REVOLUSI SPIRITUAL
Warga Jakarta pendukung Ahok sebaiknya mengikuti sikap Ahok yang konsisten menghormati negara.
Tidak perlu ramai-ramai memaksakan tuntutan. Sehingga terkesan oleh dunia bahwa pendukung Ahok pun sewarna dengan ormas-ormas FPI. Hal ini harus dihindari. Karena kelompok ormas-ormas FPI atau mungkin yang lain sangat butuh diimbagi dengan perlawananan adu kuat dari pendukung Ahok.
Ikuti langkah Ahok menebus kekalahan sementara lewat perjuangan di arena pengadilan tinggi. Kalau dia tetap dipenjara maka. Bendera FPI tak akan ramai berkibar-kibar di jalan raya. Kalau Ahok menang pasti MUI dan ormas-ormas FPI bisa menuduh pengadilan tinggi diintervensi pemerintah atau di bawah tekanan massa pendukung Ahok.
Di Jakarta para pendukung Ahok tidak usah demo-demoan. Cukup tetap berdoa bersama Tuhan masing-masing agar Bangsa Indonesia segera terjauhkan dari sifat kemunafikan yang parah. Sambil nonton televisi yang menyiarkan tayangan suasana di luar Jakarta, dukungan seluruh rakyat Indonesia dan tayangan luar negeri yang sangat sungguh luar biasa dukungan terhadap Ahok.
Para pendukung Ahok harus ikuti langkah Ahok menjaga kehormatan diri pribadi. Sebagai seorang warga negara dan pejabat negara yang konsekuen demi kehormatan negaranya.
Dituduh menista agama pun diterima dengan datang ke polisi minta diperiksa dan diadili.
Disidangkan di pengadilan pun dia tak pernah pura-pura sakit untuk mangkir.
“Dikalahkan” hakim pun dia tidak protes, karena ada tanda-tanda yang jelas bahwa jepeu tak akan bisa mengalahkannya.
Pada hal Ahok memang harus kalah dan meringkuk di penjara untuk “menggenapi” karir politiknya demi memenangkan bangsanya melawan penindasan mafia dan turunan penguasa nusantara masa lalu yang umumnya zalim, munafik, licik, pendendam, berdarah dingin dan tamak habis-habisan.
Hati-hati Pilpres 2019
Pertarungan Pilpres 2019 sudah dimulai dengan usaha menyingkirkan Ahok untuk mencegahnya bisa ikut ambil bagian dalam pertarungan. Dan bisa leluasa “main-main dengan ulama.”
Sementara ini, memang pilkada yang demokratis tampak sangat berhasil. Khususnya di Pilkada DKI Jakarta. Hasilnya tak perlu diuji di emka. Berkat bantuan ahli nujum yang pandai menghitung suara warga Jakarta untuk siapa berapa dan yang siapa lagi dapat berapa. Sebelum coblosan
Pilpres 2019 boleh jadi pertarungan final hidup terus atau mati selamanya bagi sebagian Capres. Karena zaman akan segera kembali pada rel yang sebenarnya.
Kalau ingin tetap terus nyaman tenteram menikmati kejayaan, jangan coba-coba keluar dari rel gerbong N.K.R.I. yang sebenarnya.
Zaman sudah berubah. N.K.R.I. mau tidak mau harus kembali ke UUD ’45 yang awal yang disempurnakan sebagai UUD ’45 RI yang dilengkapi dengan Pancasila yang sempurna sebagai dasar negara. Pembaca mungkin bingung baca kalimat ini. Tetapi memang demikian harapan penulis.
Menjelang Pilpres 2019 mungkin akan ada lagi isu-isu kudeta—makar. Mungkin untuk sekadar mencoba atau menguji kemampuan lawan-lawan dalam menyikapi. Suatu strategi atau cara untuk memasarkan atau bahkan merusak sebuah nama.
Sebab tindakan makar tersebut sangat disadari akan sia-sia dan kian menelanjangi kekurangan dan kelemahan yang mungkin saja dikait-kaitkan dengan nama keluarga besar Pak Harto.
Demi anak–cucu dan kehormatan nama besar. Keluarga besar Pak Harto harus pantang ikut-ikutan berbuat yang menghalalkan segala cara pada Pilpres 2019. Kalau mau. Sangat bagus jika tidak ikut sibuk ambil bagian dalam Capres-cawapres. Percuma. Belum saatnya.
Kudeta tidak akan pernah terjadi di N.K.R.I. dalam modus apa pun karena Bangsa Indonesia sudah berpengalaman ditempa penderitaan puluhan tahun. Dan pantang mengulang tindakan bodoh yang mengorbankan nyawa sesama rakyat.
Perang Saudara.
Justru yang sangat mungkin mudah terjadi adalah pecah perang saudara di mana-mana. Hal ini terlihat dari perilaku warga masyarakat yang mudah melakukan tawuran dan bentrokan masal dalam berbagai kasus. Di mana saja di tanah air. Apa lagi di Jakarta.
Perilaku buruk masyarakat yang demikian sangat bisa dimanfaatkan oleh para pengkianat bangsa untuk menggulingkan pemerintah yang sah setiap saat.
Kelakuan demikian buruk tersebut akibat salah didik yang puluhan tahun. Dan para ulama adalah pihak yang seharusnya paling bertanggung jawab untuk disalahkan. Sebab melalui amal baik mereka pembentukan kepribadian bangsa bisa dilakukan.
Maka pemerintah sebaiknya harus segera bertindak cepat mengantisipasi agar bencana tersebut tidak terjadi. Dalam hal ini mungkin yang bisa dilakukan pemerintah:
1. Berusaha mengarahkan atau mengalihkan perhatian rakyat dan seluruh elemen bangsa untuk melakukan “revolusi spiritual” untuk melengkapi revolusi mental yang sedang dan akan terus berlangsung. Sampai terbentuk karakter bangsa yang berkepribadian Indonesia. Dengan mengajak segenap elemen bangsa ambil bagian dalam pemikiran untuk ikut berlomba menyempurnakan Pancasila sebagai dasar negara.
Caranya? Serahkan saja kepada pemerintah untuk memanfaatkan peran seluruh elemen bangsa untuk menyelenggarakan atau mengobarkan revolusi spiritual. Terutama peran para ulama dari seluruh agama maupun yang lebih dikenal sebagai para budayawan, cendekiawan, ilmuwan, sasterawan, seniman, elit parpol, para akademisi dan lain-lain.
2. Sosialisasikan tentang kedudukan pemerintah, warga negara, lembaga-lembaga dan organisasi mau pun partai politik dalam negara. Dengan cara berkomunikasi yang mudah dimengerti oleh seluruh lapisan dalam masyarakat.
3. Segera membubarkan semua organisasi yang dipandang membahayakan negara. Tidak perlu ada upaya pembelaan bagi organisasi yang dibubarkan. Yang perlu pembelaan hanya organisasi-organisasi yang dibutuhkan bangsa dan negara.
Di N.K.R.I. tidak boleh ada front-front pembela apa pun dan siapa pun. Tidak boleh ada ormas semacam FPI. Semua pembelaan yang harus dibela dilakukan hanya oleh negara. Seorang teroris yang tertangkap kalau diadili pasti disediakan tim pembelanya oleh negara.
Jangan menantang untuk melawan pemerintah.
Untuk apa melawan atau menentang kebijakan pemerintah. Karena tidak adil kepada rakyat?
Kalau pemerintah dianggap tidak adil sebaiknya ditunjukkan secara jelas bagaimana yang adil kepada rakyat tersebut kepada pemerintah. Karena kebijakan pemerintah adalah hasil musyawarah dengan para wakil rakyat. Bukan musyawarah dengan wakil parpol.
Menurut pandangan penulis. Adil itu wujud kesatuan ucap, sikap dan perbuatan yang menghargai, mengakui, melindungi dan menjaga hak orang lain, yayasan, badan hukum atau negara. Pemerintah yang adil berarti negara menghargai, mengakui, melindungi dan menjaga hak setiap warga negara.
Seorang warga negara yang adil pasti menghargai, mengakui, melindungi dan menjaga hak sesama warga negara yang lain, yayasan, badan hukum serta lembaga-lembaga yang ada. Dan sudah pasti juga menghargai, mengakui, melindungi dan menjaga hak dan kewajiban negara.
Saat ini mulai ada gejala ajakan untuk memaksakan tuduhan sudah sebagai kebenaran. Termasuk melontarkan tuduhan kepada pejabat negara. Hal demikian tampak dilakukan secara massif. Seperti tanpa ada usaha pencegahan.
Sehingga fitnah pun seperti juga ramalan ahli nujum bisa dijual untuk menarik massa berbondong-bondong mengelabuhi mata dunia.
Pada hal dunia sejak lama sudah tahu tentang sifat orang Indonesia. Baik yang buruk maupun kebaikannya yang sulit bandingannya dengan bangsa-bangsa lain.
Dunia sudah dalam satu suasana. Tidak ada lagi tempat sembunyi di atas bumi. Persembunyian yang agak aman cuma di dalam dada setiap orang. Wajar jika sementara orang ada yang melindungi diri dengan berbohong.
Maka sosok Habib Rizieq Sihab makin tampak jelas di dalam jubah dan sorbannya yang cuma untuk label bebas menghujat siapa pun yang harus dihujat. Demi kepentingan terlarang dalam semua agama. Meskipun dia sembunyi.
Mutlak harus hati-hati para tokoh bicara. Jangan asal ucap menuduh, lidah bisa membunuh siapapun dengan apa yang diucapkan. Termasuk membunuh yang mengucapkan sendiri.
Menantang, merendahkan dan menghujat pemerintah tidak akan mengangkat citra kepribadian siapapun sebagai seorang pemberani. Selain hanya merendahkan harga diri sendiri.
Mungkin masih bisa diingat dan dilihat di youtube. Siapa yang melumpuhkan Bung Karno tanpa melawan? Hanya Pak Harto yang diberi “super semar” oleh Bung Karno.
Siapa yang melawan Pak Harto? Tidak ada yang mau, pasti mati “sendiri.”
Siapa yang melawan Pak BJ. Habibie? Tidak ada yang mau. Pasti memalukan diri sendiri.
Siapa yang melawan Gus Dur? Tidak ada. Gus Dur turun karena dekritnya sendiri.
Siapa yang melawan Bu Mega? Tidak ada.
Siapa yang melawan Pak EsBeYE? Tidak ada.
Demikian tradisi pergantian kepemimpinan di N.K.R.I. tidak ada yang gembar-gembor akan melawan pemerintah. Akan menjatuhkan pemerintah. Dan sebagainya.
Kalau ingin jadi presiden N.K.R.I. tunggu pilpres dalam pesta demokrasi yang luber—luhur dan bersih. Dengan syarat kalau ingin menang dengan sangat terhormat. Tiru saja cara Pak Jokowi.
Tidak perlu ngoyo harus menang dengan nekad berbuat curang. Rasanya pasti nggak enak. Pasti berdampak menyengsarakan rakyat. Dijauhi dunia internasional.
Demikian. Terimakasih kepada yang telah sempat membaca tulisan ini. Diiringi salam bahagia sejahtera bagi kita semua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H