untuk segera menarik perhatian yang mulai membuka leman Kompasiana. Sama sekali tidak ada maksud untuk mengajak pembacanya berfaham atheis. Harap dimaklumi.
Dasar pemikiran penulis membuat judul demikian karena yang disebut Allah SWT sesungguhnya hanyalah sebuah nama yang dibuat (diciptakan) manusia bagi yang disebutnya sebagai Tuhan. Â Karena Tuhan agaknya tidak pernah menyatakan DiriNYA bernama.
Semua yang ada dalam realita. Termasuk Tuhan, ditandai untuk dikenali bersama dengan diberi sebutan menurut wujud, jenis, sifat, manfaat, golongan maupun kelompok dan diberi nama-nama yang sekiranya sesuai. Oleh manusia.
Tuhan pun diakui nyata ada dalam realita kehidupan. Maka Nabi Muhammad SAW berfirman agar manusia menyebutNYA dengan sebutan yang bercitra indah serta memancarkan kemuliaan karena "Memberi" hak kepada manusia sebagai satu-satunya mahluk yang bisa berkalam dan berpengetahuan.
Pelindung utama keselamatan
Pelindung utama yang ada di diri manusia adalah berbentuk kesadaran atas keterbatasan dan kecerdasan dirinya sendiri terhadap terhadap bahaya yang ada.
Dengan kecerdasanNYA manusia DiberiNYA kemampuan untuk berusaha menyelamatkan dan melindungi isi alam semesta yang DikehendakiNYA ada dalam realita.
Maka penulis berpendapat. Bangsa Indonesia tidak perlu takut kepada siapa pun. Kalau toh ada yang harus ditakuti hanyalah atas "kebodohan" memahami dirinya sendiri sebagai suatu bangsa yang negaranya berdasar Pancasila.
Keterbatasan diri memang bisa membuat orang tak berdaya menguasai dirinya sendiri. Apa lagi meghadapi ulah buruk sesamanya.
Sedang kecerdasan bisa membuat orang mampu mengurangi dan menghilangkan kebodohan diri sendiri yang bisa menyengsarakan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Nasihat kelasik dan pamer aurat
Nasihat kelasik orang tua-tua yang tidak pernah usang adalah "jangan malas belajar karena setiap hari adalah hari baru yang menghadirkan hal-hal baru yang harus dipelajari."
Bukan kebodohan yang membuat orang pandai ikut-ikutan berpolitik. Tetapi kecerdasan menjadikan orang pandai terpanggil terjun ke politik
Kebodohan yang membuat orang-orang politik menjadi tamak dan bergotong royong melakukan korupsi. Dan kebodohan pula yang mengarahkan kecerdasan bisa dipakai secara kreatif untuk menutupi diri agar tidak disebut sebagai pengkhianat.
Maka jangan latah pamer kecerdasan. Karena "kecerdasan" bisa menjadi aurat yang sangat tidak pantas diperlihatkan kepada murid esde sekalipun. Apa lagi dipertontonkan lewat televisi dengan latar belakang ruang sidang di gedung depe'er er'i.
Kebodohan membuat orang beragama kafir, munafik, dan ingkar terhadap ajaran luhur agamanya. Kecerdasan umat beragama pasti menyelamatkan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Jangan takut kepada penguasa dan KPK
Dalam bernegara siapapun tidak perlu takut dengan yang disebut Allah yang hanya sekadar nama Tuhan. Juga tidak perlu takut kepada Tuhan. Apa lagi sampai takut kepada negara yang jelas negara hukum.
Setiap warga negara tidak perlu takut kepada siapa pun. Tidak perlu takut kepada yang disebut oleh mereka yang frustasi, sebagai para penguasa.
Setiap warga negara tidak perlu takut kepada KPK. Setiap warga negara diharapkan membantu KPK memberantas korupsi.
Setiap warga negara tidak perlu takut untuk memberantas mereka yang disebut sebagai kelompok garis keras, kaum radikal, kaum HTI, ISIS, kaum beragama yang munafik dan kaum-kaum yang menolak Pancasila.
Tuhan tidak pernah melaknat dan menghukum
Jangan takut dilaknat dan dihukum Tuhan. Sebab DIA tidak pernah melaknat dan menghukum umatNYA.
Orang-orang hanya biasa dilaknat oleh sesamanya yang suka melaknat karena merasa dirinya sebagai orang yang paling benar dalam bertuhan dan beragama.
Dan pada kenyataannya setiap orang yang terhukum adalah mereka yang sengaja berbuat aniaya terhadap hidupnya sendiri.
Jangan takut dihukum oleh negara
Meski dalam realita bernegara, yang berwenang menghukum setiap warga negara adalah negara. Setiap warga negara tidak perlu takut dihukum negara. Sebab negara menghukum setiap yang terpidana harus secara berperikemanusiaan yang adil dan beradab.
Menghukum tidak harus diwujudkan dengan sengaja menyiksa, menyakiti, atau menyengsarakan, membuat penderitaan dan balas dendam. Â Sebab dalam kehidupan universal berlaku hukum kehidupan yang DikehendakiNYA ada untuk mengarahkan perbuatan manusia yang menerima mandat dari Tuhan sebagai penguasa di bumi dan langit.
Kepada Amin Rais, Habib Rizieq Shihab, Fadli Zon, Fahri Hamzah dan juga kepada yang lain-lain, sebaiknya tidak usah malu meniru langkah berani Jonru untuk diadili negara atas penghinaannya kepada kepala negara.
Rakyat Indonesia wajib mendukung pemimpin yang otoriter
Rakyat Indonesia jangan ragu dan takut membela serta mendukung para pemimpinnya yang bersikap otoriter terhadap oknum aparat negara dan organisasi-organisasi yang merongrong pemerintah dalam menegakkan hukum yang adil. Demi kepentingan dan keselamatan setiap jiwa rakyat.
 Meski demikian negara acapkali terkesan masih seperti ragu dan diragukan dalam menegakkan hukum yang berkeadilan.  Sebagai contoh konkrit adalah ketika negara  "terpaksa" harus mengadili Ahok yang dituduh menghina agama, Alqur'an dan ulama.
Walaupun dunia seperti menggugat vonis hakim, toh kenyataannya tidak seorangpun bangsa Indonesia yang mampu bebaskan Ahok dari penjara? Termasuk Presiden.
Remisi yang terpaksa harus dikeluarkan
Ada pihak termasuk pakar hukum pidana dan Fadli Zon yang bicara terang-terangan tidak bisa menerima remisi yang diberikan kepada Pak Ahok oleh negara. Karena yang bersangkutan dianggap baru "terpaksa" ditahan di Mako Brimob. Belum benar-benar meringkuk bersama para penjahat dan pengkhianat negara di penjara?
Barangkali dalam fenomena mengadili Ahok memang segalanya serba terpaksa harus dijalani oleh mereka yang seharusnya dilaksanakan tanpa paksaan. Â Dan hanya Ahok sendiri yang tampak tegar dan ikhlas menjalani hukuman yang dijatuhkan negara kepadanya.
Fenomena Natal, mengenang kebenaran yang "dipalsukan"
Dalam suasana dunia merayakan Natal. Kasus Ahok mengingatkan penulis akan tanda salib yang dipakai simbol umat Kristiani. Â
Konon ada kabar yang sangat layak diakui sebagai fakta kebenaran. Bahwa yang disalib hanyalah seseorang yang "dianggap" pengkhianat yang dianggap mirip dengan wajah Nabi Isa alihi salam Putera Mariam. Â Kemudian barang siapa yang mengatakan bahwa Isa alihi salam Putera Mariam belum mati pasti akan dibunuh oleh penguasa saat itu.
Jika kemudian ada kesaksian yang menyatakan bahwa tiga hari sesudah kematiannya di tiang salib, "Yesus"---Nabi Isa alihi salam Putera Mariam, menampakkan diri kepada para muridnya. Maka kesaksian itu sungguh bisa dimengerti dan tidak perlu diragukan kebenarannya. Karena memang masih hidup.
Demikianlah yang dimaksud penulis dengan "fenomena Natal mengenang kebenaran yang dipalsukan."
Agaknya realita kehidupan yang tidak pernah menyembunyikan kebenaran tidak bisa menolak bahwa "pengkhianat" yang mati di tiang salib pun bisa kekal dalam keagungan karena terpaksa dikorbankan oleh zamannya demi melindungi Putera Mariam yang oleh Nabi Muhammad SAW disejajarkan dengan kedudukan para Rasul sebelumnya.
Selamat merayakan Natal buat Pak Ahok sekeluarga.
Demikian. Salam sejahtera kepada yang sempat membaca tulisan ini. Terimakasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H