REVOLUSI SPIRITUAL
 "Pertemuan besar" 27 Juli 2017, antara Pak EsBeYe dengan Pak Prabowo jelas memberi kesan bahwa cara pandang kedua tokoh ini negeri ini memang nyata berlawanan dengan mereka yang ada di pemerintahan. Hal ini bisa ditangkap dari pernyataan-pernyataan  sebagai reaksi atas pernyataan Pak EsBeYe yang dinilai sebagai berlebihan. Atau melontarkan pendapat yang dicari-cari yang sesungguhnya tak perlu dicari.
Sangat patut diperkirakan bahwa pertemuan besar itu tidak lebih hanya mengingatkan kepada Bangsa Indonesia bahwa pada Pilpres 2019 masih ada dua tokoh handal yang ingin mengalahkan Presiden Jokowi yang sudah sangat kuat melekat di hati seluruh rakyat. Mungkin terkecuali untuk warga Jakarta. Berdasar indikasi kekalahan Pak Ahok di Pilkada DKI Jakarta 2017 yang lalu. Â Warga Jakarta mungkin jauh lebih banyak yang cinta sosok "Prabowo" dari pada sosok Presiden Jokowi yang nyata dekat dengan Pak Ahok.
Pilpres 2019 mendatang. Pak Jokowi bermodal pengalaman menjadi Presiden periode pertama dengan memberi kepastian yang nyata bahwa N.K.R.I. terselenggara sesuai Pancasila. Sesuai tujuan dan cita-cita para pendiri republik ini.
Seperti halnya Bung Karno dan Pak Harto yang terkesan memerintah secara otoriter. Pak Jokowi pun dilihat dari kaca mata---Pak EsBeYe, tak kalah otoriter.
Bung Karno otoriter terhadap anthek-anthek nekolim di dalam negeri dan mereka yang menentang N.K.R.I. Â yang berpancasila. Otoriter Bung Karno karena kecintaannya kepada bangsanya yang berabad-abad dipermainkan kaum penjajah yang merampas kekayaan rakyat nusantara.
Pak Harto otoriter karena tidak mau ada pihak mana pun atau seorang pun rakyat Indonesia yang berani mencoba melawannya.
Pak Jokowi otoriter hanya terhadap mereka yang mempermainkan kekuasaan rakyat yang diberikan dan dipercayakan oleh presiden kepada mereka sebagai pejabat negara. Â Mungkin yang demikian itu yang dikritisi Pak EsBeYe.
Pak Jokowi memastikan bahwa kepada siapa saja yang berperilaku sangat keterlaluan dengan menyalahgunakan kewenangan terhadap rakyat, harus digebug sampai tak berdaya asal nggak sampai mati. Kecuali penjahat narkoba---harus dimatikan. Bukan harus dimaafkan mentang-mentang negara harus berketuhanan dan berperikemanusiaan yang adil dan beradab.
Mungkin Presiden Jokowi memandang bahwa mengkhianati rakyat bukan urusan Tuhan dan bukan pula sekadar urusan negara demokrasi. Tetapi tanggung jawab dan urusan seorang pemimpin bangsa yang mutlak harus mengabdi dan memuliakan rakyatnya.
Pilpres 2019 dan ambang batas nol persen
Tidak perlu dipermasalahkan hanya ada calon tunggal atau dua calon. Yang penting yang dicalonkan harus layak dicalonkan. Jangan karena alasan demokrasi maka ambang batas pencalonan harus nol persen. Memang setiap warga negara berhak dicalonkan dan mencalokan diri sebagai presiden. Tetapi yang pasti demokrasi tidak bisa diwujudkan dengan demokrasi yang nol persen alias tidak perlu batas.
Kalau semua parpol kompak untuk tidak hanya akan mengusung dua calon, maka mereka bisa bersepakat mengatur dan menentukan tiga atau empat calon yang memenuhi syarat. Dengan syarat yang dicalonkan lahir batin setuju dunia akirat.
Misalnya. Parpol-parpol sepakat ajukan capres-wapres Jokowi-JK; Jokowi-Ahok; Prabowo-Ahok; Agus HY-Fahri Hamzah. Â Dan lain-lain. Yang penting ada itikad baik semua parpol untuk tidak hanya menampilkan dua pasang capres-wapres. Â Toh yang menentukan suara rakyat yang notabene "suara Tuhan Yang Maha Menentukan?" Dan yang sangat penting semua parpol harus punya itikad tidak akan "menyesatkan" pilihan setiap indiwidu warga negara.
Bangsa Indonesia pasti tidak menghendaki ada calon presiden yang asal bisa terdaftar sebagai calon presiden. Urusan gagal tidak terpilih tidak masalah. Yang penting pernah tercatat jadi capres-wapres dalam sejarah?
Yang mutlak penting Bangsa Indonesia tidak akan pernah mau disodori capres-wapres asal-asalan. Capres-wapres harus jelas asal-usulnya. Boleh turunan Ken Arok, Sultan Agung Tirtayasa, Sultan Hamid atau turunan Sekarmaji Karto Suwiryo yang dulu memimpin Darul Islam. Â Asalkan mereka sudah mnyadari harus bersedia "berkorban" demi N.K.R.I. yang berdasar Pancasila.
Yang harus diingat pada Pilpres 2019. Yusril Ihza Mahendra, Fahri Hamzah, Rizal Ramli dan masih banyak yang lain. Sangat mungkin tidak  menolak untuk dicalonkan. Dan mereka sangat mungkin tidak kalah memerintah secara otoriter melebihi Bung Karno, Pak Harto atau Presiden Jokowi.
Parpol-parpol bisa kerja sama mempertimbangkan yang terbaik untuk rakyat. Jadi buat apa memasalahkan Perppu-Perppu  yang tidak bermasalah? Sudah tidak pada tempatnya elit politik Indonesia bisa dipermainkan dan mempermainkan sosmed. Parpol-parpol harus bisa membentuk budaya masyarakat dalam menggunakan medsos. Sesuai kepribadian Bangsa Indonesia.
Demikian. Terimakasih kepada yang telah sempat membaca tulisan ini. Â Diiringi salam bahagia sejahtera bagi kita semua.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H