Mohon tunggu...
Moh. Ashari Mardjoeki
Moh. Ashari Mardjoeki Mohon Tunggu... Freelancer - Senang baca dan tulis

Memelajari tentang berketuhanan yang nyata. Berfikir pada ruang hakiki dan realitas kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pak EsBeYe dan Pak Prabowo yang "Ngoyo?"

4 Agustus 2017   17:46 Diperbarui: 4 Agustus 2017   18:16 2115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak perlu dipermasalahkan hanya ada calon tunggal atau dua calon. Yang penting yang dicalonkan harus layak dicalonkan. Jangan karena alasan demokrasi maka ambang batas pencalonan harus nol persen. Memang setiap warga negara berhak dicalonkan dan mencalokan diri sebagai presiden. Tetapi yang pasti demokrasi tidak bisa diwujudkan dengan demokrasi yang nol persen alias tidak perlu batas.

Kalau semua parpol kompak untuk tidak hanya akan mengusung dua calon, maka mereka bisa bersepakat mengatur dan menentukan tiga atau empat calon yang memenuhi syarat. Dengan syarat yang dicalonkan lahir batin setuju dunia akirat.

Misalnya. Parpol-parpol sepakat ajukan capres-wapres Jokowi-JK; Jokowi-Ahok; Prabowo-Ahok; Agus HY-Fahri Hamzah.  Dan lain-lain. Yang penting ada itikad baik semua parpol untuk tidak hanya menampilkan dua pasang capres-wapres.  Toh yang menentukan suara rakyat yang notabene "suara Tuhan Yang Maha Menentukan?" Dan yang sangat penting semua parpol harus punya itikad tidak akan "menyesatkan" pilihan setiap indiwidu warga negara.

Bangsa Indonesia pasti tidak menghendaki ada calon presiden yang asal bisa terdaftar sebagai calon presiden. Urusan gagal tidak terpilih tidak masalah. Yang penting pernah tercatat jadi capres-wapres dalam sejarah?

Yang mutlak penting Bangsa Indonesia tidak akan pernah mau disodori capres-wapres asal-asalan. Capres-wapres harus jelas asal-usulnya. Boleh turunan Ken Arok, Sultan Agung Tirtayasa, Sultan Hamid atau turunan Sekarmaji Karto Suwiryo yang dulu memimpin Darul Islam.  Asalkan mereka sudah mnyadari harus bersedia "berkorban" demi N.K.R.I. yang berdasar Pancasila.

Yang harus diingat pada Pilpres 2019. Yusril Ihza Mahendra, Fahri Hamzah, Rizal Ramli dan masih banyak yang lain. Sangat mungkin tidak  menolak untuk dicalonkan. Dan mereka sangat mungkin tidak kalah memerintah secara otoriter melebihi Bung Karno, Pak Harto atau Presiden Jokowi.

Parpol-parpol bisa kerja sama mempertimbangkan yang terbaik untuk rakyat. Jadi buat apa memasalahkan Perppu-Perppu  yang tidak bermasalah? Sudah tidak pada tempatnya elit politik Indonesia bisa dipermainkan dan mempermainkan sosmed. Parpol-parpol harus bisa membentuk budaya masyarakat dalam menggunakan medsos. Sesuai kepribadian Bangsa Indonesia.

Demikian. Terimakasih kepada yang telah sempat membaca tulisan ini.  Diiringi salam bahagia sejahtera bagi kita semua. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun