REVOLUSI SPIRITUAL
N.K.R.I. Sekarang Bukan yang Empat Tahun Silam
Silakan menyimak syair seluruh lagu kebangsaan Indonesia. Sungguh luar biasa indah dan hebat negara Indonesia yang digambarkan dalam syair tersebut. Sayang dalam tulisan ini penulis hanya bisa mencantumkan syair pertama, tidak melengkapi dengan syair kedua dan ketiga.
Hidup bernegara mengandung pengertian bahwa setiap diri seseorang hanya berharga atau bernilai kalau diakui sebagai seorang warga negara yang memiliki negara dan dimiliki negaranya.
Tanpa negara. Sudah pasti seluruh malaikat dan dewa-dewa akan bingung bagaimana harus menemaninya.
Jika para malaikat bertanya kepada Tuhan di mana tempat orang yang tidak bernegara? Di surga atau neraka? Tuhan juga pasti diam tak peduli, karena urusan bernegara adalah urusan manusia yang sudah DiberiNYA hak memiliki negara.
Artinya malaikat harus bertanya kepada para pejabat negara yang juga pasti harus seorang "ulama." Kalau tidak? Boleh jadi malaikat akan tambah kebingungan. Sebab bertanya kepada selain ulama bisa menyesatkan. Celakanya malaikat juga sering tertipu preman yang berseragam pejabat negara atau mereka yang berjubah mengaku ulama.
Yang mungkin perlu dipertanyakan. Apakah Negara Kesatuan Republik Indonesia—N.K.R.I., yang sekarang ini adalah wujud negara yang dikehendaki para pendirinya pada 17 Agustus 1945?
Jawabnya yang pasti harus “ya.” Karena saat ini keberadaan N.K.R.I. yang berdasar Pancasila sudah sangat dikenal dan mempengaruhi dunia internasional.
Tetapi mungkin jawabnya juga bisa “belum.” Karena sampai pada hari ini bangsa Indonesia tampaknya masih bingung bernegara yang dinyatakan harus berdasar Pancasila. Seperti Masih belajar bernegara. Atau seperti hanya ikut-ikutan bangsa lain yang sudah bernegara.
Agaknya Bangsa Indonesia masih harus terus menerus berseru mengajak tetap bersatu untuk berjuang keras mewujudkan atau menuju Indonesia Raya—N.K.R.I. yang hidup bangsa, negara dan rakyatnya semuanya; sesuai bunyi syair lagu kebangsaan Indonesia Raya.
Indonesia tanah airku Tanah tumpah darahku Di sanalah aku berdiri Jadi pandu ibuku.
Indonesia kebangsaanku. Bangsa dan tanah airku . Marilah kita berseru Indonesia bersatu.
Bangunlah jiwanya. Bangunlah badannya. Untuk Indonesia Raya.
Indonesia Raya. Merdeka, merdeka. Tanahku, negeriku yang kucinta.
Hiduplah bangsaku. Hiduplah negeriku, rakyatku semuanya. Hiduplah Indonesia Raya.
Bait pertama lagu Indonesia Raya bisa diartikan: Di sanalah aku “akan” berdiri jadi pandu ibuku. Di Indonesia Raya tanah airku, tanah tumpah darahku.
Pertanyannya, di mana kita berdiri saat menyanyikan lagu kebangsaan tersebut?
Jawabnya, sekarang kita memang sudah berdiri di N.K.R.I.. Tetapi belum di Indonesia Raya.
Indonesia yang hari ini bukan Indonesia empat tahun yang lalu. Tetapi hari ini masih tetap Indonesia yang bersatu membangun jiwa dan badan bangsa serta menjaga “menjaga keutuhan” negaranya.
Indonesia yang sekarang. Tanpa disadari dan diniati sedang berjuang terus menyempurnakan kesempurnaan N.K.R.I. sebagai Indonesia Raya yang abadi berdasar Pancasila dan UUD 1945.
Maka N.K.R.I. , sebaiknya bukan harga yang mati seperti barang dagangan atau sewaan. Melainkan harga mutlak yang pantang diganti demi Indonesia Raya.
Lagu SARA. Tak bermoral tetapi diperdengarkan
Lagu SARA memang tak bermoral dan diharamkan di negeri ini. Tetapi sering kali ada yang sangat berkepentingan untuk disiarkan sepanjang masa tertentu sebagai mantra pemanggil setan, iblis dan tuyul. Karena malaikat tak faham dan tak bisa membantu manusia dalam persekongkolan curang yang menghalalkan segala cara.
Sejak proklamasi sampai hari ini, Bangsa Indonesia harus tetap berjuang mengatasi berbagai tentangan yang sangat luar biasa banyak dan sulit karena banyak kekuatan di negara ini yang belum paham arti bernegara yang berdasar Pancasila.
Terutama disebabkan peran para ulama semua agama di Indonesia yang belum bisa menyatukan diri untuk bersama-sama membentuk kepribadian bangsa. Sehingga para ulama mungkin hanya menghasilkan sebagian besar angkatan generasi “aneh” yang pintar, licik, korup, serakah, arogan, mau menang sendiri, suka menghina, memfitnah dan munafik.
Persentase kekalahan Ahok di Pilkada 2017 yang lalu bisa menjadi indikasi tentang kualitas warga masyarakat maupun kepemimpinan dalam bernegara. Dan juga untuk membandingkan jumlah kualitas ulama yang profesional yang hebat sekali dengan yang benar-benar ulama.
Yang sangat memprihatinkan justru banyak tokoh penting di negara ini yang selalu berkata bahwa sangat penting menghargai bhinneka tunggl ika. Tetapi kenyataannya justru mereka yang sengaja atau seperti tidak sengaja, sering kali mendendangkan lagu sara yang sangat sensitif dan melukai jiwa.
Bahkan mereka menggunakan kelemahan ataukah kebencian yang berbau rasial dan diskriminasi dalam berbagai segi untuk tujuan hanya memenangkan pertarungan politik semata.
Rendahnya kualitas kebangsaan dan kenegarawanan. Tidak ada pihak lain yang patut dipersalahkan. Selain para ulama seluruh agama.
Selama ini. Agaknya tidak produktif. Atau sia-sia, sering diskusi lintas agama. Lebih baik sekiranya mulai dibiasakan tradisi bila hari idul fitri gereja-gereja ikut berhias memasang spanduk menyampaikan selamat hari raya idul fitri kepada saudara-saudaranya kaum muslimin. Dan sebaliknya bila hari natal, hari waisak dan lain-lain.
Hal yang kurang baik pun terlihat dari sikap para elit politik yang berpandangan seolah-olah hanya kelompoknya yang paling benar dan paling pantas dalam mengelola kekuasaan—negara.
Demikian pula halnya dengan para pakar tata negara dan hukum. Mereka seperti terbius dengan pandangan-pandangan teori Barat yang dianggap sudah tidak perlu diragukan kebenarannya.
Mereka seperti terlatih senang berdebat menurut pandangan masing-masing. Seperti tidak sedikit pun tergugah untuk ada usaha bersama mencoba mengurai Pancasila sebagai dasar negara yang sempurna bagi N.K.R.I.. Yang harus menjadi panduan untuk menyempurnakan UUD ’45 yang semula, sebelum diamandemen.
Tanpa Pancasila yang sempurna. UUD ’45 pasti seperti selalu menuntut disempurnakan—diamandemen, pada setiap rejim.
Menuntut keadilan?
Perlu juga dipertanyakan kepada mereka yang masih ribut mau menuntut keadilan kepada pemerintah. Keadilan menurut siapa yang dimaksud? Menurut Fahri Hamzah, Fadly Zon, Amien Rais atau menurut ormas-ormas Islam yang sehaluan dengan FPI?
Menurut penulis. Tidak ada satu pun rejim yang pernah ada di N.K.R.I. yang tidak menegakkan keadilan. Tentu saja wujud keadilannya berbeda; sesuai zamannya. Boleh ‘kan?
Demikian. Terimakasih kepada yang telah sempat membaca tulisan ini. Diiringi salam bahagia sejahtera bagi kita semua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H